Pilkada di Tengah Pandemi Berpotensi Jerumuskan Rakyat Jadi Korban COVID-19
Selasa, 08 September 2020 - 10:28 WIB
"Perkembangan COVID-19 masih tinggi, tetapi tetap dipaksakan. Pilkada akan meningkatkan perkembangan kasus COVID-19 ini," terangnya.
Pemerintah dinilai telah kehilangan momentum awal yang baik untuk mengendalikan pandemi ketika COVID-19 masih belum berkembang. Golden time pada Maret, April dan Mei hilang ketika pemerintah terus mengelak, bersikap antisains, komunikasi buruk sehingga tidak bisa mengendalikannya.
"Semestinya, pemerintah mengobati pandemi pada kesempatan kedua, meskipun diperlukan usaha dan sumberdaya yang lebih berat. Tetapi pada kesempatan ini justru membuat keadaan semakin parah dengan menggelar pilkada, yang sulit terkendali," urainya.
Di saat negara-negara tentangga seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan Vitenam sudah mengalami kurva melandai, kata Wijayanto, Indonesia justru masih terus mengalami tren kenaikan dalam jumlah penderita Corona.
"Seharunya ini menjadi peringatan yang nyata dan teguran keras betapa kinerja kita masih sangat buruk dalam melawan pandemi," katanya.
Wijayanto menambahkan pemerintah semestinya menerbitkan kesadaran dan diikuti tindakan nyata untuk berusaha mengatasi pandemi dengan lebih keras lagi. "Memaksakan Pilkada di masa seperti ini menunjukkan absennya kesadaran itu, ibarat ungkapan 'memiliki mata tapi tak melihat, memiliki telinga tapi tak mendengar, memiliki hati tapi tak merasa'," jelasnya. (Baca juga: Inspektur Kesehatan Memerkosa Perawat saat Minta Surat Bebas Covid-19)
Dalam keadaan seperti ini, kata Wijayanto, segenap elemen masyarakat sipil dan media perlu bersama-sama bergandengan tangan melakukan konsolidasi untuk memberikan peringatan guna menyadarkan pemerintah.
Lihat Juga: Didukung Ribuan Mahasiswa, Ahmad Ali Satu-satunya Aktivis Mahasiswa Palu yang Menasional
Pemerintah dinilai telah kehilangan momentum awal yang baik untuk mengendalikan pandemi ketika COVID-19 masih belum berkembang. Golden time pada Maret, April dan Mei hilang ketika pemerintah terus mengelak, bersikap antisains, komunikasi buruk sehingga tidak bisa mengendalikannya.
"Semestinya, pemerintah mengobati pandemi pada kesempatan kedua, meskipun diperlukan usaha dan sumberdaya yang lebih berat. Tetapi pada kesempatan ini justru membuat keadaan semakin parah dengan menggelar pilkada, yang sulit terkendali," urainya.
Di saat negara-negara tentangga seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan Vitenam sudah mengalami kurva melandai, kata Wijayanto, Indonesia justru masih terus mengalami tren kenaikan dalam jumlah penderita Corona.
"Seharunya ini menjadi peringatan yang nyata dan teguran keras betapa kinerja kita masih sangat buruk dalam melawan pandemi," katanya.
Wijayanto menambahkan pemerintah semestinya menerbitkan kesadaran dan diikuti tindakan nyata untuk berusaha mengatasi pandemi dengan lebih keras lagi. "Memaksakan Pilkada di masa seperti ini menunjukkan absennya kesadaran itu, ibarat ungkapan 'memiliki mata tapi tak melihat, memiliki telinga tapi tak mendengar, memiliki hati tapi tak merasa'," jelasnya. (Baca juga: Inspektur Kesehatan Memerkosa Perawat saat Minta Surat Bebas Covid-19)
Dalam keadaan seperti ini, kata Wijayanto, segenap elemen masyarakat sipil dan media perlu bersama-sama bergandengan tangan melakukan konsolidasi untuk memberikan peringatan guna menyadarkan pemerintah.
Lihat Juga: Didukung Ribuan Mahasiswa, Ahmad Ali Satu-satunya Aktivis Mahasiswa Palu yang Menasional
(kri)
tulis komentar anda