Saksi Ahli Sebut Penggunaan UU Tipikor Tidak Sesuai Diterapkan pada Kasus Timah

Selasa, 03 Desember 2024 - 12:34 WIB
loading...
Saksi Ahli Sebut Penggunaan...
Sejumlah pakar hukum menganggap Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) tidak sesuai digunakan dalam kasus pertambangan yang melibatkan PT Timah. FOTO/OKEZONE
A A A
JAKARTA - Sejumlah pakar hukum menganggap Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) tidak sesuai digunakan dalam kasus pertambangan yang melibatkan PT Timah. Ahli Hukum Pidana Universitas Indonesia (UI) Prof Eva Achjani Zulfa menegaskan bahwa penerapan hukum pidana harus berpegang pada asas legalitas dan tidak boleh dipaksakan jika tidak sesuai dengan norma yang ada.

Menurut Prof Eva, salah satu dasar dalam hukum pidana adalah asas pertanggungjawaban individu, yang berarti setiap orang hanya bertanggung jawab atas perbuatan pidana yang dilakukan berdasarkan peran masing-masing.

"Dalam hukum pidana, tanggung jawab itu bersifat individual, bukan seperti perdata yang mengenal tanggung renteng. Oleh karena itu, kita harus melihat peran setiap individu dalam kasus pidana, bukan memukul rata semua orang yang terlibat," kata Prof Eva dalam sidang lanjutan tata niaga timah di PN Jakarta Pusat, Senin (2/11/2024).

Sebagai ahli, Prof Eva menjelaskan, penyertaan dalam tindak pidana memiliki beberapa kategori, seperti menggerakkan, menyuruh, atau turut serta. Dalam kasus di mana seseorang tidak mengetahui tindak pidana tetapi hanya menjadi alat atau diperalat pihak lain, tanggung jawab pidana tidak bisa dikenakan.

Sebagai contoh, jika ada individu yang diperdaya untuk melakukan suatu perbuatan tanpa mengetahui bahwa perbuatan tersebut merupakan tindak pidana, individu tersebut tidak dapat dimasukkan sebagai pelaku.

"Seseorang yang tidak tahu bahwa ia diperdaya untuk membuka rumah (orang untuk mencuri), misalnya, tidak bisa dianggap sebagai peserta delik," ujarnya.

Dalam konteks kasus pertambangan PT Timah, Prof Eva menyoroti penerapan Pasal 14 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Ia menegaskan kerugian yang timbul pada anak perusahaan BUMN/BUMD yang tidak berasal dari APBN, penyertaan modal negara, atau fasilitas negara, bukanlah kerugian negara.

"Kalau kerugian tidak termasuk dalam kategori yang diatur oleh norma UU Tipikor, maka asas legalitas harus dijaga. Tidak bisa kita memaksakan analogi atau mengembangkan norma hukum di luar yang dirumuskan dalam undang-undang," katanya.

Prof Eva menambahkan, Pasal 14 UU Tipikor sudah memiliki batasan yang jelas, sehingga jika dianggap ada masalah atau kekurangan dalam aturan tersebut, solusinya adalah melakukan judicial review. "Asas legalitas merupakan prinsip utama yang harus dijalankan. Jika norma tidak mencakup kasus tertentu, kita harus menguji ulang melalui judicial review, bukan memaksakan penerapan Undang-Undang (Tipikor)," katanya.

UU Tipikor Bukan Sapu Jagat

Saksi ahli dari Universitas Sumatera Utara, Mahmud Mulyadi menegaskan, UU Tipikor bukanlah undang-undang sapu jagat untuk semua kasus yang berpotensi menimbulkan kerugian keuangan negara.

"Kalau semua yang merugikan keuangan negara dianggap sebagai Tipikor, itu berbahaya. Karena nelayan yang menangkap ikan secara ilegal (illegal fishing) bisa dijerat UU Tipikor. Jangan nanti orang menggali tanah dianggap merusak lingkungan, bisa dikenakan pasal Tipikor. Fakta-faktanya kita lihat dulu," katanya.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0953 seconds (0.1#10.140)