Harmoni

Kamis, 03 September 2020 - 06:00 WIB
Prof Candra Fajri Ananda PhD
Prof Candra Fajri Ananda PhD

Staf Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia

PANDEMI Covid-19 yang melanda Indonesia telah memberi tekanan berat kepada perekonomian nasional. Banyak pelaku usaha terpaksa menutup gerai karena tak kuat menahan beban operasional yang terus membengkak, yang berdampak pada ancaman karyawan yang kehilangan pekerjaan. Pada kondisi ini, pemerintah berupaya memberikan stimulus untuk mengakselerasi pemulihan perekonomian akibat Covid-19 melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dengan total dana sebesar Rp695,20 triliun. Rincian dari total dana tersebut adalah untuk bansos sebesar Rp203,9 triliun, UMKM sebesar Rp123,46 triliun, insentif usaha Rp120,61 triliun, kementerian/lembaga atau pemerintah daerah Rp106,11 triliun, kesehatan Rp87,55 triliun, dan pembiayaan korporasi Rp53,55 triliun.

Hingga kini program PEN telah berjalan dengan jumlah serapan yang cukup besar. Berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi pelaksanaan program PEN, realisasi anggaran dari enam kelompok program pemulihan ekonomi nasional dilaporkan telah mencapai Rp194,95 triliun atau sebesar 28%. Semakin cepat proses dan eksekusi program PEN ini, tentu akan sangat baik bagi pulihnya perekonomian nasional. Saat ini, pemerintah terus berusaha mendorong realisasi seluruh program PEN ini, yang ada di masing-masing K/L, terutama permasalahan birokrasi dan administrasi program yang seringkali menjadi hambatan tersendiri.

Defisit APBN



Berawal dari masalah kesehatan, dampak pandemi Covid-19 kini telah meluas ke masalah sosial, ekonomi, bahkan ke sektor keuangan sehingga membutuhkan upaya luar biasa untuk menanganinya. Penanganan pandemi dengan melibatkan stimulus fiskal yang besar bukan hanya dilakukan oleh Indonesia, tapi juga semua negara di dunia yang terjangkit virus ini. Penanganan luar biasa yang dilakukan oleh banyak negara seperti Jerman, Amerika, dan China, Jerman telah mengalokasikan stimulus fiskal sebesar 24,8% dari PDB-nya. Meski demikian, upaya tersebut belum mampu menyelamatkan ekonominya yang hanya terkontraksi -11,7% di kuartal kedua 2020. Selain itu, Amerika Serikat (AS) juga telah mengalokasikan stimulus fiskalnya hingga 13,6% dari PDB, meski akhirnya pertumbuhan ekonominya juga masih terkontraksi hingga -9,5%. Sedikit berbeda dengan Tiongkok, negara tersebut mengalokasikan stimulus sebesar 6,2% dari PDB. Tiongkok telah kembali tumbuh positif 3,2% di kuartal kedua setelah mengalami pertumbuhan -6,8% di kuartal sebelumnya.

Seiring dengan upaya keras pemerintah untuk menstimulus ekonomi nasional, tentu menyebabkan pembiayaan yang lebih besar. Hal ini dikarenakan kebutuhan belanja negara untuk penanganan kesehatan dan perekonomian meningkat pada saat pendapatan negara mengalami penurunan. Di tengah pendapatan negara yang menurun, belanja negara naik menjadi Rp2.738,4 triliun dari sebelumnya Rp2.613,8 triliun. Pemerintah melalui Undang-Undang (UU) Nomor 2/2020, di mana pemerintah diberi keleluasaan terhadap defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di atas tiga persen selama tiga tahun. Pada awal APBN 2020, defisit ditargetkan 1,76% dari PDB. Selanjutnya akibat pandemi korona, pemerintah menaikkan defisit menjadi 5,07% dari PDB pada April 2020 yang dituangkan dalam Perpres Nomor 54/2020. Pemerintah kembali menaikkan defisit APBN 2020 menjadi 6,27%, kemudian 6,34% yang dituangkan dalam Perpres Nomor 72/ 2020, dan kali ini menjadi 6,38% dari PDB.

Bagi pemerintah Indonesia, ada alasan penting terkait pembiayaan yang sangat krusial ini, walaupun itu harus berdampak pada pelebaran defisit yang sangat lebar. Pemerintah berharap dengan pembiayaan yang masif ini, sektor-sektor ekonomi yang mengalami perlemahan, tidak sampai jatuh terlalu dalam. Harapannya, saat pandemi ini berakhir, akan lebih mudah bagi sektor ekonomi tersebut untuk memulai produksi kembali (jump start). Oleh sebab itu, efektivitas dan keberhasilan program pemulihan ini sangat menentukan bagaimana kinerja perekonomian Indonesia setelah pandemi ini.

Di tengah lesunya aktivitas ekonomi akibat pandemi, peran pemerintah melalui belanja pemerintah sangat diperlukan untuk memberikan multiplier effect bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Sayangnya, belanja pemerintah, yang diharapkan menjadi motor penggerak perekonomian, ternyata tercatat tumbuh minus 6,9%. Hal ini dikarenakan penurunan realisasi belanja barang dan jasa serta belanja pegawai dibanding kuartal yang sama pada tahun sebelumnya. Selain itu, dampak adanya kebijakan realokasi dan refocusing juga sedikit menghambat proses belanja APBD di masing-masing daerah. Secara umum, kita bisa simpulkan bahwa saat sektor swasta dan rumah tangga sama-sama terpukul, maka belanja pemerintah yang kontraktif menjadi kunci utama untuk memulihkan ekonomi nasional. Dengan kata lain, mendorong belanja pemerintah di kuartal III dan IV mutlak perlu dilakukan pemerintah, agar pertumbuhan di kuartal III bisa sesuai harapan kita semua.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More