Manusia-Satwa Liar Hidup Berdampingan secara Harmonis, Mungkinkah?
Rabu, 04 Desember 2024 - 11:01 WIB
Beberapa komponen BMP yang dapat dikembangkan untuk mendukung konservasi satwa langka yang dilindungi di semua sektor industri berbasis lahan, antara lain mengidentifikasi dan mengelola kawasan HCV (High Conservation Value) atau NKT (Nilai Konservasi Tinggi), upaya mitigasi konflik manusia-satwa liar, restorasi dan perlindungan habitat, menerapkan praktik pembukaan lahan tanpa bakar, pengendalian hama terpadu, serta meminimalkan dan memanfaatkan limbah.
Contohnya, di perkebunan kelapa sawit yang dikelola produsen minyak sawit tersertifikasi berkelanjutan di Malaysia, mereka menggunakan berbagai metode dalam menerapkan BMP untuk memitigasi konflik manusia-gajah. Mereka memasang pagar kejut listrik (electric fencing), menanam tanaman pelindung (crop-guarding), menjalankan patroli, membuat parit anti gajah, memperbaiki desain pagar, translokasi, dan melakukan penggiringan, serta yang tidak kalah penting melakukan penelitian konservasi dan program penyadaran konservasi (conservation awareness).
Sementara itu, BMP mitigasi konflik manusia-gajah yang diterapkan di Indonesia pada umumnya menggunakan metode MP2CE (Monitoring, Preventif, Penanaman, Pengendalian, dan Edukasi), yang dimanfaatkan oleh para pemangku kepentingan khususnya perusahaan berbasis lahan dan masyarakat lokal, guna mendorong upaya perlindungan dan pengelolaan gajah secara terpadu dan berkelanjutan.
Contoh lain, sekelompok perusahaan pulp dan kertas yang beroperasi di Indonesia, selama lebih dari 10 tahun terakhir telah menerapkan berbagai upaya dan pendekatan untuk mencegah dan meminimalkan konflik manusia-satwa liar, termasuk dengan mengelola kawasan lindung dan HCV, serta melindungi kawasan dengan Stok Karbon Tinggi/SKT (atau HCS/High Carbon Stock)-nya.
Selain itu, mereka juga melakukan penyisiran jerat dan perangkap satwa secara berkala, menjaga keutuhan hutan alam melalui pencegahan pembalakan liar dan perambahan, menjamin ketersediaan sumber pakan satwa termasuk mangsa karnivora, pemantauan berkala keberadaan satwa liar, melakukan penyadartahuan dan edukasi secara berkala, membentuk dan mengoperasikan tim mitigasi konflik satwa liar, serta melaksanakan program pemberdayaan masyarakat untuk mencegah konflik manusia-satwa liar.
Semua kegiatan ini dikoordinasikan dengan institusi pemerintah terkait, serta mendapatkan dukungan dari forum-forum konservasi satwa liar dan LSM dalam mendorong kerja sama dengan para pihak di lapangan pada tingkat lanskap. Berbagai upaya telah dilakukan, namun konflik manusia-satwa liar di konsesi hutannya masih juga terjadi.
Mitigasi konflik manusia-satwa liar memang memerlukan keterlibatan seluruh pemangku kepentingan, baik yang terkena dampak langsung maupun tidak langsung. Meski masih banyak yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan untuk bisa hidup berdampingan, setidaknya saat ini seluruh konsesi perusahaan pemasok kayunya masih menyediakan habitat tambahan bagi banyak spesies dan individu satwa liar.
Memang, tidak mudah untuk mengoptimalkan implementasi BMP konservasi satwa liar yang memerlukan kolaborasi dan dukungan pemangku kepentingan di berbagai tingkatan dalam lanskap yang sama (Priatna 2019). Masyarakat perlu menyadari bahwa mereka menggunakan ruang yang sama dengan satwa liar. Oleh karena itu, memahami perilaku satwa liar merupakan modal utama untuk menghindari konflik.
Masyarakat lokal merupakan salah satu pemangku kepentingan utama untuk mencapai hidup berdampingan, namun manfaat ekonomi bagi masyarakat dari keberadaan satwa liar di sekitar mereka perlu dikembangkan. Perlu adanya keberpihakan pemerintah pusat dan daerah dalam konservasi satwa langka dalam pengambilan kebijakan, pengaturan tata ruang daerah, serta pelaksanaan pembangunan infrastrukturnya.
Pemerintah pusat dan daerah juga harus lebih serius dalam menjaga kawasan konservasi dan hutan lindung yang menjadi tanggung jawabnya, serta melakukan penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku kejahatan kehutanan dan satwa liar. Meski sifatnya sukarela, penting untuk melakukan penilaian areal-areal HCV dan HCS sebelum perusahaan berbasis lahan beroperasi, untuk mengetahui kawasan indikatif yang digunakan sebagai habitat satwa liar di dalam konsesi.
Contohnya, di perkebunan kelapa sawit yang dikelola produsen minyak sawit tersertifikasi berkelanjutan di Malaysia, mereka menggunakan berbagai metode dalam menerapkan BMP untuk memitigasi konflik manusia-gajah. Mereka memasang pagar kejut listrik (electric fencing), menanam tanaman pelindung (crop-guarding), menjalankan patroli, membuat parit anti gajah, memperbaiki desain pagar, translokasi, dan melakukan penggiringan, serta yang tidak kalah penting melakukan penelitian konservasi dan program penyadaran konservasi (conservation awareness).
Sementara itu, BMP mitigasi konflik manusia-gajah yang diterapkan di Indonesia pada umumnya menggunakan metode MP2CE (Monitoring, Preventif, Penanaman, Pengendalian, dan Edukasi), yang dimanfaatkan oleh para pemangku kepentingan khususnya perusahaan berbasis lahan dan masyarakat lokal, guna mendorong upaya perlindungan dan pengelolaan gajah secara terpadu dan berkelanjutan.
Contoh lain, sekelompok perusahaan pulp dan kertas yang beroperasi di Indonesia, selama lebih dari 10 tahun terakhir telah menerapkan berbagai upaya dan pendekatan untuk mencegah dan meminimalkan konflik manusia-satwa liar, termasuk dengan mengelola kawasan lindung dan HCV, serta melindungi kawasan dengan Stok Karbon Tinggi/SKT (atau HCS/High Carbon Stock)-nya.
Selain itu, mereka juga melakukan penyisiran jerat dan perangkap satwa secara berkala, menjaga keutuhan hutan alam melalui pencegahan pembalakan liar dan perambahan, menjamin ketersediaan sumber pakan satwa termasuk mangsa karnivora, pemantauan berkala keberadaan satwa liar, melakukan penyadartahuan dan edukasi secara berkala, membentuk dan mengoperasikan tim mitigasi konflik satwa liar, serta melaksanakan program pemberdayaan masyarakat untuk mencegah konflik manusia-satwa liar.
Semua kegiatan ini dikoordinasikan dengan institusi pemerintah terkait, serta mendapatkan dukungan dari forum-forum konservasi satwa liar dan LSM dalam mendorong kerja sama dengan para pihak di lapangan pada tingkat lanskap. Berbagai upaya telah dilakukan, namun konflik manusia-satwa liar di konsesi hutannya masih juga terjadi.
Mitigasi konflik manusia-satwa liar memang memerlukan keterlibatan seluruh pemangku kepentingan, baik yang terkena dampak langsung maupun tidak langsung. Meski masih banyak yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan untuk bisa hidup berdampingan, setidaknya saat ini seluruh konsesi perusahaan pemasok kayunya masih menyediakan habitat tambahan bagi banyak spesies dan individu satwa liar.
Memang, tidak mudah untuk mengoptimalkan implementasi BMP konservasi satwa liar yang memerlukan kolaborasi dan dukungan pemangku kepentingan di berbagai tingkatan dalam lanskap yang sama (Priatna 2019). Masyarakat perlu menyadari bahwa mereka menggunakan ruang yang sama dengan satwa liar. Oleh karena itu, memahami perilaku satwa liar merupakan modal utama untuk menghindari konflik.
Masyarakat lokal merupakan salah satu pemangku kepentingan utama untuk mencapai hidup berdampingan, namun manfaat ekonomi bagi masyarakat dari keberadaan satwa liar di sekitar mereka perlu dikembangkan. Perlu adanya keberpihakan pemerintah pusat dan daerah dalam konservasi satwa langka dalam pengambilan kebijakan, pengaturan tata ruang daerah, serta pelaksanaan pembangunan infrastrukturnya.
Pemerintah pusat dan daerah juga harus lebih serius dalam menjaga kawasan konservasi dan hutan lindung yang menjadi tanggung jawabnya, serta melakukan penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku kejahatan kehutanan dan satwa liar. Meski sifatnya sukarela, penting untuk melakukan penilaian areal-areal HCV dan HCS sebelum perusahaan berbasis lahan beroperasi, untuk mengetahui kawasan indikatif yang digunakan sebagai habitat satwa liar di dalam konsesi.
Lihat Juga :
tulis komentar anda