Dilema AI dan Regulasi Berbasis Risiko
Kamis, 02 Januari 2025 - 18:10 WIB
Regulasi AI juga harus mampu mengikuti perkembangan AI itu sendiri. Harus ada fleksibilitas dan responsivitas yang bisa memberikan kepastian hukum sekaligus lentur mengakomodasi inovasi. Menurut Brynjolfsson dan McAfee (2017), kebijakan harus mampu menyeimbangkan dorongan inovasi teknologi dengan perlindungan masyarakat melalui pendekatan yang responsif dan inklusif.
Uni Eropa memberikan contoh sukses melalui General Data Protection Regulation (GDPR), sejak 2018. GDPR merancang AI Act yang berbasis risiko, memberikan ruang bagi inovasi sambil tetap menjamin keamanan publik. Aturan ini menyesuaikan tingkat pengawasan dengan dampak potensial risikodari teknologi tersebut.
Regulasi ini membagi aplikasi AI ke dalam tingkat risiko, mulai dari yang rendah hingga tertinggi, berdasarkan dampaknya terhadap keselamatan, hak asasi manusia, dan kehidupan masyarakat. Dengan memastikan akuntabilitas pengembang dan penyedia AI, serta adaptasi terhadap perkembangan teknologi, regulasi berbasis risiko bisa diterapkan Indonesia. Andrea Renda (2021) menyatakan, kerangka AI berbasis risiko adalah pendekatan paling relevan.
Jadi, tanggung jawab pengembang dan pengguna AI perlu diatur ketat. Risk Appetite Framework (RAF) disusun meliputi risk appetite (risiko ideal yang diterima), risk tolerance (maksimal toleransi risiko), dan risk capacity (kemampuan maksimal menanggung risiko). RAF ini yang menjadi criteria utama pengendalian risiko AI.
Masalahnya, penyusunan dan pelaksanaan regulasi AI di Indonesia dihadapkan banyak tantangan, termasuk keterbatasan sumber daya manusia, infrastruktur digital, dan biaya. Ekonomi Indonesia masih bergantung pada sektor tradisional serta kurangnya inovasi dan akses ke pembiayaan menjadi tantangan berikut.
Pemerintah, pelaku usaha, akademisi, dan pihak internasional harus bekerja sama mengatasinya. Menurut UNESCO (2021), kolaborasi lintas sektor adalah kunci keberhasilan regulasi teknologi yang berkelanjutan.
Tantangan lainnya datang dari aspek geopolitik. Persaingan Amerika Serikat dan Cina dalam pengembangan AI memengaruhi kebijakan AI di berbagai negara, termasuk Indonesia. Cina telah berinvestasi besar-besaran dalam pengembangan AI, sementara Amerika meningkatkan tekanan untuk membatasi penggunaan teknologi Cina.
Indonesia memang harus berhati-hati dalam memilih mitra strategis dalam teknologi AI ini.Tapi, yang terpenting, Indonesia memerlukan kerangka hukum yang mengatur AI secara rinci, adaptif, dan berbasis risiko. Lakukan kampanye dan pendidikan untuk menggunakan AI yang bertanggung jawab.
Penggunaan data harus akurat dan tidak diskriminatif. Geoffrey Hinton (2024) menyatakan, AI dikembangkan untuk kepentingan manusia. Bukan sebaliknya.
Uni Eropa memberikan contoh sukses melalui General Data Protection Regulation (GDPR), sejak 2018. GDPR merancang AI Act yang berbasis risiko, memberikan ruang bagi inovasi sambil tetap menjamin keamanan publik. Aturan ini menyesuaikan tingkat pengawasan dengan dampak potensial risikodari teknologi tersebut.
Regulasi ini membagi aplikasi AI ke dalam tingkat risiko, mulai dari yang rendah hingga tertinggi, berdasarkan dampaknya terhadap keselamatan, hak asasi manusia, dan kehidupan masyarakat. Dengan memastikan akuntabilitas pengembang dan penyedia AI, serta adaptasi terhadap perkembangan teknologi, regulasi berbasis risiko bisa diterapkan Indonesia. Andrea Renda (2021) menyatakan, kerangka AI berbasis risiko adalah pendekatan paling relevan.
Jadi, tanggung jawab pengembang dan pengguna AI perlu diatur ketat. Risk Appetite Framework (RAF) disusun meliputi risk appetite (risiko ideal yang diterima), risk tolerance (maksimal toleransi risiko), dan risk capacity (kemampuan maksimal menanggung risiko). RAF ini yang menjadi criteria utama pengendalian risiko AI.
Masalahnya, penyusunan dan pelaksanaan regulasi AI di Indonesia dihadapkan banyak tantangan, termasuk keterbatasan sumber daya manusia, infrastruktur digital, dan biaya. Ekonomi Indonesia masih bergantung pada sektor tradisional serta kurangnya inovasi dan akses ke pembiayaan menjadi tantangan berikut.
Pemerintah, pelaku usaha, akademisi, dan pihak internasional harus bekerja sama mengatasinya. Menurut UNESCO (2021), kolaborasi lintas sektor adalah kunci keberhasilan regulasi teknologi yang berkelanjutan.
Tantangan lainnya datang dari aspek geopolitik. Persaingan Amerika Serikat dan Cina dalam pengembangan AI memengaruhi kebijakan AI di berbagai negara, termasuk Indonesia. Cina telah berinvestasi besar-besaran dalam pengembangan AI, sementara Amerika meningkatkan tekanan untuk membatasi penggunaan teknologi Cina.
Indonesia memang harus berhati-hati dalam memilih mitra strategis dalam teknologi AI ini.Tapi, yang terpenting, Indonesia memerlukan kerangka hukum yang mengatur AI secara rinci, adaptif, dan berbasis risiko. Lakukan kampanye dan pendidikan untuk menggunakan AI yang bertanggung jawab.
Penggunaan data harus akurat dan tidak diskriminatif. Geoffrey Hinton (2024) menyatakan, AI dikembangkan untuk kepentingan manusia. Bukan sebaliknya.
(poe)
Lihat Juga :
tulis komentar anda