Roller Coaster Covid-19 dan Perubahan Wajah Peradaban
Minggu, 13 September 2020 - 07:32 WIB
Demikian juga dengan dirilisnya prakiraan dari ilmuwan Jerman, yang menyatakan pandemi Covid-19 paling cepat berakhir di tahun 2023. Ini mengacu pada flu Spanyol se-abad lalu, ketika menimbulkan penularan dan kematian besar di dunia.
Harapan yang melambung, di tengah lelahnya hidup yang terus-menerus didera oleh realitas penularan dan kematian, terhempas oleh pesimisme kabar buruk. Sumber informasinya justru personal-personal yang punya kompetensi, dari Lembaga yang punya otoritas pula. Tak ketinggalan, saat seorang ilmuwan dari sebuah kampus di Indonesia yang mewartakan kabar: daya tular Virus Corona telah melemah. Ibarat photo copy yang di-photo copy lagi, berulang-ulang, maka hasilnya akan makin buram.
Analog dengan virus yang telah mereplikasi dirinya sendiri selama lebih dari 6 bulan, akan kehilangan daya replikasinya. Kemampuan menularnya, makin turun. Artinya, dengan atau tanpa vaksin dan obat tertentu, pandemi yang melelahkan ini akan berakhir secara alamiah.
Pernyataan dari orang yang bukan biasa-biasa saja ini pun, dibantah oleh hasil penemuan ilmuwan dari kampus lainnya. Penemuan itu menyatakan, Virus Corona telah mengalami mutasi sehingga daya tularnya justru meningkat makin kuat. Itu sebabnya, tanpa menyertakan kapasitas testing, tracing dan treatment (3T) yang ideal menurut WHO, penularan Covid-19 di Indonesia terindikasi mengganas, dua bulan terakhir ini.
Pelonggaran PSBB, adaptasi kebiasaan baru, new normal, bahkan berbagai konsep kebijakan yang dikemukakan sebagai upaya menyelamatkan ekonomi, seraya mewaspadai ancaman penularan yang tak pernah nihil, justru tak mengindikasikan keduanya.
Ganasnya penularan yang memaksa Pemprov DKI menarik tuas rem darurat, mengembalikan lagi PSBB ketat, juga kota-kota lain yang terlebih dahulu memberlakukan jam malam, hampir bersamaan dengan sinyal Menteri Keuangan Sri Mulyani: Indonesia tampaknya tak bisa menghindar dari resesi ekonomi, di kuartal ke-III 2020. Itu artinya sekitar bulan September Oktober 2020, Indonesia akan ada di kondisi serupa krisis ekonomi 1998.
PSBB ketat yang kembali diberlakukan, adalah simalakama: menghindari terlampauinya kapasitas maksimal rumah sakit (RS) rujukan merawat pasien Covid-19, namun juga menghentikan aktivitas ekonomi yang sesungguhnya perlahan-lahan mulai bergerak, di masa transisi. Naik turun roller coaster yang menegangkan, benar-benar jadi pengalaman sejarah masyarakat Indonesia hari-hari ini.
Tapi apa sebatas perasaan tak nyaman ala roller coaster, yang jadi implikasi pandemi, berkepanjangan ini? Secara empiris, banyak kebiasaan baik new normal yang bermunculan. Dari WFH diperoleh, ruang kerja fisik dan jam kerja synchronous tak mesti halangi produktivitas. Perjumpaan yang dimediasi perangkat berinternet, menyelesaikan banyak hal tanpa hilang kualitas.
Demikian pula di tengah tersendatnya pembelajaran jarak jauh (PJJ), lantaran dimaknai sebatas urusan pindah ruang: dari ruang analog ke ruang digital, pembuat kebijakan pendidikan berfokus pada ketersediaan pulsa dan perangkat komunikasi. Namun ini tak menghalangi munculnya sekolah yang bisa mengembangkan sistem ajar tanpa tatap muka yang berkualitas dan fleksibel.
Sekolah-sekolah itu mentrasfromasi pemahaman: pembelajaran adalah aktivitas alih informasi pengetahuan. Ruang-ruang fisik di waktu tertentu, itu sekunder. PJJ ini jadi cikal bakal internet of things. Demikian juga dengan ibadah dari rumah. Bukankan esensi relasi transendental memang mengandalkan virtualitas hubungan?
Harapan yang melambung, di tengah lelahnya hidup yang terus-menerus didera oleh realitas penularan dan kematian, terhempas oleh pesimisme kabar buruk. Sumber informasinya justru personal-personal yang punya kompetensi, dari Lembaga yang punya otoritas pula. Tak ketinggalan, saat seorang ilmuwan dari sebuah kampus di Indonesia yang mewartakan kabar: daya tular Virus Corona telah melemah. Ibarat photo copy yang di-photo copy lagi, berulang-ulang, maka hasilnya akan makin buram.
Analog dengan virus yang telah mereplikasi dirinya sendiri selama lebih dari 6 bulan, akan kehilangan daya replikasinya. Kemampuan menularnya, makin turun. Artinya, dengan atau tanpa vaksin dan obat tertentu, pandemi yang melelahkan ini akan berakhir secara alamiah.
Pernyataan dari orang yang bukan biasa-biasa saja ini pun, dibantah oleh hasil penemuan ilmuwan dari kampus lainnya. Penemuan itu menyatakan, Virus Corona telah mengalami mutasi sehingga daya tularnya justru meningkat makin kuat. Itu sebabnya, tanpa menyertakan kapasitas testing, tracing dan treatment (3T) yang ideal menurut WHO, penularan Covid-19 di Indonesia terindikasi mengganas, dua bulan terakhir ini.
Pelonggaran PSBB, adaptasi kebiasaan baru, new normal, bahkan berbagai konsep kebijakan yang dikemukakan sebagai upaya menyelamatkan ekonomi, seraya mewaspadai ancaman penularan yang tak pernah nihil, justru tak mengindikasikan keduanya.
Ganasnya penularan yang memaksa Pemprov DKI menarik tuas rem darurat, mengembalikan lagi PSBB ketat, juga kota-kota lain yang terlebih dahulu memberlakukan jam malam, hampir bersamaan dengan sinyal Menteri Keuangan Sri Mulyani: Indonesia tampaknya tak bisa menghindar dari resesi ekonomi, di kuartal ke-III 2020. Itu artinya sekitar bulan September Oktober 2020, Indonesia akan ada di kondisi serupa krisis ekonomi 1998.
PSBB ketat yang kembali diberlakukan, adalah simalakama: menghindari terlampauinya kapasitas maksimal rumah sakit (RS) rujukan merawat pasien Covid-19, namun juga menghentikan aktivitas ekonomi yang sesungguhnya perlahan-lahan mulai bergerak, di masa transisi. Naik turun roller coaster yang menegangkan, benar-benar jadi pengalaman sejarah masyarakat Indonesia hari-hari ini.
Tapi apa sebatas perasaan tak nyaman ala roller coaster, yang jadi implikasi pandemi, berkepanjangan ini? Secara empiris, banyak kebiasaan baik new normal yang bermunculan. Dari WFH diperoleh, ruang kerja fisik dan jam kerja synchronous tak mesti halangi produktivitas. Perjumpaan yang dimediasi perangkat berinternet, menyelesaikan banyak hal tanpa hilang kualitas.
Demikian pula di tengah tersendatnya pembelajaran jarak jauh (PJJ), lantaran dimaknai sebatas urusan pindah ruang: dari ruang analog ke ruang digital, pembuat kebijakan pendidikan berfokus pada ketersediaan pulsa dan perangkat komunikasi. Namun ini tak menghalangi munculnya sekolah yang bisa mengembangkan sistem ajar tanpa tatap muka yang berkualitas dan fleksibel.
Sekolah-sekolah itu mentrasfromasi pemahaman: pembelajaran adalah aktivitas alih informasi pengetahuan. Ruang-ruang fisik di waktu tertentu, itu sekunder. PJJ ini jadi cikal bakal internet of things. Demikian juga dengan ibadah dari rumah. Bukankan esensi relasi transendental memang mengandalkan virtualitas hubungan?
tulis komentar anda