Dilema AI dan Regulasi Berbasis Risiko

Kamis, 02 Januari 2025 - 18:10 WIB
Ironisnya, AI juga bisa menurunkan inovasi. Michael Webb (2020) menunjukkan, Algoritma AI dirancang untuk mengoptimalkan solusi yang sudah ada, bukan menciptakan solusi baru, sehingga dapat mengurangi laju kemajuan teknologi jangka panjang.

Pengembangan AI juga membawa risiko keamanan yang serius. Integrasi AI dalam sistem kritikal dapat meningkatkan risiko serangan siber, sepertidi Estonia pada 2007. AI juga membuat kemampuan senjata dalam perang Russia-Ukraina dan konflik Palestina-Israel meningkat pesat sehingga jumlah korban jauh lebih banyak dan kian menyedihkan.

Di Indonesia, kasus kebocoran data nasabah bank pada 2020 dan serangan ransomware di PT Semen Indonesia, pada 2022, menunjukkan kerentanan keamanan siber. Selain itu, penyalahgunaan AI dalam penyebaran hoaks dan ujaran kebencian juga menjadi masalah.

Regulasi Komprehensif, Adaptif, Berbasis Risiko

Pemerintah Indonesia telah menyusun berbagai regulasi untuk mengelola pengembangan dan penggunaan AI. Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial (Stranas KA) 2020-2045 berfokus pada sektor pendidikan, kesehatan, keamanan, dan reformasi birokrasi. Selain itu, ada UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) tahun 2008 dan UU Perlindungan Data Pribadi (PDP) tahun2022.

Ada pula Peraturan Bank Indonesia No 19/1/PBI/2017 tentang Penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Penyelenggaraan Kegiatan Perbankan, PP No 82/2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik, serta Keputusan Menkominfo No 20/2016 tentang Pengamanan Informasi dan Elektronik. Namun, semua regulasi itu masih lemah. Menurut Oxford Insights (2021), kebijakan AI di Indonesia masih berada pada tahap awal, belum memiliki kerangka hukum yang spesifik.

Kelemahan utama dalam regulasiAI di Indonesia adalah tidak komprehensif. Tidak khusus mengatur etika dan akuntabilitas. Antisipasi risiko keamanan siber, risiko kehilangan pekerjaan, dan semakin dalamnya ketimpangan sosial akibat AI juga belum ditangani serius. Bahkan pelaksanaan UU PDP terkendala lemahnya pengawasan, membuka peluang penyalahgunaan data oleh teknologi berbasis AI.

Faktor infrastruktur digital yang belum memadai, minimnya sumber daya manusia, serta kurangnya pengawasan dan penegakan hukum membuat regulasi tadi kian tak efektif. Justru banyak keputusan berbasis AI berpotensi diskriminatif karena bias algoritma. Virginia Dignum (2019) menyatakan, kebijakan yang tidak memprioritaskan transparansi dan akuntabilitas dalam AI akan memperbesar risiko ketidaksetaraan sosial-ekonomi.

Indonesia memerlukan regulasi AI yang lebih komprehensif, memperhitungkan aspek keamanan siber dan dampak sosial-ekonomi dari pengembangan AI. Ingat, AI akan mengubah pola hidup, bekerja, dan berinteraksi. Regulasi harus bisa mengantisipasinya. Perlindungan data pribadi menjadi elemen kunci mengingat data adalah materiutama AI beroperasi.

Peningkatan investasi dalam keamanan siber tak bisa ditawar lagi. APBN, swasta, dan peran internasional harus mampu mengonsolidasikan dana untuk program keamanan siberini
Halaman :
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More