Menyoal Kontra PK Djoko Tjandra

Kamis, 10 September 2020 - 06:37 WIB
Apabila melihat aspek yuridisi-formalnya Peninjauan Kembali (PK) merupakan instrumen hukum bagi terdakwa bukan untuk Jaksa, sebagaimana diatur dalam Pasal 263 KUHAP. Tentunya hal ini berbeda dengan sistem hukum Pidana Jerman. Dalam KUHAP Jerman menyebutkan bahwa “Jaksa harus mencari bukti-bukti baru dalam rangkaian mencari suatu kebenaran materil”. Secara expressive KUHAP Jerman memberikan instrumen PK tidak hanya bagi terdakwa/terpidana tetapi juga diberikan kepada Jaksa. Tetapi perlu diketahui bahwa dalam KUHAP Jerman konsep PK yang diberikan kepada Jaksa ialah dalam rangka untuk mencari suatu kebenaran materil. Artinya instrumen PK yang diberikan kepada Jaksa dalam KUHAP Jerman bukanlah semata-mata diperuntukkan untuk memberatkan terdakwa/terpidana, tetapi juga sebagai instrumen untuk meringankan bahkan membebaskan terdakwa/terpidana. Karena, hakikatnya instrumen PK sebagai upaya hukum luar biasa adalah untuk mencari kebenaran materil dalam rangka menegakkan rasa keadilan, sebagaimana contoh kasus tersebut. Dalam hal kaitannya dengan upaya PK oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam kasus Djoko Tjandra, apakah dapat dibenarkan?

Menurut hemat penulis, PK oleh Jaksa dalam sistem Peradilan Pidana Indonesia dapat saja dibenarkan, selama hal itu benar-benar dilakukan untuk mencari kebenaran materil.

PK terhadap Putusan PK

Dalam teori ilmu hukum dikenal asas res judicata in criminalibus. Asas ini menjelaskan bahwa dalam suatu perkara haruslah ada akhir atau ujungnya. Jika dikaitkan dengan upaya kontra PK yang diajukan oleh Djoko Tjandra terhadap putusan PK yang diajukan oleh Jaksa. Bahwa secara praktik upaya hukum terhadap putusan PK (“PK terhadap putusan PK”) belum pernah dilakukan dalam sistem Peradilan Pidana Indonesia. Bahkan mungkin hal ini merupakan sesuatu yang baru dalam praktik sistem peradilan pidana Indonesia. Putusan PK yang katagorinya merupakan upaya hukum luar biasa, namun masih dapat dilakukan upaya hukum (kontra PK) akan menimbulkan ketidakpastian hukum.

Bahwa putusan hakim yang memeriksa dan memutus PK yang diajukan oleh Jaksa dalam perkara Djoko Tjandra haruslah tetap dihormati. Sebagaimana dalam teori ilmu hukum dikenal asas hukum res judicata pro veritate habetur, yang berarti bahwa putusan hakim haruslah dianggap benar dan dihormati. Oleh karena itu, apabila majelis hakim menerima kontra PK yang diajukan oleh Djoko Tjandra maka secara mutatis mutandis hal itu dapat dikatakan bertentangan dengan asas res judicata in criminalibus. Maka Putusan PK yang menvonis Djoko Tjandra dua tahun penjara telah memiliki kekuatan hukum tetap dan mengikat (incraht van gewijsde), serta merupakan putusan akhir dari ujung penyelesaian kasus korupsi Djoko Tjandra. Salam anti korupsi.
(ras)
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More