12 Organisasi Pendidikan Kompak Tolak RUU Ciptaker Klaster Pendidikan

Selasa, 22 September 2020 - 16:30 WIB
loading...
12 Organisasi Pendidikan...
Foto/ilustrasi.SINDOnews
A A A
JAKARTA - Sebanyak 12 organisasi pendidikan yang tergabung dalam Koalisi Organisasi Pendidikan kompak menolak klaster pendidikan pada RUU Cipta Kerja . Ke-12 organisasi itu yakni Majelis Pendidikan Tinggi dan Penelitian Pengembangan (Diktilitbang) PP Muhammadiyah, Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) PP Muhammadiyah, LP Ma'arif NU PBNU, NU Circle, Rektor Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta, Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, Rektor Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, dan Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Selanjutnya, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI), Persatuan Keluarga Besar Taman Siswa (PKBTS), dan Majelis Wali Amanat Universitas Djuanda Bogor. Dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Selasa (22/9/2020), mereka mengeluarkan pernyataan sikap bersama sekaligus memberikan catatan kritis terhadap RUU Cipta Kerja, khususnya pada klaster pendidikan.

(Baca: KSPI Anggap Pernyataan RUU Cipta Kerja Segera Disahkan Cuma Psywar dari Pemerintah)

Pertama, dalam merumuskan berbagai peraturan dan kebijakan, salah satu prinsip yang tidak dapat ditinggalkan adalah tujuan negara sebagaimana disebutkan dalam Pembukaan UUD Tahun 1945 yang mengamanatkan negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Kedua, untuk mewujudkan tujuan negara, dalam Pasal 31 ayat (3) UUD Tahun 1945 mengamanatkan Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan, serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Ketiga, berdasarkan visi negara dan rumusan norma konstitusi, sangat jelas memperlihatkan bahwa tugas mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan tidak boleh menempatkan faktor-faktor determinan lain atas pendidikan. Sebagaimana terlihat dalam RUU Cipta Kerja bahwa ekonomi/bisnis dan dunia usaha menjadi faktor determinan baru dalam pendidikan, dengan memasukkan materi pendidikan dan kebudayaan pada rezim hukum ekonomi.

(Baca: Darurat Covid-19, Muhammadiyah Minta DPR Menunda RUU Cipta Kerja)

Keempat, pengaturan ketentuan pendidikan dan kebudayaan dalam RUU Cipta Kerja masuk dalam BAB III tentang Peningkatan Ekosistem Investasi dan Kegiatan Berusaha, menandakan secara paradigmatik menempatkan pendidikan dan kebudayaan masuk rezim investasi dan kegiatan berusaha. Hal ini telah menggeser politik hukum pendidikan menjadi rezim perizinan berusaha melalui penggunaan terminologi izin berusaha pada sektor pendidikan yang sesungguhnya tidak berorientasi laba.

Kelima, pengaturan pendidikan dan kebudayaan dalam RUU Cipta Kerja akan berimplikasi hilangnya nilai, karakteristik, pendidikan yang berbasis kebudayaan serta telah menegasikan peran kebudayaan dalam sistem pendidikan di Indonesia. Hal itu sangat bertentangan dengan ketentuan Pasal 32 ayat (1) UUD Tahun 1945 yang memerintahkan negara untuk memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.

Keenam, berbagai pengaturan dalam RUU Cipta Kerja akan meliberalisasi dan mengkapitalisasi pendidikan pada jenjang Pendidikan Dasar, Menengah, dan Tinggi dengan menghilangkan sejumlah syarat dan standar bagi lembaga pendidikan asing yang akan menyelenggarakan pendidikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ketujuh, peran penyelenggaraan pendidikan tinggi keagamaan, oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama dihilangkan sehingga Kementerian Agama tidak akan memiliki kewenangan untuk mengontrol pendidikan tinggi keagamaan yang diselenggarakan di Indonesia.

Kedelapan, dihapuskannya standar pendidikan tinggi menjadikan negara kehilangan peran dalam memastikan terselenggaranya mutu pendidikan yang dicitakan, kondisi ini menjadikan pemerintah kehilangan ukuran dalam menilai perkembangan pendidikan tinggi yang pada akhirnya menimbulkan ketidakjelasan politik hukum penyelenggaraan pendidikan tinggi.

(Baca: Raksasa Sawit Disebut Dukung Praktik Deforestasi lewat RUU Cipta Kerja)

Kesembilan, dihapuskannya peran pemerintah daerah dalam proses perizinan pembentukan lembaga pendidikan sebagai akibat dari adanya sentralisasi perizinan pada Pemerintah Pusat. Kondisi ini bertentangan dengan spirit desentralisasi dan otonomi daerah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) UUD Tahun 1945.

Ke-10, sentralisasi perizinan pada Pemerintah Pusat juga turut menegasikan peran daerah dalam menghadirkan pendidikan yang menjunjung tinggi kearifan lokal.

Ke-11, terjadinya perubahan tata kelola Perguruan Tinggi Swasta yang tidak mewajibkan adanya Badan Penyelenggara, berimplikasi pada pengelolaan Perguruan Tinggi Swasta langsung pada pimpinan Perguruan Tinggi Swasta. Tata kelola Perguruan Tinggi Swasta dikelola sama dengan pengelolaan perseroan terbatas.

Ke-12, dihapuskannya sejumlah sanksi administratif dan pidana sebagai akibat dari penyalahgunaan perizinan penyelenggaraan pendidikan, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi oleh sejumlah orang dapat merugikan orang lain.

(Baca: Soal Ombibus Law RUU Cipta Kerja, Sosiolog: Dampak Lingkungan Penting Dikritisi)

Berdasarkan sejumlah catatan tersebut, Aliansi Organisasi Pendidikan menyatakan, pertama, menolak RUU Cipta Kerja Klaster Pendidikan dan Kebudayaan. Kedua, mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah untuk mengeluarkan klaster pendidikan dan kebudayaan dari RUU Cipta Kerja.

Ketiga, mempertegas kebijakan pendidikan nasional berlandaskan filosofi kebudayaan Indonesia dan menjauhkan dari praktik komersialisasi dan liberalisasi.

"Demikian pernyataan sikap penolakan Aliansi Organisasi Pendidikan terhadap RUU Cipta Kerja Klaster Pendidikan ini disampaikan untuk dapat ditindaklanjuti dengan dibatalkannya RUU Cipta Kerja dan ditariknya klaster pendidikan dan kebudayaan dari RUU Cipta Kerja," demikian bunyi pernyataan sikap bersama tersebut.

Adapun pihak-pihak yang menandatangani pernyataan sikap bersama tersebut antara lain: Prof. H. Lincolin Arsyad M.Sc Ph.D mewakili Majelis Pendidikan Tinggi dan Penelitian Pengembangan (Diktilitbang) PP Muhammadiyah, Prof Dr H Baedhowi MSi dari Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) PP Muhammadiyah, Z Arifin Junaidi dari LP Ma'arif NU PBNU, Nanang Achmad Rizali dari NU Circle.

Selanjutnya, Dr Trisno Rahardjo MH dari Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, Rektor Universitas Muhammadiyah Sidoarjo Dr Hidayatulloh MSi, Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta Prof. Dr. Sofyan Anif MSi, Ki Darmaningtyas dari Persatuan Keluarga Besar Taman Siswa (PKBTS), Dr. H. Martin Roestamy, S.H., M.H dari Majelis Wali Amanat Universitas Djuanda Bogor.

Nama lainnya adalah Rektor Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta Prof Drs Purwo Santoso MA PhD, Ketua Umum PB PGRI Prof Dr Unifah Rosyidi MPd, dan Prof Dr Ir H M Budi Jatmiko dari Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta (APTISI).
(muh)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1266 seconds (0.1#10.140)