Merdeka Berpikir

Jum'at, 28 Agustus 2020 - 06:30 WIB
Dalam pendidikan, proses bisa lebih penting ketimbang hasil. Ibarat kawah candradimuka, proses penggemblengan diarahkan untuk penyadaran diri sekaligus memotivasi akan potensi mahasiswa yang dimilikinya, seperti Nilson (2010) tuliskan. Dengan cara ini, kaderisasi dipersiapkan agar ilmu dan amal dapat diakselerasikan dengan gemblengan mental dan sistematisasi berpikir yang matang. Upaya ini harus mengubah ”cepat lulus” sebagai tujuan menjadi lulus sebagai akibat kematangan dan tanggung jawab sosialnya.

Tidak heran jika kebanggaan akademisi terletak pada ketahanan mental anak didik serta kemampuan berpikir kritis, analitis dan skeptis, bukan IPK tinggi dan cepat berhasil. Untuk membentuknya, sebagai mentor, dosen memiliki kreasi sendiri yang bisa berbeda antar-dosen. Karena itu, metode mentransfer ilmu ditempatkan sebagai alat dan seni, bukan ilmu yang harus diseragamkan. Praktik seperti itu mestinya juga menjadi bagian dari pencetakan kader yang mampu memberikan kemerdekaan berkreasi dan berpikir.

Aura

Kesiapan memasuki kawah candradimuka menjadi penting. Bila semangat juang telah ditanamkan sejak awal, sejumlah praktik sesat seperti plagiasi atau maklonisasi akan digantikan tekad untuk menguasai ilmu dan keterampilan ilmiahnya. Bahkan, semangat cepat lulus dan orientasi ijazah pun mesti hilang karenanya. Berkembangnya praktik sesat melemahkan perguruan tinggi dalam menyikapi perubahan untuk kemudian tidak memberikan solusi yang cerdas. Dampaknya, kepercayaan kepada lulusan kategori tersebut menurun.

Aura akademisi harus tetap terpancar dalam setiap insan di dalamnya. Hasil riset pun tidak sebatas prestise diri yang publish di jurnal bereputasi, namun harus memberikan manfaat dalam kehidupan bersama. Tidak boleh juga gelar akademiknya dijadikan tiket untuk perlombaan akses dalam kekuasaan di negeri ini. Bila perkembangan terakhir terjadi, bisa jadi perguruan tinggi memasuki masa decline-nya Isaac (1972) sehingga perkiraan akan menjadi kuburan massal berpotensi terjadi.

Merdeka berpikir mestinya dianggap upaya menghindari pandemi pragmatisme. Tidak heran bila fondasinya berada pada kemauan untuk bisa berkreasi dalam berpikirnya. Dengan cara tersebut, mahasiswa dirangsang melakukan hal tersebut untuk mengkritisi, menganalisis, dan menskeptiskan sebelum dilahirkan silogismenya. Kehadiran dosen diposisikan untuk menjadi mentor, memfasilitasi dan mengawal agar aura akademik kembali bersinar.

Pelibatan stakeholder pendidikan menjadi penting untuk mencermati aktivitas mentransfer ilmu dari mentor ke gemblengannya. Bisa jadi ada mentor yang memerdekakan implementasi pikirannya secara membabi buta. Untuk itulah pagar agama yang diaktori agamawan harus hadir memberikan kontribusi. Boleh jadi ada budaya yang dicerabut dari akarnya sehingga budayawan turut kontribusi untuk memberikan argumentasi kulturalnya. Mungkin juga ada ungkapan pemikirannya bersifat provokatif, maka media turut memberikan kontrol konstruktifnya. Dengan demikian, merdeka berpikir tidak melanggar etika dan nilai yang berlaku sehingga mampu memberikan solusi cerdas atas sejumlah masalah anak manusia dan bangsa ini.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
(ras)
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More