Perampasan Aset Tindak Pidana dan Pembuktian Terbalik
Rabu, 30 Oktober 2024 - 07:27 WIB
Merujuk ketentuan Pasal 37 di atas, jelas bahwa permohonan perampasan aset tindak pidana tidak menghapuskan kewenangan penuntutan (Pasal 3) sehingga jika dalam penuntutan tindak pidana ternyata objek aset tindak pidana sama dengan aset tindak pidana yang dimohonkan untuk dirampas, maka permohonan perampasan aset tindak pidana melalui proses gugatan ditunda sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap terhadap pelakunya.
Berdasarkan ketentuan sebagaimana diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa, berdasarkan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana, permohonan perampasan aset non-litigasi atas objek yang sama, merupakan sarana ultimum remedium, sedangkan penuntutan perampasan aset tindak pidana melalui litigasi merupakan sebagai primum -remedium. Dengan kata lain, strategi penindakan/penghukuman dalam norma dan praktik pemberantasan tindak pidana khususnya tipikor, tetap tidak mengalami perubahan secara signifikan.
Sesungguhnya ketentuan Pasal 32 ayat (1) UU Tipikor Tahun 1999/2001 telah mencerminkan perpaduan dua model pendekatan dalam hal perampasan aset tindak pidana korupsi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 32 (1): Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan. (2) Putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara.
Berdasarkan uraian mengenai RUU Perampasan Aset Tindak Pidana jelas bahwa, tanpa pembuktian terbalik (reversal of burden of proof) terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang menguasai aset diduga berasal dari tipikor, perampasan aset tidak akan efektif.
Berdasarkan ketentuan sebagaimana diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa, berdasarkan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana, permohonan perampasan aset non-litigasi atas objek yang sama, merupakan sarana ultimum remedium, sedangkan penuntutan perampasan aset tindak pidana melalui litigasi merupakan sebagai primum -remedium. Dengan kata lain, strategi penindakan/penghukuman dalam norma dan praktik pemberantasan tindak pidana khususnya tipikor, tetap tidak mengalami perubahan secara signifikan.
Sesungguhnya ketentuan Pasal 32 ayat (1) UU Tipikor Tahun 1999/2001 telah mencerminkan perpaduan dua model pendekatan dalam hal perampasan aset tindak pidana korupsi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 32 (1): Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan. (2) Putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara.
Berdasarkan uraian mengenai RUU Perampasan Aset Tindak Pidana jelas bahwa, tanpa pembuktian terbalik (reversal of burden of proof) terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang menguasai aset diduga berasal dari tipikor, perampasan aset tidak akan efektif.
(zik)
Lihat Juga :
tulis komentar anda