Dominasi Kuasa di Pilkada

Rabu, 30 September 2020 - 06:24 WIB
Karawanan Politik

Selain isu kesehatan, kerawanan politik yang berpotensi mengancam kualitas demokrasi adalah dominasi kuasa di pilkada. Jumlah pasangan calon tungal semakin meningkat pesat di Pilkada 2020. Jika di pilkada 2015 hanya ada 3 paslon tunggal dari 269 daerah pemilihan, di pilkada 2017 ada 9 dari 101 daerah, Pilkada 2018 ada 12 dari 171 daerah, di pilkada 2020 ada 25 dari 270 daerah. Semakin banyaknya jumlah paslon tunggal dari satu pilkada ke pilkada disebabkan empat faktor utama.

Pertama, rendahnya proses kaderisasi di tubuh partai, karena kerapkali tidak ada standar pasti dalam tahapan kandidasi. Semua kembali ke selera elite utama partainya. Ini yang oleh Dennis Gouran dalam tulisannya yang berjudul The Signs of Cognitive, Affiliative, and Egosentric Constraints (1998) disebut sebagai batasan afiliatif, dimana anggota kelompok lebih memilih untuk menahan diri. Mereka enggan berbeda dengan elite utamanya karena tahu risiko yang akan diterimanya. Jika pun membelot dari kehendak elite utamanya dan dianggap penyimpang biasanya dengan mudah si kader tersebut akan dipecat dari partai.

Kedua, syarat ambang batas pencalonan (threshold) 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara hasil pemilu legislatif. Realitas ini, kerap menjadi hambatan serius bagi orang berkualitas untuk mendapatkan tiket menuju kompetisi. Partai menganggap dirinya maha penting, karena dapat menyediakan kendaraan menuju gelanggang permainan. Praktik ini, menyuburkan negosiasi dan mahar. Kandidasi menjadi “pasar taruhan” dan sisi gelap yang susah dijamah. Praktik ini bisa menyebabkan demokrasi elusif. Makna demokrasi elusif dalam tulisannya The Elusive Democrac-Political Parties, Democratic Institutions and Civil Society in Mexico/Latin American (2010) adalah penurunan kualitas demokrasi sebagai konsekuensi dari lambatnya konsolidasi, baik dari pemantapan kapasitas institusi demokrasi maupun kematang­an budaya politik. Penurunan kualitas demokrasi bisa dimulai dari partai politik.

Ketiga, politik berbiaya tinggi yang menyebabkan dominasi kuasa ekonomi. Orang yang menjadi calon adalah mereka yang mengendalikan sumber-sumber ekonomi dan seluruh kekuatan kumulasi di dirinya. Terlebih kalau ada pasangan calon yang mendapat “investor” dari para pengusaha yang memiliki kepentingan dengan sumber-sumber kekayaan material di daerah bersangkutan. Misalnya tambang, migas, izin usaha properti dan lain-lain. Praktik ini menyuburkan praktik oligarki. Dalam bukunya Jaffrey Winter, Oligarchy (2011), oligarki sesungguhnya bukan semata soal kekuasaan yang dikendalikan sedikit orang, melainkan ada aspek penguasaan sumberdaya material melalui pertahanan kekayaan (harta dan pendapatan). Sumberdaya material yang tidak setara secara ektrem bisa menyebabkan kumulasi dukungan kepada salah satu pasangan dan mereduksi kompetisi dengan cara sejak awal all out menguasai perahu lawan.

Pasangan calon tunggal akan menyebabkan ketiadaan alternatif pilihan, tingkat partisipasi yang berpotensi turun akibat ketidaan harapan, dan yang jelas kian menyuburkan praktik politik kartel di daerah. Jangan heran kalau praktik ini akan menjadi penyakit menahun yang terus menerus dikelola, dipertahankan guna mengamankan akses ke kekuasaan.

Satu lagi yang menjadi wajah dominasi kuasa di pilkada adalah kian menjamurnya sanak kerabat. Setidaknya ada 52 bakal calon kepala daerah yang mengikuti Pilkada 2020 terindikasi dinasti politik. Akhirnya, pilkada bukan menjadi mekanisme konsolidasi demokrasi, tetapi menjadi pintu bagi politik kekerabatan. Hal ini, diperparah jika orang yang diusung dipaksakan. Menjadi pemimpin butuh proses yang tak instan, jangan asal-asalan!
(ras)
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More