Sebut Banyak Anggapan Salah Soal UU Ciptaker, Ini Penjelasan Politikus PAN
loading...
A
A
A
JAKARTA - DPR bersama pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker). Namun, pengesahan Omnibus Law UU Ciptaker ini mendapatkan penolakan dari berbagai kalangan.
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN) Farah Putri Nahlia mengatakan, setiap UU yang disahkan DPR selalu mengandung kontroversi. “Hal ini justru positif bagi Demokrasi kita. Ada kritik yang membangun dalam rangka koreksi terhadap materi UU yang disahkan DPR. Hari ini kontroversi itu terjadi pada RUU Cipta Kerja yang kemarin disahkan oleh DPR,” ujar Farah, Selasa (6/10/2020). (Baca juga: Margarito Kamis: UU Cipta Kerja Memunculkan Ketidakpastian Hukum)
Penolakan paling keras disuarakan kaum buruh. Ada sedikitnya 12 alasan buruh menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja. Menurut politikus asal Dapil Jabar IX ini, 12 poin penolakan tersebut tidak benar sehingga perlu diluruskan. Misalnya soal uang pesangon akan dihilangkan, menurut Farah, uang pesangon tetap ada. Dalam Bab IV soal Ketenagakerjaan pada Pasal 89 tentang perubahan terhadap Pasal 156 Ayat 1 UU 13 Tahun 2003 disebutkan, dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja. (Baca juga: Presiden PKS Desak Jokowi Terbitkan Perppu Cabut UU Ciptaker)
Begitu pula mengenai UMP, UMK, UMSP dihapus. Menurut Farah, Upah Minimum Regional (UMR) tetap ada. Pasal 89 tentang perubahan terhadap Pasal 88C UU 13 Tahun 2003 Ayat 1 menyebutkan, gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman. Ayat 2: upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan upah minimum provinsi. Soal upah buruh dihitung per jam. Menurut Farah, tidak ada perubahan dengan sistem yang sekarang. Upah bisa dihitung berdasarkan waktu atau berdasarkan hasil. Pasal 89 tentang Perubahan terhadap Pasal 88B UU 13 Tahun 2003 menyebutkan, upah ditetapkan berdasarkan satuan waktu; dan/atau satuan hasil. (Baca juga: Selain Inkonstitusional, UU Cipta Kerja Khianati Kedaulatan Rakyat)
Selanjutnya soal anggapan semua hak cuti (cuti sakit, cuti kawinan, cuti khitanan, cuti baptis, cuti kematian, cuti melahirkan) hilang dan tidak ada kompensasi, menurut Farah hak cuti tetap ada. Pada Pasal 89 tentang perubahan terhadap Pasal 79 UU 13 Tahun 2003, ayat 1 menyebutkan pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti. Pada Ayat 3: cuti yang wajib diberikan kepada pekerja/buruh yaitu cuti tahunan, paling sedikit 12 hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 bulan secara terus menerus. Ayat 5: Selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat di atas, perusahaan dapat memberikan cuti panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Soal isu outsourcing diganti dengan kontrak seumur hidup, dikatakan Farah, outsourcing ke perusahaan alih daya tetap dimungkinkan. Pekerja menjadi karyawan dari perusahaan alih daya. Pasal 89 tentang Perubahan terhadap Pasal 66 Ayat 1 UU 13 Tahun 2003 disebutkan, hubungan kerja antara perusahaan alih daya dengan pekerja/buruh yang dipekerjakannya didasarkan pada perjanjian kerja waktu tertentu atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
Mengenai isu tidak akan ada status karyawan tetap, menurut Farah, status karyawan tetap masih ada. Pasal 89 tentang perubahan terhadap Pasal 56 UU 13 Tahun 2003 (1) Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu.
Kemudian soal anggapan perusahaan bisa mem-PHK kapanpun secara sepihak, ditegaskan Farah Putri, perusahaan tidak bisa mem-PHK secara sepihak. Pasal 90 tentang perubahan terhadap Pasal 151 UU 13 Tahun 2003 Ayat 1 menyebutkan, pemutusan hubungan kerja dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh.
”Kemudian pada Ayat 2: dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, penyelesaian pemutusan hubungan kerja dilakukan melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” katanya.
Soal anggapan jaminan sosial dan kesejahteraan lainnya hilang, Farah memastikan jaminan sosial tetap ada. Pasal 89 tentang perubahan terhadap Pasal 18 UU 40 Tahun 2004 disebutkan jenis program jaminan sosial meliputi jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, hari tua, pensiun, kematian, dan jaminan kehilangan pekerjaan.
Berikutnya, soal semua karyawan berstatus tenaga kerja harian, Farah menegaskan bahwa status karyawan tetap masih ada. Ini diatur dalam Pasal 89 tentang perubahan terhadap Pasal 56 Ayat 1 UU 13 Tahun 2003. Disebutkan, perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu.
Kemudian soal isu tenaga kerja asing bebas masuk, menurut Farah, tenaga kerja asing tidak bebas masuk, harus memenuhi syarat dan peraturan. Pada Pasal 89 tentang perubahan terhadap Pasal 42 Ayat1 UU 13 Tahun 2003, setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing dari Pemerintah Pusat.
Mengenai anggapan buruh dilarang protes dan ancamannya PHK, menurutnya, tidak ada larangan protes bagi buruh. Kemudian mengenai libur hari raya hanya pada tanggal merah dan tidak ada penambahan cuti, menurut Farah, sejak dulu penambahan libur di luar tanggal merah tidak diatur undang-undang, tapi kebijakan pemerintah. Dijelaskan, Fraksi PAN menerima UU Ciptaker dengan catatan tebal.
“Sikap F-PAN jelas yakni menerima dengan catatan kritis. Dimana Catatan kritis ini dibuat agar kelahiran UU Ciptaker bisa membawa kemaslahatan dan kesejahteraan bagi masyarakat luas,” tuturnya.
Meski demikian, dia memiliki sejumlah catatan terkait UU Ciptaker tersebut. Catatan pertama, pembahasan RUU Ciptaker terlalu tergesa-gesa serta minim partisipasi publik. Penyusunan aturan turunannya perlu menyerap aspirasi publik secara luas sehingga RUU ini kurang optimal. Kedua, bila dilihat dari sektor kehutanan, FPAN menilai bahwa aturan yang ada dalam RUU Ciptaker masih mengesampingkan partisipasi masyarakat. Terutama dengan penghapusan izin lingkungan, penyelesaian konflik lahan hutan, masyarakat adat dan perkebunan sawit, serta tumpang tindih antara areal hutan dengan izin konsesi pertambangan.
Catatan ketiga, pada sektor pertanian, sebaiknya pemerintah untuk tidak membuka keran impor pangan dari luar negeri terlalu lebar. Pemerintah harus memproteksi hasil produksi pangan lokal untuk meningkatkan daya saing petani. Tanpa membuka keran impor saja, daya saing komoditas pertanian kita sulit dikendalikan. Pengendalian harga komoditas pertanian yang dapat melindungi konsumen dan petani sekaligus, belum menjadi agenda dalam RUU Ciptaker.
Catatan empat, terkait sertifikasi halal suatu produk. PAN melihat beberapa pasal dalam RUU Ciptaker berpeluang besar melahirkan praktik moral hazard yang dilakukan pelaku Usaha Mikro dan Kecil (UMK). Praktik moral hazard sendiri merupakan situasi di mana seseorang tidak memiliki insentif untuk bertindak jujur.
Catatan kelima, Di bidang ketenagakerjaan, kami belum melihat penjelasan lebih khusus mengenai aspek rencana penggunaan tenaga kerja asing. Sebaiknya hal ini dicantumkan secara spesifik agar tidak multi interpretasi.
Catatan keenam, penghapusan ketentuan Pasal 64 dan 65 dalam UU Ketenagakerjaan akan melahirkan banyak pekerja kontrak yang tidak terproteksi dengan fasilitas-fasilitas yang telah diakomodir dalam UU Ketenagakerjaan Hal ini ditakutkan perusahaan-perusahaan jadi banyak menggunakan pekerja kontrak. Padahal menggunakan pekerja kontrak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi 'Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.'
Catatan ketujuh, Pasal 88 B yang menyebutkan bahwa upah para pekerja akan ditetapkan berdasarkan satuan waktu dan/atau hasil. Ketentuan ini berpotensi melahirkan ketidakadilan bagi kesejahteraan pekerja/buruh. Penghasilan yang diterima bisa berada di bawah upah minimum yang seharusnya. ketentuan ini hanya cocok diterapkan kepada pekerja profesional, bukan ke buruh atau pekerja biasa.
Catatan kedelapan, terkait pesangon. Jumlah pesangon para pekerja mestinya tidak dikurangi, tetap 32 kali gaji. Namun bedanya, pesangon tersebut tidak dibayarkan oleh pemberi kerja saja, namun juga dibayar oleh pemerintah. Saat terjadi PHK, pemberi kerja wajib membayar pesangon sebesar 23 kali gaji. Sedangkan pemerintah membayar 9 kali gaji melalui skema Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). “Hal ini meringankan beban pemberi kerja. Skema ini perlu diatur dan diperdalam lebih lanjut. Sebab skema JKP ini direncanakan juga akan menyerap Anggaran Penerimaan Belanja Negara (APBN),” pungkas Farah Putri.
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN) Farah Putri Nahlia mengatakan, setiap UU yang disahkan DPR selalu mengandung kontroversi. “Hal ini justru positif bagi Demokrasi kita. Ada kritik yang membangun dalam rangka koreksi terhadap materi UU yang disahkan DPR. Hari ini kontroversi itu terjadi pada RUU Cipta Kerja yang kemarin disahkan oleh DPR,” ujar Farah, Selasa (6/10/2020). (Baca juga: Margarito Kamis: UU Cipta Kerja Memunculkan Ketidakpastian Hukum)
Penolakan paling keras disuarakan kaum buruh. Ada sedikitnya 12 alasan buruh menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja. Menurut politikus asal Dapil Jabar IX ini, 12 poin penolakan tersebut tidak benar sehingga perlu diluruskan. Misalnya soal uang pesangon akan dihilangkan, menurut Farah, uang pesangon tetap ada. Dalam Bab IV soal Ketenagakerjaan pada Pasal 89 tentang perubahan terhadap Pasal 156 Ayat 1 UU 13 Tahun 2003 disebutkan, dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja. (Baca juga: Presiden PKS Desak Jokowi Terbitkan Perppu Cabut UU Ciptaker)
Begitu pula mengenai UMP, UMK, UMSP dihapus. Menurut Farah, Upah Minimum Regional (UMR) tetap ada. Pasal 89 tentang perubahan terhadap Pasal 88C UU 13 Tahun 2003 Ayat 1 menyebutkan, gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman. Ayat 2: upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan upah minimum provinsi. Soal upah buruh dihitung per jam. Menurut Farah, tidak ada perubahan dengan sistem yang sekarang. Upah bisa dihitung berdasarkan waktu atau berdasarkan hasil. Pasal 89 tentang Perubahan terhadap Pasal 88B UU 13 Tahun 2003 menyebutkan, upah ditetapkan berdasarkan satuan waktu; dan/atau satuan hasil. (Baca juga: Selain Inkonstitusional, UU Cipta Kerja Khianati Kedaulatan Rakyat)
Selanjutnya soal anggapan semua hak cuti (cuti sakit, cuti kawinan, cuti khitanan, cuti baptis, cuti kematian, cuti melahirkan) hilang dan tidak ada kompensasi, menurut Farah hak cuti tetap ada. Pada Pasal 89 tentang perubahan terhadap Pasal 79 UU 13 Tahun 2003, ayat 1 menyebutkan pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti. Pada Ayat 3: cuti yang wajib diberikan kepada pekerja/buruh yaitu cuti tahunan, paling sedikit 12 hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 bulan secara terus menerus. Ayat 5: Selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat di atas, perusahaan dapat memberikan cuti panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Soal isu outsourcing diganti dengan kontrak seumur hidup, dikatakan Farah, outsourcing ke perusahaan alih daya tetap dimungkinkan. Pekerja menjadi karyawan dari perusahaan alih daya. Pasal 89 tentang Perubahan terhadap Pasal 66 Ayat 1 UU 13 Tahun 2003 disebutkan, hubungan kerja antara perusahaan alih daya dengan pekerja/buruh yang dipekerjakannya didasarkan pada perjanjian kerja waktu tertentu atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
Mengenai isu tidak akan ada status karyawan tetap, menurut Farah, status karyawan tetap masih ada. Pasal 89 tentang perubahan terhadap Pasal 56 UU 13 Tahun 2003 (1) Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu.
Kemudian soal anggapan perusahaan bisa mem-PHK kapanpun secara sepihak, ditegaskan Farah Putri, perusahaan tidak bisa mem-PHK secara sepihak. Pasal 90 tentang perubahan terhadap Pasal 151 UU 13 Tahun 2003 Ayat 1 menyebutkan, pemutusan hubungan kerja dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh.
”Kemudian pada Ayat 2: dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, penyelesaian pemutusan hubungan kerja dilakukan melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” katanya.
Soal anggapan jaminan sosial dan kesejahteraan lainnya hilang, Farah memastikan jaminan sosial tetap ada. Pasal 89 tentang perubahan terhadap Pasal 18 UU 40 Tahun 2004 disebutkan jenis program jaminan sosial meliputi jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, hari tua, pensiun, kematian, dan jaminan kehilangan pekerjaan.
Berikutnya, soal semua karyawan berstatus tenaga kerja harian, Farah menegaskan bahwa status karyawan tetap masih ada. Ini diatur dalam Pasal 89 tentang perubahan terhadap Pasal 56 Ayat 1 UU 13 Tahun 2003. Disebutkan, perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu.
Kemudian soal isu tenaga kerja asing bebas masuk, menurut Farah, tenaga kerja asing tidak bebas masuk, harus memenuhi syarat dan peraturan. Pada Pasal 89 tentang perubahan terhadap Pasal 42 Ayat1 UU 13 Tahun 2003, setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing dari Pemerintah Pusat.
Mengenai anggapan buruh dilarang protes dan ancamannya PHK, menurutnya, tidak ada larangan protes bagi buruh. Kemudian mengenai libur hari raya hanya pada tanggal merah dan tidak ada penambahan cuti, menurut Farah, sejak dulu penambahan libur di luar tanggal merah tidak diatur undang-undang, tapi kebijakan pemerintah. Dijelaskan, Fraksi PAN menerima UU Ciptaker dengan catatan tebal.
“Sikap F-PAN jelas yakni menerima dengan catatan kritis. Dimana Catatan kritis ini dibuat agar kelahiran UU Ciptaker bisa membawa kemaslahatan dan kesejahteraan bagi masyarakat luas,” tuturnya.
Meski demikian, dia memiliki sejumlah catatan terkait UU Ciptaker tersebut. Catatan pertama, pembahasan RUU Ciptaker terlalu tergesa-gesa serta minim partisipasi publik. Penyusunan aturan turunannya perlu menyerap aspirasi publik secara luas sehingga RUU ini kurang optimal. Kedua, bila dilihat dari sektor kehutanan, FPAN menilai bahwa aturan yang ada dalam RUU Ciptaker masih mengesampingkan partisipasi masyarakat. Terutama dengan penghapusan izin lingkungan, penyelesaian konflik lahan hutan, masyarakat adat dan perkebunan sawit, serta tumpang tindih antara areal hutan dengan izin konsesi pertambangan.
Catatan ketiga, pada sektor pertanian, sebaiknya pemerintah untuk tidak membuka keran impor pangan dari luar negeri terlalu lebar. Pemerintah harus memproteksi hasil produksi pangan lokal untuk meningkatkan daya saing petani. Tanpa membuka keran impor saja, daya saing komoditas pertanian kita sulit dikendalikan. Pengendalian harga komoditas pertanian yang dapat melindungi konsumen dan petani sekaligus, belum menjadi agenda dalam RUU Ciptaker.
Catatan empat, terkait sertifikasi halal suatu produk. PAN melihat beberapa pasal dalam RUU Ciptaker berpeluang besar melahirkan praktik moral hazard yang dilakukan pelaku Usaha Mikro dan Kecil (UMK). Praktik moral hazard sendiri merupakan situasi di mana seseorang tidak memiliki insentif untuk bertindak jujur.
Catatan kelima, Di bidang ketenagakerjaan, kami belum melihat penjelasan lebih khusus mengenai aspek rencana penggunaan tenaga kerja asing. Sebaiknya hal ini dicantumkan secara spesifik agar tidak multi interpretasi.
Catatan keenam, penghapusan ketentuan Pasal 64 dan 65 dalam UU Ketenagakerjaan akan melahirkan banyak pekerja kontrak yang tidak terproteksi dengan fasilitas-fasilitas yang telah diakomodir dalam UU Ketenagakerjaan Hal ini ditakutkan perusahaan-perusahaan jadi banyak menggunakan pekerja kontrak. Padahal menggunakan pekerja kontrak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi 'Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.'
Catatan ketujuh, Pasal 88 B yang menyebutkan bahwa upah para pekerja akan ditetapkan berdasarkan satuan waktu dan/atau hasil. Ketentuan ini berpotensi melahirkan ketidakadilan bagi kesejahteraan pekerja/buruh. Penghasilan yang diterima bisa berada di bawah upah minimum yang seharusnya. ketentuan ini hanya cocok diterapkan kepada pekerja profesional, bukan ke buruh atau pekerja biasa.
Catatan kedelapan, terkait pesangon. Jumlah pesangon para pekerja mestinya tidak dikurangi, tetap 32 kali gaji. Namun bedanya, pesangon tersebut tidak dibayarkan oleh pemberi kerja saja, namun juga dibayar oleh pemerintah. Saat terjadi PHK, pemberi kerja wajib membayar pesangon sebesar 23 kali gaji. Sedangkan pemerintah membayar 9 kali gaji melalui skema Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). “Hal ini meringankan beban pemberi kerja. Skema ini perlu diatur dan diperdalam lebih lanjut. Sebab skema JKP ini direncanakan juga akan menyerap Anggaran Penerimaan Belanja Negara (APBN),” pungkas Farah Putri.
(cip)