Roller Coaster Covid-19 dan Perubahan Wajah Peradaban

Minggu, 13 September 2020 - 07:32 WIB
loading...
Roller Coaster Covid-19 dan Perubahan Wajah Peradaban
Pemerhati budaya dan komunikasi digital pendiri LITEROS.org, Dr Firman Kurniawan S. Foto/Istimewa
A A A
Dr Firman Kurniawan S
Pemerhati budaya dan komunikasi digital pendiri LITEROS.org

MENGALAMI langsung dinamika harian pandemi Covid-19 di Indonesia maupun global, persis pengalaman naik roller coaster. Ada kenikmatan saat meniti jalur tanjakan: wahana merangkak perlahan-lahan, dan wajah penumpang dibuat nyaman ditiup angin lamat-lamat.

Tak jarang ada penumpang yang tertidur sesaat, perasaannya terbuai. Namun ada kalanya perasaan terhunjam. Ini saat melewati jalur yang turun curam berkelok. Wahana seakan ditarik gravitasi bumi tanpa rem. Terhempas, tak ada kendali yang menguasai.

Covid-19 yang telah berlangsung menginjak bulan ke-6 ini pun demikian. Adakalanya memunculkan perasaan baik, seraya menimbulkan harapan besar. Itu adalah saat beredar kabar adanya negara yang berhasil mengendalikan penularan secara nyata.

Tindakan-tindakan tegas untuk physical distancing minimal 2 meter, rajin cuci tangan dengan sabun dan air mengalir, maupun berdisiplin mengenakan masker dengan cara benar, secara statistik harian terbukti menyurutkan penularan. Atau adanya kabar dari sekelompok ilmuwan yang melaporkan kemajuan riset pencarian vaksinnya.

Dalam kesunyian publikasi media, mereka telah masuk tahap akhir uji coba. Hingga tahap dapat segera disebarluaskan, disuntikkan luas pada manusia. Harapan dapat kembali hidup normal seperti sebelum 2020, terbayang kembali.
Namun perasaan terhunjam dipaksa muncul, manakala sesama ilmuwan antar lembaga, bahkan WHO, mengedarkan kabar saling bertentangan.

Di tengah harapan munculnya vaksin yang telah masuk tahap akhir uji coba di Rusia, bahkan Presiden Vladimir Putin merelakan putri kesayangannya jadi sukarelawan uji coba vaksin, WHO merilis pernyataaan belum ada vaksin yang dapat diandalkan hingga 2021. Sebaliknya, dunia perlu mewaspadai adanya pandemik baru yang lebih ganas, setelah Covid-19 ini.

Demikian juga dengan dirilisnya prakiraan dari ilmuwan Jerman, yang menyatakan pandemi Covid-19 paling cepat berakhir di tahun 2023. Ini mengacu pada flu Spanyol se-abad lalu, ketika menimbulkan penularan dan kematian besar di dunia.

Harapan yang melambung, di tengah lelahnya hidup yang terus-menerus didera oleh realitas penularan dan kematian, terhempas oleh pesimisme kabar buruk. Sumber informasinya justru personal-personal yang punya kompetensi, dari Lembaga yang punya otoritas pula. Tak ketinggalan, saat seorang ilmuwan dari sebuah kampus di Indonesia yang mewartakan kabar: daya tular Virus Corona telah melemah. Ibarat photo copy yang di-photo copy lagi, berulang-ulang, maka hasilnya akan makin buram.

Analog dengan virus yang telah mereplikasi dirinya sendiri selama lebih dari 6 bulan, akan kehilangan daya replikasinya. Kemampuan menularnya, makin turun. Artinya, dengan atau tanpa vaksin dan obat tertentu, pandemi yang melelahkan ini akan berakhir secara alamiah.

Pernyataan dari orang yang bukan biasa-biasa saja ini pun, dibantah oleh hasil penemuan ilmuwan dari kampus lainnya. Penemuan itu menyatakan, Virus Corona telah mengalami mutasi sehingga daya tularnya justru meningkat makin kuat. Itu sebabnya, tanpa menyertakan kapasitas testing, tracing dan treatment (3T) yang ideal menurut WHO, penularan Covid-19 di Indonesia terindikasi mengganas, dua bulan terakhir ini.

Pelonggaran PSBB, adaptasi kebiasaan baru, new normal, bahkan berbagai konsep kebijakan yang dikemukakan sebagai upaya menyelamatkan ekonomi, seraya mewaspadai ancaman penularan yang tak pernah nihil, justru tak mengindikasikan keduanya.

Ganasnya penularan yang memaksa Pemprov DKI menarik tuas rem darurat, mengembalikan lagi PSBB ketat, juga kota-kota lain yang terlebih dahulu memberlakukan jam malam, hampir bersamaan dengan sinyal Menteri Keuangan Sri Mulyani: Indonesia tampaknya tak bisa menghindar dari resesi ekonomi, di kuartal ke-III 2020. Itu artinya sekitar bulan September Oktober 2020, Indonesia akan ada di kondisi serupa krisis ekonomi 1998.

PSBB ketat yang kembali diberlakukan, adalah simalakama: menghindari terlampauinya kapasitas maksimal rumah sakit (RS) rujukan merawat pasien Covid-19, namun juga menghentikan aktivitas ekonomi yang sesungguhnya perlahan-lahan mulai bergerak, di masa transisi. Naik turun roller coaster yang menegangkan, benar-benar jadi pengalaman sejarah masyarakat Indonesia hari-hari ini.

Tapi apa sebatas perasaan tak nyaman ala roller coaster, yang jadi implikasi pandemi, berkepanjangan ini? Secara empiris, banyak kebiasaan baik new normal yang bermunculan. Dari WFH diperoleh, ruang kerja fisik dan jam kerja synchronous tak mesti halangi produktivitas. Perjumpaan yang dimediasi perangkat berinternet, menyelesaikan banyak hal tanpa hilang kualitas.

Demikian pula di tengah tersendatnya pembelajaran jarak jauh (PJJ), lantaran dimaknai sebatas urusan pindah ruang: dari ruang analog ke ruang digital, pembuat kebijakan pendidikan berfokus pada ketersediaan pulsa dan perangkat komunikasi. Namun ini tak menghalangi munculnya sekolah yang bisa mengembangkan sistem ajar tanpa tatap muka yang berkualitas dan fleksibel.
Sekolah-sekolah itu mentrasfromasi pemahaman: pembelajaran adalah aktivitas alih informasi pengetahuan. Ruang-ruang fisik di waktu tertentu, itu sekunder. PJJ ini jadi cikal bakal internet of things. Demikian juga dengan ibadah dari rumah. Bukankan esensi relasi transendental memang mengandalkan virtualitas hubungan?

Tata cara jalani kehidupan, telah diubah oleh pandemi. Banyak dalam realitasnya, yang irreversible, tak bisa balik ke posisi semula. Senada, Sarah Rizvi, 2020 dalam Digital Transformation in a Post-Pandemic World menuliskan, manusia hari ini telah jauh dari kebiasaannya. Mereka telah mengubah pekerjaan dan tanggung jawab rumahnya, mengadakan konferensi video yang diinterupsi anak-anak, gonggongan anjing dan riuhya peralatan dapur.

Cara hidup telah dijungkirbalikkan dan perubahan itu tak akan kembali ke posisi semula. Menurut studi oleh Gartner, 74% CFO akan memindahkan karyawan secara permanen ke pekerjaan jarak jauh. Roller coaster pandemi Covid-19 adalah akselerasi perubahan perabadan, selama bangsanya belum punah oleh virus dan resesi ekonomi.
(dam)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1379 seconds (0.1#10.140)