Hamdan Zoelva Ingatkan DPR Jangan Intervensi Hakim MK dan Pengaruhi Perkara

Selasa, 01 September 2020 - 03:35 WIB
Foto: Ilustrasi/SINDOnews/Dok
JAKARTA - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva mengingatkan agar revisi Undang-Undang (UU) MK dan pembahasan draf RUU yang sedang dilakukan dilakukan DPR dan pemerintah jangan sampai mengintervensi independensi hakim dan mempengaruhi perkara-perkara yang sedang disidangkan di MK.

Hamdan Zoelva menyatakan, sebenarnya upaya revisi atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) dan pembahasan RUU-nya sudah berlangsung sebelumnya, yakni saat DPR periode 2014-2019. Saat periode lalu DPR pernah mengundang Hamdan dan telah hadir dua kali guna memberikan pandangan. Saat itu, Hamdan fokus menyampaikan tentang masa jabatan hakim MK. (Baca juga: Dua Pemohon Minta Mahkamah Konstitusi Batalkan UU COVID-19)

"Masa jabatan itu jangan ada periodesasi, jadi cukup satu masa jabatan saja. Misalnya masa jabatan 10 tahun, ya 10 tahun saja sampai masa pensiun. Maka saya usulkan cukup satu kali masa jabatan, yang bisa diperpanjang dari lima tahun menjadi 10 tahun atau 9 tahun. Atau, ketika ketika sampai umur untuk pensiun," tegas Hamdan saat berbincang dengan KORAN SINDO dan MNC News Portal, di Jakarta, Senin (31/8/2020) malam.



Hal tersebut, tutur Hamdan, untuk menghindari pergantian di tengah jalan atau perpanjangan di tengah jalan yang membuat politisasi terhadap hakim MK. Maksudnya, ujar dia, jangan sampai hakim itu diperpanjang karena ada negosiasi. Dia menegaskan, jika ada periodesasi atau pergantian di tengah jalan atau perpanjangan di tengah jalan, maka hakim MK yang bekerja dalam waktu lima tahun pertama menjadi tidak independen.

"Tidak independen karena berharap diperpanjang di periode kedua. Jadi usulan saya itu untuk menjaga independensi hakim dan kemerdekaan hakim. Independensi itu hal yang paling prinsipiil bagi hakim," paparnya. (Baca juga: Komisi III Minta Proses Rekrutmen Hakim MK Transparan dan Akuntabel)

Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Syarikat Islam (SI) ini mengkritisi proses revisi UU MK dan pembahasan draf RUU-nya yang berlangsung di masa pandemi Covid-19 dan dilakukan secara tertutup. Hamdan menegaskan, apapun RUU yang dibahas haruslah dibuka oleh DPR dan dilaksanakan secara terbuka apalagi RUU MK. Selain itu, DPR harus melibatkan masyarakat atau mengikutsertakan unsur masyarakat saat proses pembahasan RUU MK.

"Terbuka kepada masyarakat agar mendapatkan masukan dan feedback dari masyarakat. Tidak boleh pembahasan RUU itu (RUU MK) tertutup, karena itu menyangkut kepentingan publik dan masyarakat luas," ujarnya.

Hamdan menambahkan, secara subtansial RUU MK yang sedang dibahas dan kemudian jika disahkan haruslah tidak boleh berimbas pada perkara-perkara yang sedang ditangani dan disidangkan di MK. Jika tidak mau berpengaruh pada perkara-perkara tersebut, andaipun DPR dan pemerintah bersikukuh, maka harus ada pasal transisi. Misalnya bahwa ketentuan ini tidak berlaku bagi hakim MK yang sedang menjabat, sehingga tidak ada pengaruh bagi persidangan yang sedang berlangsung.

"Memang kalau ada perkara-perkara krusial yang sedang disidangkan di MK, itu sangat mungkin bisa ada pengaruhnya kalau perubahan itu menguntungkan bagi hakim yang sedang menjabat. Tapi untuk mengatasi itu, dibuat (saja) pasal transisi," ucapnya.
(thm)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More