Uji Materi UU Penyiaran Tak Ancam Kebebasan Berekspresi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Gugatan uji materi Undang-Undang Penyiaran yang dilakukan RCTI dan iNews ke Mahkamah Konstitusi (MK) adalah hal yang wajar. Apalagi, jika substansi gugatan tersebut berguna untuk masyarakat banyak dan bertujuan melindungi hak rakyat.
Pakar Telematika Roy Suryo menilai keadilan dalam melakukan siaran di era milenial saat ini memang hal yang penting diwujudkan. Terlebih, RCTI yang merupakan televisi swasta pertama di Indonesia tentu juga menginginkan keadilan tersebut.
Gugatan RCTI dan iNews, menurut Roy, merupakan hak dari pihak penggugat. Jika UU Penyiaran dikabulkan MK, pemerintah wajib melaksanakan putusan tersebut. (Baca: Daftar negara yang Berani Tegas Mengatur Siaran Berbasis Internet)
"Saya melihat sah-sah saja RCTI dan iNews sebagai entitas bisnis penyiaran melakukan uji materi tersebut. Perkara pemerintah punya ‘posisi’ sendiri, itu memang sudah tupoksinya," ujar Roy Suryo, di Jakarta, kemarin.
"Bagi saya, sepanjang bermanfaat untuk kemaslahatan rakyat, go on," kata Roy.
Stasiun televisi RCTI dan iNews melakukan uji materi terhadap Pasal 1 ayat 2 UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Uji materi ini ditujukan kepada semua layanan dan tayangan video yang berbasis spektrum frekuensi radio, tanpa terkecuali. Uji materi dimaksudkan agar semua konten video diatur sesuai aturan yang berlaku sehingga tidak menjadi liar dan berbahaya bagi NKRI.
Menciptakan landasan hukum bagi tayangan video berbasis internet tanpa terkecuali, baik lokal maupun asing, adalah tujuan dari RCTI dan iNews dalam mengajukan permohonan uji materi. (Baca juga: Kapal Perang AS Sengaja Dibakar, Seorang Pelaut Jadi Tersangka)
RCTI memohon kepada Majelis Hakim MK untuk merumuskan redaksional Pasal 1 ayat 2 UU Penyiaran menjadi: ”Penyiaran adalah (i) kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran; dan/atau (ii) kegiatan menyebarluaskan atau mengalirkan siaran dengan menggunakan internet untuk dapat diterima oleh masyarakat sesuai dengan permintaan dan/atau kebutuhan dengan perangkat penerima siaran.”
Terkait gugatan ke MK ini, Roy Suryo menyebut ada pengamat media sosial yang berpendapat lain. Namun, menurut dia, pendapat berbeda muncul karena yang bersangkutan hanya menonjolkan kebebasan ekspresi.
“Namun, intinya, semua yang berhubungan dengan akses yang bisa diterima publik memang tetap harus ada aturannya, tidak bisa dengan alasan-alasan kebebasan-ekspresi begitu terus liar tanpa aturan," katanya. (Baca juga: TikTok Akhinya Ungkap Pengguna Aktif Global)
Sementara itu, Ketua Hubungan Media Badan Pengurus Pusat (BPP) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Anthony Leong mengatakan, konten digital perlu ada mekanisme dan UU Penyiaran harus mengatur platform digital. Artinya, jangan sampai konten digital memengaruhi dan membuat perilaku anak-anak menjadi buruk akibat mengonsumsi konten gay, lesbi, maupun seks yang sangat gamblang di televisi platform digital.
"(Uji materi) UU Penyiaran saya rasa tidak mengancam kebebasan,” ujarnya.
Regulasi yang mengancam kebebasan, menurut dia, lebih kepada UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). “UU ITE itu pasal karet. Ini yang harus dievaluasi bersama. UU Penyiaran harus lebih edukatif dan solutif mengatur konten digital yang ada di kita," ucapnya.
Corporate Legal Director MNC Group Christoporus Taufik mengatakan, judicial review (JR) ke MK dilakukan agar tercipta landasan hukum bagi tayangan video berbasis internet, tanpa terkecuali baik lokal maupun asing. Jika JR dikabulkan, kata dia, diharapkan kualitas isi siaran video berbasis internet dapat dihindarkan dari pornografi, kekerasan serta kebohongan, kebencian, termasuk fitnah (hoaks) dan sejenisnya, yang tidak sesuai dengan kultur bangsa Indonesia yang sesungguhnya dan bahkan berbahaya bagi kesatuan NKRI.
“Ini tanpa terkecuali, untuk penyiaran berbasis internet lokal maupun asing," katanya. (Baca juga: Disebut Hendak Nyapres di 2024, Gatot Nurmantyo Bilang Begini)
Bila judicial review tersebut dikabulkan, Chris berharap isi tayangan video berbasis internet dapat lebih berkualitas, tersaring dari konten kekerasan, pornografi maupun SARA sehingga setiap konten yang disiarkan dapat dipertanggungjawabkan.
Putusan dari judicial review tersebut, lanjutnya, akan ikut ambil bagian menjadikan NKRI kembali kepada marwahnya sesuai dengan tujuan berbangsa dan bernegara, yang tidak hanya merdeka, tetapi juga bersatu, adil dan makmur sebagaimana jelas tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.
Dari sisi landasan hukum, Chris mengatakan UU Nomor 32 Tahun 2002, Pasal 1 ayat 2, menyebutkan Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran. (Baca juga: Awas! Sri Mulyani Bilang Bakal Banyak Pengusaha Kaya Tiba-tiba Jatuh Miskin)
"Dengan tegas disebutkan bahwa penyiaran adalah yang menggunakan spektrum frekuensi radio, sedangkan tayangan video berbasis internet seperti OTT (over the top), media sosial, dan lainnya, juga menggunakan spektrum frekuensi radio," ucapnya.
Chris menjelaskan tayangan lewat mobile juga menggunakan spektrum frekuensi radio, di mana tayangan lewat wi-fi juga menggunakan spektrum frekuensi radio di 2,4GHz.
"UU Nomor 32/2002 dapat dipergunakan sebagai pijakan untuk mengatur tayangan video berbasis internet. Tanpa ada spektrum frekuensi radio, semua tayangan video berbasis internet tidak dapat ditransmisikan sehingga tidak dapat ditonton," tandasnya.
Dalam penjelasan UU Penyiaran, maksud dan tujuannya mencakup pengaturan teknologi digital dan internet sebagaimana dengan tegas ditulis di butir 4 yaitu: mengantisipasi perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, khususnya di bidang penyiaran, seperti teknologi digital, kompresi, komputerisasi, televisi kabel, satelit, internet, dan bentuk-bentuk khusus lain dalam penyelenggaraan siaran. (Lihat videonya: Dua Kali Ditangkap Warga, Macan Tutul Jawa Dilepas Liarkan ke Habitatnya)
Sebagai informasi, isi siaran yang dilarang, yakni konten yang bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong; menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang; atau mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan.
Selain itu, isi siaran juga dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional. (Rico Afrido Simanjuntak)
Pakar Telematika Roy Suryo menilai keadilan dalam melakukan siaran di era milenial saat ini memang hal yang penting diwujudkan. Terlebih, RCTI yang merupakan televisi swasta pertama di Indonesia tentu juga menginginkan keadilan tersebut.
Gugatan RCTI dan iNews, menurut Roy, merupakan hak dari pihak penggugat. Jika UU Penyiaran dikabulkan MK, pemerintah wajib melaksanakan putusan tersebut. (Baca: Daftar negara yang Berani Tegas Mengatur Siaran Berbasis Internet)
"Saya melihat sah-sah saja RCTI dan iNews sebagai entitas bisnis penyiaran melakukan uji materi tersebut. Perkara pemerintah punya ‘posisi’ sendiri, itu memang sudah tupoksinya," ujar Roy Suryo, di Jakarta, kemarin.
"Bagi saya, sepanjang bermanfaat untuk kemaslahatan rakyat, go on," kata Roy.
Stasiun televisi RCTI dan iNews melakukan uji materi terhadap Pasal 1 ayat 2 UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Uji materi ini ditujukan kepada semua layanan dan tayangan video yang berbasis spektrum frekuensi radio, tanpa terkecuali. Uji materi dimaksudkan agar semua konten video diatur sesuai aturan yang berlaku sehingga tidak menjadi liar dan berbahaya bagi NKRI.
Menciptakan landasan hukum bagi tayangan video berbasis internet tanpa terkecuali, baik lokal maupun asing, adalah tujuan dari RCTI dan iNews dalam mengajukan permohonan uji materi. (Baca juga: Kapal Perang AS Sengaja Dibakar, Seorang Pelaut Jadi Tersangka)
RCTI memohon kepada Majelis Hakim MK untuk merumuskan redaksional Pasal 1 ayat 2 UU Penyiaran menjadi: ”Penyiaran adalah (i) kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran; dan/atau (ii) kegiatan menyebarluaskan atau mengalirkan siaran dengan menggunakan internet untuk dapat diterima oleh masyarakat sesuai dengan permintaan dan/atau kebutuhan dengan perangkat penerima siaran.”
Terkait gugatan ke MK ini, Roy Suryo menyebut ada pengamat media sosial yang berpendapat lain. Namun, menurut dia, pendapat berbeda muncul karena yang bersangkutan hanya menonjolkan kebebasan ekspresi.
“Namun, intinya, semua yang berhubungan dengan akses yang bisa diterima publik memang tetap harus ada aturannya, tidak bisa dengan alasan-alasan kebebasan-ekspresi begitu terus liar tanpa aturan," katanya. (Baca juga: TikTok Akhinya Ungkap Pengguna Aktif Global)
Sementara itu, Ketua Hubungan Media Badan Pengurus Pusat (BPP) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Anthony Leong mengatakan, konten digital perlu ada mekanisme dan UU Penyiaran harus mengatur platform digital. Artinya, jangan sampai konten digital memengaruhi dan membuat perilaku anak-anak menjadi buruk akibat mengonsumsi konten gay, lesbi, maupun seks yang sangat gamblang di televisi platform digital.
"(Uji materi) UU Penyiaran saya rasa tidak mengancam kebebasan,” ujarnya.
Regulasi yang mengancam kebebasan, menurut dia, lebih kepada UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). “UU ITE itu pasal karet. Ini yang harus dievaluasi bersama. UU Penyiaran harus lebih edukatif dan solutif mengatur konten digital yang ada di kita," ucapnya.
Corporate Legal Director MNC Group Christoporus Taufik mengatakan, judicial review (JR) ke MK dilakukan agar tercipta landasan hukum bagi tayangan video berbasis internet, tanpa terkecuali baik lokal maupun asing. Jika JR dikabulkan, kata dia, diharapkan kualitas isi siaran video berbasis internet dapat dihindarkan dari pornografi, kekerasan serta kebohongan, kebencian, termasuk fitnah (hoaks) dan sejenisnya, yang tidak sesuai dengan kultur bangsa Indonesia yang sesungguhnya dan bahkan berbahaya bagi kesatuan NKRI.
“Ini tanpa terkecuali, untuk penyiaran berbasis internet lokal maupun asing," katanya. (Baca juga: Disebut Hendak Nyapres di 2024, Gatot Nurmantyo Bilang Begini)
Bila judicial review tersebut dikabulkan, Chris berharap isi tayangan video berbasis internet dapat lebih berkualitas, tersaring dari konten kekerasan, pornografi maupun SARA sehingga setiap konten yang disiarkan dapat dipertanggungjawabkan.
Putusan dari judicial review tersebut, lanjutnya, akan ikut ambil bagian menjadikan NKRI kembali kepada marwahnya sesuai dengan tujuan berbangsa dan bernegara, yang tidak hanya merdeka, tetapi juga bersatu, adil dan makmur sebagaimana jelas tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.
Dari sisi landasan hukum, Chris mengatakan UU Nomor 32 Tahun 2002, Pasal 1 ayat 2, menyebutkan Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran. (Baca juga: Awas! Sri Mulyani Bilang Bakal Banyak Pengusaha Kaya Tiba-tiba Jatuh Miskin)
"Dengan tegas disebutkan bahwa penyiaran adalah yang menggunakan spektrum frekuensi radio, sedangkan tayangan video berbasis internet seperti OTT (over the top), media sosial, dan lainnya, juga menggunakan spektrum frekuensi radio," ucapnya.
Chris menjelaskan tayangan lewat mobile juga menggunakan spektrum frekuensi radio, di mana tayangan lewat wi-fi juga menggunakan spektrum frekuensi radio di 2,4GHz.
"UU Nomor 32/2002 dapat dipergunakan sebagai pijakan untuk mengatur tayangan video berbasis internet. Tanpa ada spektrum frekuensi radio, semua tayangan video berbasis internet tidak dapat ditransmisikan sehingga tidak dapat ditonton," tandasnya.
Dalam penjelasan UU Penyiaran, maksud dan tujuannya mencakup pengaturan teknologi digital dan internet sebagaimana dengan tegas ditulis di butir 4 yaitu: mengantisipasi perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, khususnya di bidang penyiaran, seperti teknologi digital, kompresi, komputerisasi, televisi kabel, satelit, internet, dan bentuk-bentuk khusus lain dalam penyelenggaraan siaran. (Lihat videonya: Dua Kali Ditangkap Warga, Macan Tutul Jawa Dilepas Liarkan ke Habitatnya)
Sebagai informasi, isi siaran yang dilarang, yakni konten yang bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong; menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang; atau mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan.
Selain itu, isi siaran juga dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional. (Rico Afrido Simanjuntak)
(ysw)