Pilkada di Tengah Pandemi Berpotensi Jerumuskan Rakyat Jadi Korban COVID-19

Selasa, 08 September 2020 - 10:28 WIB
loading...
Pilkada di Tengah Pandemi Berpotensi Jerumuskan Rakyat Jadi Korban COVID-19
Pemerintah diminta memikirkan kembali beberapa hal ini terkait pelaksanaan pilkada yang berpotensi menjerumuskan rakyat ke dalam kondisi pandemi yang semakin parah. Foto/SINDOnews/Eko Purwanto
A A A
JAKARTA - Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah ( Pilkada) Serentak 2020 di tengah pandemi COVID-19 yang belum menunjukkan tanda-tanda membaik. Bahkan memunculkan kegelisahan publik.

Direktur Center for Media & Democracy LP3ES, Wijayanto mengingatkan agar pemerintah memikirkan kembali beberapa hal ini terkait pelaksanaan pilkada yang berpotensi menjerumuskan rakyat ke dalam kondisi pandemi yang semakin parah. (Baca juga: 18 ABK Pulih, Total 964 WNI di Luar Negeri Sembuh dari Covid-19)

"Pemerintah keras kepala dengan hanya menunda 3 bulan, dan terus melanjutkan pesta pilkada di tengah keprihatinan rakyat akan pandemi COVID-19 dan jumlah kasus dan kematian yang mengalami penigkatan dari hari ke hari," ujar Wijayanto dalam pernyataan tertulisnya, Selasa (8/9/2020).

Kebijakan ini dinilai salah karena secara sadar atau tidak, sengaja atau tidak, berpotensi menjerumuskan rakyat menjadi korban COVID-19 lebih banyak lagi. "Kebijakan pelaksanaan pilkada ini dilaksanakan tidak memakai hati yang dingin dan berhati-hati tetapi menggunakan disorientasi akal dan nafsu kekuasaan semata," tuturnya.

Menurut Wijayanto, pilkada dalam keadaan pandemi agresif adalah tindakan kebijakan yang tidak bertanggung jawab. Dalam keadaan tanpa pesta besar pilkada saja, pemerintah tidak bisa dan telah gagal mengendalikan penyebaran pandemi COVID-19. "Bagaimana keadaan dan perkembangan pandemi ini jika pemerintah melaksanakannya, meski sudah banyak yang mengingatkan," katanya.

Pemerintah, kata Wijayanto, berharap peserta pilkada mengikuti protokol sesuai anjuran. Hal ini dinilai tidak masuk akal. Menurutnya, pilkada di tegah COVID-19 adalah kebijakan yang tidak bertangagung jawab. "Kelak akibat dari kebijakan ini harus diminta pertanggungjawabannya," ucapnya.

Faktanya, kini pilkada serentak dijalankan tanpa berpikir panjang dan menghitung dampaknya terhadap rakyat. "Sudah pasti berat implikasinya terhadap pandemi yang diperkirakan semakin meluas," katanya.

Menurutnya, pilkada adalah kegiatan persaingan politik dengan tingkat disorientasi dan kewarasan yang rendah. Dalam keadaan tanpa pandemi saja, pemilu atau pesta demokrasi seperti ini banyak memakan korban, seperti ratusan petugas yang mati dan berbagai kasus kecelakaan lainnya. "Gabungan kondisi psikologis persaingan yang agresif dan pandemi yang semakin meluas maka jangan berharap rakyat yang waras akan menjemput pendemi yang terkendali dan selesai dalam waktu dekat," paparnya.

Dikatakan Wijayanto, pilkada adalah kegiatan super agresif. Hal inilah yang tidak disadari oleh pemerintah dan terus dengan otoritasnya yang semakin menumpuk berdasarkan undang-undang darurat, terus memaksakan kehendak.

"Perkembangan COVID-19 masih tinggi, tetapi tetap dipaksakan. Pilkada akan meningkatkan perkembangan kasus COVID-19 ini," terangnya.

Pemerintah dinilai telah kehilangan momentum awal yang baik untuk mengendalikan pandemi ketika COVID-19 masih belum berkembang. Golden time pada Maret, April dan Mei hilang ketika pemerintah terus mengelak, bersikap antisains, komunikasi buruk sehingga tidak bisa mengendalikannya.

"Semestinya, pemerintah mengobati pandemi pada kesempatan kedua, meskipun diperlukan usaha dan sumberdaya yang lebih berat. Tetapi pada kesempatan ini justru membuat keadaan semakin parah dengan menggelar pilkada, yang sulit terkendali," urainya.

Di saat negara-negara tentangga seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan Vitenam sudah mengalami kurva melandai, kata Wijayanto, Indonesia justru masih terus mengalami tren kenaikan dalam jumlah penderita Corona.

"Seharunya ini menjadi peringatan yang nyata dan teguran keras betapa kinerja kita masih sangat buruk dalam melawan pandemi," katanya.

Wijayanto menambahkan pemerintah semestinya menerbitkan kesadaran dan diikuti tindakan nyata untuk berusaha mengatasi pandemi dengan lebih keras lagi. "Memaksakan Pilkada di masa seperti ini menunjukkan absennya kesadaran itu, ibarat ungkapan 'memiliki mata tapi tak melihat, memiliki telinga tapi tak mendengar, memiliki hati tapi tak merasa'," jelasnya. (Baca juga: Inspektur Kesehatan Memerkosa Perawat saat Minta Surat Bebas Covid-19)

Dalam keadaan seperti ini, kata Wijayanto, segenap elemen masyarakat sipil dan media perlu bersama-sama bergandengan tangan melakukan konsolidasi untuk memberikan peringatan guna menyadarkan pemerintah.
(kri)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1219 seconds (0.1#10.140)