Istimewanya FGD Penguatan Peran DPD di Yogyakarta
Senin, 08 Juli 2024 - 20:23 WIB
Sultan yang juga pernah menjabat kepala daerah melanjutkan rekomendasinya yang kedua adalah dengan merevisi UU terkait fungsi dan peran DPD. Untuk memperkuat peran lembaga perwakilan tersebut bisa dimulai dengan merevisi UU tentang pembentukan peraturan perundang-undangan (PPP) dan UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Kedua UU ini perlu direvisi agar peran politik legislasi dan pengawasan DPD dan DPR bisa diberikan secara proporsional.
Khusus UU MD3 diharapkan dapat dipisah menjadi UU sendiri masing-masing lembaga perwakilan tersebut (baik MPR-DPR-DPD dan DPRD). Pemisahan UU ini dimaksudkan agar terjadi upaya mewujudkan kolaborasi dan juga keadilan kekuasaan legislatif.
Zainal Arifin Mochtar mengatakan, sejatinya terdapat beberapa opsi yang bisa dilakukan sebagai upaya penguatan kewenangan dan peran DPD. Tidak mutlak hanya melalui agenda amendemen konstitusi yang terbilang sulit secara politik. Memaksakan kehendak politik DPD dengan jalan amendemen konstitusi adalah sangat sulit untuk ditempuh jika kita memahami realitas politik yang ada.
"Oleh karena itu, Pimpinan DPD ke depan diharapkan bisa realistis dengan dinamika politik Indonesia yang multipartai dengan sistem presidensial. DPR sebagai pemegang kuasa membuat UU terlihat agak sulit berbagi fungsi legislasinya dengan DPD," ujar Zainal.
Menurut dia, hal itu bukan berarti DPR tidak sepenuh ingin melemahkan atau setidaknya membonsai kewenangan politik DPD. Demikian juga dengan presiden, sebagai pembuat dan pelaksana UU. Memberikan kewenangan politik legislasi yang lebih kepada DPD dinilai akan memperumit proses legislasi UU itu sendiri.
"Tapi kami meyakini semua opsi politik terkait penguatan peran DPD masih terbuka dan terdapat banyak alasan bagi presiden dan DPR untuk memberikan kewenangan politik legislasi kepada DPD. Fraksi-fraksi parpol di DPR tentu berkepentingan dengan eksistensi DPD sebagai sarana untuk meningkatkan pengaruh politik legislatif dan distribusi kader. Juga kekuasaan eksekutif. Tentu sangat menghormati konstitusi dan berkepentingan dengan lembaga DPD yang diisi anggotanya yang nonpartisan," ungkapnya.
Keistimewaan lainnya pada momentum FGD ini adalah saat anggota DPD diterima dan dijamu secara istimewa di Keraton Jogja. Tepat di malam Tahun Baru Islam (1 Muharram 1446 H) atau Malam Satu Suro.
Semua peserta FGD diundang Gubernur DIY yang juga merupakan Raja Jogjakarta Ngarso Dalem Sri Sultan Hamengkubuwono X untuk beramah tamah di kediamannya. Dalam tradisi sosial politik Indonesia yang terpusat di Jawa, peristiwa seperti ini menjadi sangat sakral dan penting bagi konstelasi politik nasional.
Khusus UU MD3 diharapkan dapat dipisah menjadi UU sendiri masing-masing lembaga perwakilan tersebut (baik MPR-DPR-DPD dan DPRD). Pemisahan UU ini dimaksudkan agar terjadi upaya mewujudkan kolaborasi dan juga keadilan kekuasaan legislatif.
Zainal Arifin Mochtar mengatakan, sejatinya terdapat beberapa opsi yang bisa dilakukan sebagai upaya penguatan kewenangan dan peran DPD. Tidak mutlak hanya melalui agenda amendemen konstitusi yang terbilang sulit secara politik. Memaksakan kehendak politik DPD dengan jalan amendemen konstitusi adalah sangat sulit untuk ditempuh jika kita memahami realitas politik yang ada.
"Oleh karena itu, Pimpinan DPD ke depan diharapkan bisa realistis dengan dinamika politik Indonesia yang multipartai dengan sistem presidensial. DPR sebagai pemegang kuasa membuat UU terlihat agak sulit berbagi fungsi legislasinya dengan DPD," ujar Zainal.
Menurut dia, hal itu bukan berarti DPR tidak sepenuh ingin melemahkan atau setidaknya membonsai kewenangan politik DPD. Demikian juga dengan presiden, sebagai pembuat dan pelaksana UU. Memberikan kewenangan politik legislasi yang lebih kepada DPD dinilai akan memperumit proses legislasi UU itu sendiri.
"Tapi kami meyakini semua opsi politik terkait penguatan peran DPD masih terbuka dan terdapat banyak alasan bagi presiden dan DPR untuk memberikan kewenangan politik legislasi kepada DPD. Fraksi-fraksi parpol di DPR tentu berkepentingan dengan eksistensi DPD sebagai sarana untuk meningkatkan pengaruh politik legislatif dan distribusi kader. Juga kekuasaan eksekutif. Tentu sangat menghormati konstitusi dan berkepentingan dengan lembaga DPD yang diisi anggotanya yang nonpartisan," ungkapnya.
Keistimewaan lainnya pada momentum FGD ini adalah saat anggota DPD diterima dan dijamu secara istimewa di Keraton Jogja. Tepat di malam Tahun Baru Islam (1 Muharram 1446 H) atau Malam Satu Suro.
Semua peserta FGD diundang Gubernur DIY yang juga merupakan Raja Jogjakarta Ngarso Dalem Sri Sultan Hamengkubuwono X untuk beramah tamah di kediamannya. Dalam tradisi sosial politik Indonesia yang terpusat di Jawa, peristiwa seperti ini menjadi sangat sakral dan penting bagi konstelasi politik nasional.
(jon)
Lihat Juga :
tulis komentar anda