Uji Materi UU Penyiaran, Indonesia Tidak Boleh Dijajah Secara Digital
Kamis, 01 Oktober 2020 - 19:16 WIB
Dia mengungkapkan telah mempelajari pengaturan layanan video berupa VOD. Amerika Serikat, Uni Eropa, China, dan India, kata dia, telah memiliki lebih dulu pengaturan atau aturan tentang internet broadcasting yang di dalamnya termasuk internet TV, digital streaming, atau seperti di YouTube disebut dengan vidoe library.
Danrivanto mengungkapkan, dari sisi hukum dan legislasi maka yang paling penting adalah ketertiban.
Dia lantas mengutip salah satu pendapat pakar hukum dan legislasi teknologi informasi komunikasi internasional, bahwa yang akan merespons kemajuan teknologi bukanlah teknologi itu sendiri tapi sistem hukum.
Menurut dia, respons sistem hukum harus dapat meminimalisir sengketa-sengketa maupun aspek-aspek lain yang tidak diperlukan.
"Untuk menciptakan dan memelihara ketertiban dan predikitibilitas sosial makanya sosial media dan intenet broadcasting itu tidak sederhana. Karena dia harus sanggup mendorong dan mengkanalisasi, sehingga tidak menjadi suatu hal yang sifatnya meledak dan membahayakan kondisi negara dan sosial," ujarnya.
Dia menegaskan, secara konstitusional gugatan uji materi perkara a quo dapat dibenarkan. Para founding founders negeri ini sejak 75 tahun lalu sudah memberikan jangkauan pemahaman konstitusi bahwa yang namanya perlindungan bukan hanya semata-mata yang terlihat, tapi juga yang saat itu tidak terlihat contohnya yang disebut spektrum frekuensi.
Danrivanto mengungkapkan, dalam rangka perlindungan kepada seluruh tumpah darah Indonesia maka pengertian tumpah darah dalam artian ini tentu tanah bukan hanya yang berada di atas tanah yang tubuh atau di dalam tanah yakni sumber daya alam. Tetapi, kata dia, juga termasuk apa yang ada di antaranya yakni earth space, cyber space, dan yang ada di luar angkasa atau outer space.
"Frekuensi inilah, ruang wilayah inilah yang kemudian sering perkembangan waktu dan teknologi menjadi wilayah kolonialisme baru. Bahwa sekarang, kolonialisme tidak lagi seperti VOC bawa kapal, datang, kemudian melakukan perjanjian dagang tapi sebenarnya melakukan kolonialisme. Nah saat ini, kolonialisme digital ini memang tampak," ungkapnya.
Dia menjelaskan, untuk mengatasi kolonialisme baru di ranah digital maka Indonesia harus tegas melindungi warga negaranya dari sisi hukum dan legislasi sama seperti negara-negara lain.
Apalagi, kata Danrivanto, Indonesia adalah negara pengguna internet tertinggi ketiga di Asia. Karenanya pendekatan hukum konvergensi teknologi dan bisnis menjadi keniscayaan. Apalagi layanan VOD selama ini memberikan pemasukan bagi penyedia layanan.
Danrivanto mengungkapkan, dari sisi hukum dan legislasi maka yang paling penting adalah ketertiban.
Dia lantas mengutip salah satu pendapat pakar hukum dan legislasi teknologi informasi komunikasi internasional, bahwa yang akan merespons kemajuan teknologi bukanlah teknologi itu sendiri tapi sistem hukum.
Menurut dia, respons sistem hukum harus dapat meminimalisir sengketa-sengketa maupun aspek-aspek lain yang tidak diperlukan.
"Untuk menciptakan dan memelihara ketertiban dan predikitibilitas sosial makanya sosial media dan intenet broadcasting itu tidak sederhana. Karena dia harus sanggup mendorong dan mengkanalisasi, sehingga tidak menjadi suatu hal yang sifatnya meledak dan membahayakan kondisi negara dan sosial," ujarnya.
Dia menegaskan, secara konstitusional gugatan uji materi perkara a quo dapat dibenarkan. Para founding founders negeri ini sejak 75 tahun lalu sudah memberikan jangkauan pemahaman konstitusi bahwa yang namanya perlindungan bukan hanya semata-mata yang terlihat, tapi juga yang saat itu tidak terlihat contohnya yang disebut spektrum frekuensi.
Danrivanto mengungkapkan, dalam rangka perlindungan kepada seluruh tumpah darah Indonesia maka pengertian tumpah darah dalam artian ini tentu tanah bukan hanya yang berada di atas tanah yang tubuh atau di dalam tanah yakni sumber daya alam. Tetapi, kata dia, juga termasuk apa yang ada di antaranya yakni earth space, cyber space, dan yang ada di luar angkasa atau outer space.
"Frekuensi inilah, ruang wilayah inilah yang kemudian sering perkembangan waktu dan teknologi menjadi wilayah kolonialisme baru. Bahwa sekarang, kolonialisme tidak lagi seperti VOC bawa kapal, datang, kemudian melakukan perjanjian dagang tapi sebenarnya melakukan kolonialisme. Nah saat ini, kolonialisme digital ini memang tampak," ungkapnya.
Dia menjelaskan, untuk mengatasi kolonialisme baru di ranah digital maka Indonesia harus tegas melindungi warga negaranya dari sisi hukum dan legislasi sama seperti negara-negara lain.
Apalagi, kata Danrivanto, Indonesia adalah negara pengguna internet tertinggi ketiga di Asia. Karenanya pendekatan hukum konvergensi teknologi dan bisnis menjadi keniscayaan. Apalagi layanan VOD selama ini memberikan pemasukan bagi penyedia layanan.
tulis komentar anda