Uji Materi UU Penyiaran Tak Ancam Kebebasan Berekspresi
Jum'at, 28 Agustus 2020 - 08:25 WIB
“Namun, intinya, semua yang berhubungan dengan akses yang bisa diterima publik memang tetap harus ada aturannya, tidak bisa dengan alasan-alasan kebebasan-ekspresi begitu terus liar tanpa aturan," katanya. (Baca juga: TikTok Akhinya Ungkap Pengguna Aktif Global)
Sementara itu, Ketua Hubungan Media Badan Pengurus Pusat (BPP) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Anthony Leong mengatakan, konten digital perlu ada mekanisme dan UU Penyiaran harus mengatur platform digital. Artinya, jangan sampai konten digital memengaruhi dan membuat perilaku anak-anak menjadi buruk akibat mengonsumsi konten gay, lesbi, maupun seks yang sangat gamblang di televisi platform digital.
"(Uji materi) UU Penyiaran saya rasa tidak mengancam kebebasan,” ujarnya.
Regulasi yang mengancam kebebasan, menurut dia, lebih kepada UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). “UU ITE itu pasal karet. Ini yang harus dievaluasi bersama. UU Penyiaran harus lebih edukatif dan solutif mengatur konten digital yang ada di kita," ucapnya.
Corporate Legal Director MNC Group Christoporus Taufik mengatakan, judicial review (JR) ke MK dilakukan agar tercipta landasan hukum bagi tayangan video berbasis internet, tanpa terkecuali baik lokal maupun asing. Jika JR dikabulkan, kata dia, diharapkan kualitas isi siaran video berbasis internet dapat dihindarkan dari pornografi, kekerasan serta kebohongan, kebencian, termasuk fitnah (hoaks) dan sejenisnya, yang tidak sesuai dengan kultur bangsa Indonesia yang sesungguhnya dan bahkan berbahaya bagi kesatuan NKRI.
“Ini tanpa terkecuali, untuk penyiaran berbasis internet lokal maupun asing," katanya. (Baca juga: Disebut Hendak Nyapres di 2024, Gatot Nurmantyo Bilang Begini)
Bila judicial review tersebut dikabulkan, Chris berharap isi tayangan video berbasis internet dapat lebih berkualitas, tersaring dari konten kekerasan, pornografi maupun SARA sehingga setiap konten yang disiarkan dapat dipertanggungjawabkan.
Putusan dari judicial review tersebut, lanjutnya, akan ikut ambil bagian menjadikan NKRI kembali kepada marwahnya sesuai dengan tujuan berbangsa dan bernegara, yang tidak hanya merdeka, tetapi juga bersatu, adil dan makmur sebagaimana jelas tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.
Dari sisi landasan hukum, Chris mengatakan UU Nomor 32 Tahun 2002, Pasal 1 ayat 2, menyebutkan Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran. (Baca juga: Awas! Sri Mulyani Bilang Bakal Banyak Pengusaha Kaya Tiba-tiba Jatuh Miskin)
"Dengan tegas disebutkan bahwa penyiaran adalah yang menggunakan spektrum frekuensi radio, sedangkan tayangan video berbasis internet seperti OTT (over the top), media sosial, dan lainnya, juga menggunakan spektrum frekuensi radio," ucapnya.
Sementara itu, Ketua Hubungan Media Badan Pengurus Pusat (BPP) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Anthony Leong mengatakan, konten digital perlu ada mekanisme dan UU Penyiaran harus mengatur platform digital. Artinya, jangan sampai konten digital memengaruhi dan membuat perilaku anak-anak menjadi buruk akibat mengonsumsi konten gay, lesbi, maupun seks yang sangat gamblang di televisi platform digital.
"(Uji materi) UU Penyiaran saya rasa tidak mengancam kebebasan,” ujarnya.
Regulasi yang mengancam kebebasan, menurut dia, lebih kepada UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). “UU ITE itu pasal karet. Ini yang harus dievaluasi bersama. UU Penyiaran harus lebih edukatif dan solutif mengatur konten digital yang ada di kita," ucapnya.
Corporate Legal Director MNC Group Christoporus Taufik mengatakan, judicial review (JR) ke MK dilakukan agar tercipta landasan hukum bagi tayangan video berbasis internet, tanpa terkecuali baik lokal maupun asing. Jika JR dikabulkan, kata dia, diharapkan kualitas isi siaran video berbasis internet dapat dihindarkan dari pornografi, kekerasan serta kebohongan, kebencian, termasuk fitnah (hoaks) dan sejenisnya, yang tidak sesuai dengan kultur bangsa Indonesia yang sesungguhnya dan bahkan berbahaya bagi kesatuan NKRI.
“Ini tanpa terkecuali, untuk penyiaran berbasis internet lokal maupun asing," katanya. (Baca juga: Disebut Hendak Nyapres di 2024, Gatot Nurmantyo Bilang Begini)
Bila judicial review tersebut dikabulkan, Chris berharap isi tayangan video berbasis internet dapat lebih berkualitas, tersaring dari konten kekerasan, pornografi maupun SARA sehingga setiap konten yang disiarkan dapat dipertanggungjawabkan.
Putusan dari judicial review tersebut, lanjutnya, akan ikut ambil bagian menjadikan NKRI kembali kepada marwahnya sesuai dengan tujuan berbangsa dan bernegara, yang tidak hanya merdeka, tetapi juga bersatu, adil dan makmur sebagaimana jelas tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.
Dari sisi landasan hukum, Chris mengatakan UU Nomor 32 Tahun 2002, Pasal 1 ayat 2, menyebutkan Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran. (Baca juga: Awas! Sri Mulyani Bilang Bakal Banyak Pengusaha Kaya Tiba-tiba Jatuh Miskin)
"Dengan tegas disebutkan bahwa penyiaran adalah yang menggunakan spektrum frekuensi radio, sedangkan tayangan video berbasis internet seperti OTT (over the top), media sosial, dan lainnya, juga menggunakan spektrum frekuensi radio," ucapnya.
Lihat Juga :
tulis komentar anda