12 Organisasi Pendidikan Kompak Tolak RUU Ciptaker Klaster Pendidikan
Selasa, 22 September 2020 - 16:30 WIB
Keenam, berbagai pengaturan dalam RUU Cipta Kerja akan meliberalisasi dan mengkapitalisasi pendidikan pada jenjang Pendidikan Dasar, Menengah, dan Tinggi dengan menghilangkan sejumlah syarat dan standar bagi lembaga pendidikan asing yang akan menyelenggarakan pendidikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ketujuh, peran penyelenggaraan pendidikan tinggi keagamaan, oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama dihilangkan sehingga Kementerian Agama tidak akan memiliki kewenangan untuk mengontrol pendidikan tinggi keagamaan yang diselenggarakan di Indonesia.
Kedelapan, dihapuskannya standar pendidikan tinggi menjadikan negara kehilangan peran dalam memastikan terselenggaranya mutu pendidikan yang dicitakan, kondisi ini menjadikan pemerintah kehilangan ukuran dalam menilai perkembangan pendidikan tinggi yang pada akhirnya menimbulkan ketidakjelasan politik hukum penyelenggaraan pendidikan tinggi.
(Baca: Raksasa Sawit Disebut Dukung Praktik Deforestasi lewat RUU Cipta Kerja)
Kesembilan, dihapuskannya peran pemerintah daerah dalam proses perizinan pembentukan lembaga pendidikan sebagai akibat dari adanya sentralisasi perizinan pada Pemerintah Pusat. Kondisi ini bertentangan dengan spirit desentralisasi dan otonomi daerah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) UUD Tahun 1945.
Ke-10, sentralisasi perizinan pada Pemerintah Pusat juga turut menegasikan peran daerah dalam menghadirkan pendidikan yang menjunjung tinggi kearifan lokal.
Ke-11, terjadinya perubahan tata kelola Perguruan Tinggi Swasta yang tidak mewajibkan adanya Badan Penyelenggara, berimplikasi pada pengelolaan Perguruan Tinggi Swasta langsung pada pimpinan Perguruan Tinggi Swasta. Tata kelola Perguruan Tinggi Swasta dikelola sama dengan pengelolaan perseroan terbatas.
Ke-12, dihapuskannya sejumlah sanksi administratif dan pidana sebagai akibat dari penyalahgunaan perizinan penyelenggaraan pendidikan, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi oleh sejumlah orang dapat merugikan orang lain.
(Baca: Soal Ombibus Law RUU Cipta Kerja, Sosiolog: Dampak Lingkungan Penting Dikritisi)
Berdasarkan sejumlah catatan tersebut, Aliansi Organisasi Pendidikan menyatakan, pertama, menolak RUU Cipta Kerja Klaster Pendidikan dan Kebudayaan. Kedua, mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah untuk mengeluarkan klaster pendidikan dan kebudayaan dari RUU Cipta Kerja.
Ketujuh, peran penyelenggaraan pendidikan tinggi keagamaan, oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama dihilangkan sehingga Kementerian Agama tidak akan memiliki kewenangan untuk mengontrol pendidikan tinggi keagamaan yang diselenggarakan di Indonesia.
Kedelapan, dihapuskannya standar pendidikan tinggi menjadikan negara kehilangan peran dalam memastikan terselenggaranya mutu pendidikan yang dicitakan, kondisi ini menjadikan pemerintah kehilangan ukuran dalam menilai perkembangan pendidikan tinggi yang pada akhirnya menimbulkan ketidakjelasan politik hukum penyelenggaraan pendidikan tinggi.
(Baca: Raksasa Sawit Disebut Dukung Praktik Deforestasi lewat RUU Cipta Kerja)
Kesembilan, dihapuskannya peran pemerintah daerah dalam proses perizinan pembentukan lembaga pendidikan sebagai akibat dari adanya sentralisasi perizinan pada Pemerintah Pusat. Kondisi ini bertentangan dengan spirit desentralisasi dan otonomi daerah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) UUD Tahun 1945.
Ke-10, sentralisasi perizinan pada Pemerintah Pusat juga turut menegasikan peran daerah dalam menghadirkan pendidikan yang menjunjung tinggi kearifan lokal.
Ke-11, terjadinya perubahan tata kelola Perguruan Tinggi Swasta yang tidak mewajibkan adanya Badan Penyelenggara, berimplikasi pada pengelolaan Perguruan Tinggi Swasta langsung pada pimpinan Perguruan Tinggi Swasta. Tata kelola Perguruan Tinggi Swasta dikelola sama dengan pengelolaan perseroan terbatas.
Ke-12, dihapuskannya sejumlah sanksi administratif dan pidana sebagai akibat dari penyalahgunaan perizinan penyelenggaraan pendidikan, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi oleh sejumlah orang dapat merugikan orang lain.
(Baca: Soal Ombibus Law RUU Cipta Kerja, Sosiolog: Dampak Lingkungan Penting Dikritisi)
Berdasarkan sejumlah catatan tersebut, Aliansi Organisasi Pendidikan menyatakan, pertama, menolak RUU Cipta Kerja Klaster Pendidikan dan Kebudayaan. Kedua, mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah untuk mengeluarkan klaster pendidikan dan kebudayaan dari RUU Cipta Kerja.
Lihat Juga :
tulis komentar anda