Sebut Banyak Anggapan Salah Soal UU Ciptaker, Ini Penjelasan Politikus PAN
Selasa, 06 Oktober 2020 - 21:08 WIB
JAKARTA - DPR bersama pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker). Namun, pengesahan Omnibus Law UU Ciptaker ini mendapatkan penolakan dari berbagai kalangan.
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN) Farah Putri Nahlia mengatakan, setiap UU yang disahkan DPR selalu mengandung kontroversi. “Hal ini justru positif bagi Demokrasi kita. Ada kritik yang membangun dalam rangka koreksi terhadap materi UU yang disahkan DPR. Hari ini kontroversi itu terjadi pada RUU Cipta Kerja yang kemarin disahkan oleh DPR,” ujar Farah, Selasa (6/10/2020). (Baca juga: Margarito Kamis: UU Cipta Kerja Memunculkan Ketidakpastian Hukum)
Penolakan paling keras disuarakan kaum buruh. Ada sedikitnya 12 alasan buruh menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja. Menurut politikus asal Dapil Jabar IX ini, 12 poin penolakan tersebut tidak benar sehingga perlu diluruskan. Misalnya soal uang pesangon akan dihilangkan, menurut Farah, uang pesangon tetap ada. Dalam Bab IV soal Ketenagakerjaan pada Pasal 89 tentang perubahan terhadap Pasal 156 Ayat 1 UU 13 Tahun 2003 disebutkan, dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja. (Baca juga: Presiden PKS Desak Jokowi Terbitkan Perppu Cabut UU Ciptaker)
Begitu pula mengenai UMP, UMK, UMSP dihapus. Menurut Farah, Upah Minimum Regional (UMR) tetap ada. Pasal 89 tentang perubahan terhadap Pasal 88C UU 13 Tahun 2003 Ayat 1 menyebutkan, gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman. Ayat 2: upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan upah minimum provinsi. Soal upah buruh dihitung per jam. Menurut Farah, tidak ada perubahan dengan sistem yang sekarang. Upah bisa dihitung berdasarkan waktu atau berdasarkan hasil. Pasal 89 tentang Perubahan terhadap Pasal 88B UU 13 Tahun 2003 menyebutkan, upah ditetapkan berdasarkan satuan waktu; dan/atau satuan hasil. (Baca juga: Selain Inkonstitusional, UU Cipta Kerja Khianati Kedaulatan Rakyat)
Selanjutnya soal anggapan semua hak cuti (cuti sakit, cuti kawinan, cuti khitanan, cuti baptis, cuti kematian, cuti melahirkan) hilang dan tidak ada kompensasi, menurut Farah hak cuti tetap ada. Pada Pasal 89 tentang perubahan terhadap Pasal 79 UU 13 Tahun 2003, ayat 1 menyebutkan pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti. Pada Ayat 3: cuti yang wajib diberikan kepada pekerja/buruh yaitu cuti tahunan, paling sedikit 12 hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 bulan secara terus menerus. Ayat 5: Selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat di atas, perusahaan dapat memberikan cuti panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Soal isu outsourcing diganti dengan kontrak seumur hidup, dikatakan Farah, outsourcing ke perusahaan alih daya tetap dimungkinkan. Pekerja menjadi karyawan dari perusahaan alih daya. Pasal 89 tentang Perubahan terhadap Pasal 66 Ayat 1 UU 13 Tahun 2003 disebutkan, hubungan kerja antara perusahaan alih daya dengan pekerja/buruh yang dipekerjakannya didasarkan pada perjanjian kerja waktu tertentu atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
Mengenai isu tidak akan ada status karyawan tetap, menurut Farah, status karyawan tetap masih ada. Pasal 89 tentang perubahan terhadap Pasal 56 UU 13 Tahun 2003 (1) Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu.
Kemudian soal anggapan perusahaan bisa mem-PHK kapanpun secara sepihak, ditegaskan Farah Putri, perusahaan tidak bisa mem-PHK secara sepihak. Pasal 90 tentang perubahan terhadap Pasal 151 UU 13 Tahun 2003 Ayat 1 menyebutkan, pemutusan hubungan kerja dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh.
”Kemudian pada Ayat 2: dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, penyelesaian pemutusan hubungan kerja dilakukan melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” katanya.
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN) Farah Putri Nahlia mengatakan, setiap UU yang disahkan DPR selalu mengandung kontroversi. “Hal ini justru positif bagi Demokrasi kita. Ada kritik yang membangun dalam rangka koreksi terhadap materi UU yang disahkan DPR. Hari ini kontroversi itu terjadi pada RUU Cipta Kerja yang kemarin disahkan oleh DPR,” ujar Farah, Selasa (6/10/2020). (Baca juga: Margarito Kamis: UU Cipta Kerja Memunculkan Ketidakpastian Hukum)
Penolakan paling keras disuarakan kaum buruh. Ada sedikitnya 12 alasan buruh menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja. Menurut politikus asal Dapil Jabar IX ini, 12 poin penolakan tersebut tidak benar sehingga perlu diluruskan. Misalnya soal uang pesangon akan dihilangkan, menurut Farah, uang pesangon tetap ada. Dalam Bab IV soal Ketenagakerjaan pada Pasal 89 tentang perubahan terhadap Pasal 156 Ayat 1 UU 13 Tahun 2003 disebutkan, dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja. (Baca juga: Presiden PKS Desak Jokowi Terbitkan Perppu Cabut UU Ciptaker)
Begitu pula mengenai UMP, UMK, UMSP dihapus. Menurut Farah, Upah Minimum Regional (UMR) tetap ada. Pasal 89 tentang perubahan terhadap Pasal 88C UU 13 Tahun 2003 Ayat 1 menyebutkan, gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman. Ayat 2: upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan upah minimum provinsi. Soal upah buruh dihitung per jam. Menurut Farah, tidak ada perubahan dengan sistem yang sekarang. Upah bisa dihitung berdasarkan waktu atau berdasarkan hasil. Pasal 89 tentang Perubahan terhadap Pasal 88B UU 13 Tahun 2003 menyebutkan, upah ditetapkan berdasarkan satuan waktu; dan/atau satuan hasil. (Baca juga: Selain Inkonstitusional, UU Cipta Kerja Khianati Kedaulatan Rakyat)
Selanjutnya soal anggapan semua hak cuti (cuti sakit, cuti kawinan, cuti khitanan, cuti baptis, cuti kematian, cuti melahirkan) hilang dan tidak ada kompensasi, menurut Farah hak cuti tetap ada. Pada Pasal 89 tentang perubahan terhadap Pasal 79 UU 13 Tahun 2003, ayat 1 menyebutkan pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti. Pada Ayat 3: cuti yang wajib diberikan kepada pekerja/buruh yaitu cuti tahunan, paling sedikit 12 hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 bulan secara terus menerus. Ayat 5: Selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat di atas, perusahaan dapat memberikan cuti panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Soal isu outsourcing diganti dengan kontrak seumur hidup, dikatakan Farah, outsourcing ke perusahaan alih daya tetap dimungkinkan. Pekerja menjadi karyawan dari perusahaan alih daya. Pasal 89 tentang Perubahan terhadap Pasal 66 Ayat 1 UU 13 Tahun 2003 disebutkan, hubungan kerja antara perusahaan alih daya dengan pekerja/buruh yang dipekerjakannya didasarkan pada perjanjian kerja waktu tertentu atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
Mengenai isu tidak akan ada status karyawan tetap, menurut Farah, status karyawan tetap masih ada. Pasal 89 tentang perubahan terhadap Pasal 56 UU 13 Tahun 2003 (1) Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu.
Kemudian soal anggapan perusahaan bisa mem-PHK kapanpun secara sepihak, ditegaskan Farah Putri, perusahaan tidak bisa mem-PHK secara sepihak. Pasal 90 tentang perubahan terhadap Pasal 151 UU 13 Tahun 2003 Ayat 1 menyebutkan, pemutusan hubungan kerja dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh.
”Kemudian pada Ayat 2: dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, penyelesaian pemutusan hubungan kerja dilakukan melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” katanya.
tulis komentar anda