Uji Materi UU Penyiaran, Indonesia Tidak Boleh Dijajah Secara Digital

Kamis, 01 Oktober 2020 - 19:16 WIB
loading...
Uji Materi UU Penyiaran, Indonesia Tidak Boleh Dijajah Secara Digital
Danrivanto Budhijanto saat memberikan keterangan sebagai ahli secara daring dalam sidang uji materi UU Penyiaran di Mahkamah Konstitusi. Foto/Tangkapan layar YouTube Mahkamah Konstitusi.
A A A
JAKARTA - Pakar hukum dan regulasi teknologi informasi, Danrivanto Budhijanto menyatakan Indonesia tidak boleh dijajah secara digital. Oleh karena itu, penyiaran berbasis internet harus diatur untuk menegakkan kedaulatan negara.

Keterangan ini disampaikan Danrivanto Budhijanto saat memberikan keterangan sebagai ahli dalam perkara uji materi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran di Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (1/10/2020).

Danrivanto memberikan keterangan secara daring. Dia dihadirkan oleh kuasa hukum pemohon, PT Visi Citra Mitra Mulia (iNews TV) dan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI).

Danrivanto juga merupakan mantan komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indoesia (BRTI) pada masa periode 2018-2020.

Selain Danrivanto, kuasa pemohon juga menghadirkan ahli lain, yakni Guru besar ilmu komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sekaligus mantan komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Iswandi Syahputra. Sidang berlangsung secara virtual dan dipimpin langsung oleh Ketua MK Anwar Usman.

Danrivanto Budhijanto mengatakan, Indonesia merupakan negara pengguna internet nomor tiga tertinggi di Asia. Hal ini terjadi karena dua faktor, yakni memiliki pulau-pulau yang sangat luas dan jumlah penduduk yang terbanyak nomor empat di dunia.

Karena itu, sambung dia, infrastruktur internet merupakan keniscayaan. Danrivanto lantas menukilkan pernyataan Presiden Joko Widodo saat menyampaikan pidato kenegaraan pada 14 Agustus 2020 bahwa peran media digital yang saat ini sangat penting harus diarahkan untuk membangun nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan.( )

Danrivanto membeberkan, berdasarkan data sebuah lembaga advertising dan media dunia, yakni Statista bahwa dengan adanya pandemi Covid-19 maka penggunaan internet dan media digital sangat luar biasa. Bahkan berdasarkan data Statista, Indonesia menjadi pangsa pasar yang sangat luar biasa dari video on demand (VOD).

"Indonesia itu menjadi pangsa pasar dari video on demand, yang namanya Netflix, yang namanya YouTube. Di mana kita bahkan lebih tinggi dari Amerika, China, maupun India. Namun yang sangat disayangkan, industri existing yang saat ini untuk televisi, itu tumbuhnya minus," tutur Danrivanto di hadapan hakim konstitusi. )

Dia mengungkapkan telah mempelajari pengaturan layanan video berupa VOD. Amerika Serikat, Uni Eropa, China, dan India, kata dia, telah memiliki lebih dulu pengaturan atau aturan tentang internet broadcasting yang di dalamnya termasuk internet TV, digital streaming, atau seperti di YouTube disebut dengan vidoe library.

Danrivanto mengungkapkan, dari sisi hukum dan legislasi maka yang paling penting adalah ketertiban.

Dia lantas mengutip salah satu pendapat pakar hukum dan legislasi teknologi informasi komunikasi internasional, bahwa yang akan merespons kemajuan teknologi bukanlah teknologi itu sendiri tapi sistem hukum.

Menurut dia, respons sistem hukum harus dapat meminimalisir sengketa-sengketa maupun aspek-aspek lain yang tidak diperlukan.

"Untuk menciptakan dan memelihara ketertiban dan predikitibilitas sosial makanya sosial media dan intenet broadcasting itu tidak sederhana. Karena dia harus sanggup mendorong dan mengkanalisasi, sehingga tidak menjadi suatu hal yang sifatnya meledak dan membahayakan kondisi negara dan sosial," ujarnya.

Dia menegaskan, secara konstitusional gugatan uji materi perkara a quo dapat dibenarkan. Para founding founders negeri ini sejak 75 tahun lalu sudah memberikan jangkauan pemahaman konstitusi bahwa yang namanya perlindungan bukan hanya semata-mata yang terlihat, tapi juga yang saat itu tidak terlihat contohnya yang disebut spektrum frekuensi.

Danrivanto mengungkapkan, dalam rangka perlindungan kepada seluruh tumpah darah Indonesia maka pengertian tumpah darah dalam artian ini tentu tanah bukan hanya yang berada di atas tanah yang tubuh atau di dalam tanah yakni sumber daya alam. Tetapi, kata dia, juga termasuk apa yang ada di antaranya yakni earth space, cyber space, dan yang ada di luar angkasa atau outer space.

"Frekuensi inilah, ruang wilayah inilah yang kemudian sering perkembangan waktu dan teknologi menjadi wilayah kolonialisme baru. Bahwa sekarang, kolonialisme tidak lagi seperti VOC bawa kapal, datang, kemudian melakukan perjanjian dagang tapi sebenarnya melakukan kolonialisme. Nah saat ini, kolonialisme digital ini memang tampak," ungkapnya.

Dia menjelaskan, untuk mengatasi kolonialisme baru di ranah digital maka Indonesia harus tegas melindungi warga negaranya dari sisi hukum dan legislasi sama seperti negara-negara lain.

Apalagi, kata Danrivanto, Indonesia adalah negara pengguna internet tertinggi ketiga di Asia. Karenanya pendekatan hukum konvergensi teknologi dan bisnis menjadi keniscayaan. Apalagi layanan VOD selama ini memberikan pemasukan bagi penyedia layanan.

Sehingga, convergence norm-nya yang harus diperkuat dan ditegakkan. Di Undang-Undang (UU) Informasi dan Teknologi Elektronik (ITE) sudah ada convergence norm-nya bahwa yang dimaksudkan dengan penyiaran adalah telekomunikasi khusus dan subjek hukumnya adalah penyelenggara telekomunikasi khusus. Tetapi convergence norm dengan UU ITE masih terbatas.

Kalau bicara insfratrukturnya, juga sudah ada convergence norm-nya di UU ITE dan UU Penyiaran.

Di sisi lain, Danrivanto mengungkapkan, jika bicara penyiaran melalui internet maka bentuknya dengan karakter sendiri, yakni jika dihubungkan dengan UU Penyiaran maka negara yang menyelenggarakan melalui lembaga negara yakni Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Keberadaan KPI untuk menjadi lembaga cek and balance atas kebebasan berpendapat yang disampaikan publik.

"Praktik di negara lain itu, telekomunikasi dan penyiaran itu satu kesatuan undang-undang, satu lembaga regulatory yang sama," katanya.

Danrivanto melanjutkan, kedaulatan negara dan perlindungan negara terhadap warga negaranya atas konten digital bisa disodorkan contohnya yakni Amerika Serikat yang melarang TikTok masuk ke Negeri Paman Sam. Urusannya, bukan terkait dengan konten saja tapi TikTok adalah makhluk asing. Kalau TikTok mau masuk ke Amerika, maka pemegang sahamnya harus berbadan hukum Amerika.

"Artinya di sini ditunjukkan kedaulatan virtual. Sama juga Singapura, begitu tahu potensi dari kedaulatan virtual seperti ini dan tahu bahwa ini bisa jadi pengungkit ekonomi, maka mereka mengatur perilaku VOD, bagaimana perilaku internet broadcasting, bagaimana platform yang menggunakan internet. Karena tahu itu akan menjadi daya tarik," tuturnya.

Dia meyakini, kedaulatan digital atau virtual dapat menjadi satu di antara jalan keluar mengatasi ekonomi akibat pandemi Covid-19. Karena itu, Danrivanto menegaskan perlu pengaturan dan pengawasan terhadap internet broadcasting hingga OTT berjenis VOD.

Dia mengungkapkan, penyiaran yang memasukkan kategori penyiaran dengan internet seperti dalam gugatan perkara a quo jelas merespons secara futurik yang belum dibayangkan oleh kita semua.

"Saya meyakini pada hari ini adalah sejarah bagi bangsa kita, bahwa kita tidak mau dijajah secara digital. Kita tidak mau ada kolonialisme baru. Sementara mereka membuat kita tidak bisa masuk ke sana. China, India, Amerika itu melakukan proteksi luar biasa terhadap aplikasi masing-masing," tegas Danrivanto.

Danrivanto melanjutkan, dengan pendekatan seperti itu maka negara yang sudah mengetahui bahwa masa depan adalah ekonomi digital tidak akan membiarkan kedaulatan digitalnya dijajah.

Dia mengatakan, secara nyata bahwa benar di masa pandemi Covid-19 maka dapat dilihat ekonomi Indonesia ditopang oleh ekonomi digital. Dengan topangan seperti itu, krisis di Indonesia tidak seperti di negara lain.

"Saya berharap jangan sampai bentuk ekonomi digital kita yang sudah terbentuk sejak lima tahun lalu dan kita merasakan manfaatnya ini kemudian digarong oleh global tech-global tech dunia, karena dia tahu kita belum memiliki convergence norm terhadap penyiaran berbasi teknologi internet," ucap Danrivanto.
(dam)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3247 seconds (0.1#10.140)