Istitha'ah Kesehatan Haji
Rabu, 03 Juli 2024 - 22:22 WIB
Lelaki tua itu menjawab: “Seandainya saya tidak melakukan kekeliruan, mungkin cerita isteri saya tidak seperti ini.” Mendengar pernyataan itu, sang petugas haji Indonesia itu makin tertarik untuk bertanya lebih mendalam. “Apa kekeliruan Bapak?” tanya petugas haji Indonesia itu seakan-akan menginvestigasi.
Lelaki tua itu pun menceritakan lebih detail seperti ini: “Saat mengurus surat kesehatan di Indonesia sebagai persyaratan haji, isteri saya menggunakan air kencing anak saya. Sebelum pergi ke rumah sakit untuk tes urin, isteri saya meminta anak saya untuk mengisi botol plastik kecil dengan urinnya. Lalu dia bawa saat ke rumah sakit. Nah, yang dia isikan ke botol urin untuk tes kesehatan di rumah sakit itu justeru dari urin anaknya yang telah dia simpan dari rumah. Hasil tes urinnya pun memang oke. Tapi justeru karena itu, isteriku di sini saat haji harus menjemput ajalnya karena dia tak kuat lagi bertahan dengan penyakit bawaannya.”
Mungkin lelaki tua itu tak pernah berpikir panjang dengan akibat buruk dari kekeliruan perilakunya dengan tidak jujur dalam uji Kesehatan semasa di Indonesia. Saat kriteria istitha’ah kesehatan waktu itu bisa dipenuhi dalam proses pengurusannya, kala itu mungkin hati senang-senang saja. Bahagia karena akan segera bisa berangkat haji.
Namun, nasib berkata lain. Justru dengan diterimanya hasil uji kesehatan dirinya dengan cara yang tidak jujur itu justeru membahayakan dirinya sendiri. Sebab akibatnya, mitigasi risiko tinggi atas kesehatannya mungkin tak lagi dipandang perlu. Sisi lain, tingginya kebutuhan terhadap kekuatan fisik untuk menjalani ibadah haji semakin memperparah situasi. Akhirnya, ketahanan fisik diri pun tak lagi bisa dipertahankan di tengah tuntutan gerak fisik yang tinggi dalam ibadah haji.
Indeks kesehatan diri memang terlalu mahal untuk dikesampingkan. Karena, indikator istitha’ah kesehatan semakin menjadi perhatian pemerintah Indonesia. Tentu kita semua. Baik jemaah haji Indonesia yang seang berada di Arab Saudi untuk menunaikan ibadah haji maupun keluarganya yang menunggu dan ikut berdoa di Indonesia.
Karena siapa pun kita, pasti ingin menikmati kebersamaan bersama orang-orang tercinta lebih lama. Pergi beribadah haji memang menjadi harapan dan keinginan siapapun yang ingin menyempurnakan keislamannya. Namun kebersamaan dengan orang-orang tercinta tetap tak ingin cepat berlalu karena dipisahkan oleh kematian.
Jangan sampai pembicaraan umum menjadi kenyataan dalam haji. “Dulu saat muda mau membeli sesuatu, uang tak ada. Saat dewasa, uang punya, tapi tak bisa beli apa-apa. Karena faktor kesehatan yang memperihatinkan.” Dalam konteks ibadah haji, saat menabung untuk bisa pergi haji ke Arab Saudi telah mencukupi, diri tak bisa berangkat haji karena faktor kesehatan yang tak memungkinkan. Kalaulah pergi berhaji ke Arab Saudi itu bisa terjadi, kekhidmatan berhaji agak terganggu oleh tingkat kesehatan diri yang terkurangi.
Maka, setiap kita penting menjaga kesehatan. Untuk kepentingan lebih luas dalam menjalani hidup. Namun untuk kepentingan spesifik, itu dibutuhkan agar kita bisa memenuhi standar istitha’ah kesehatan yang kini dipersyaratkan lebih utama. Dengan begitu, bukan saja berangkat haji bisa dimungkinkan. Melainkan juga selama beribadah haji pun, kesehatan bisa dijaga dan dipertahankan. Itu semua agar saat berhaji kesehatan diri bisa dijaminkan. Untuk kepentingan sukses haji yang selalu didambakan.
Saat kampanye tentang Gerakan Haji Muda yang belakangan mulai gencar dilakukan berbagai pihak, sebetulnya Menteri Agama RI Gus Yaqut Cholis Qoumas melalui kebijakan “Istitha’ah kesehatan dulu, baru pelunasan ongkos haji” di atas sedang menirimkan pesan penting kepada generasi muda. Penting namun konkret sekali pesan itu.
Jangan hanya fokus pada pemenuhan ongkos haji. Jangan hanya diskusi soal bagaimana literasi haji dari sisi manajemen keuangan pribadi hingga bisa berhaji. Jangan mencukupkan diri hanya dengan mendalami persoalan peribadatan haji. Semua itu baik. Tapi tidak cukup. Bahkan semua itu bukan menjadi faktor penentu.
Lelaki tua itu pun menceritakan lebih detail seperti ini: “Saat mengurus surat kesehatan di Indonesia sebagai persyaratan haji, isteri saya menggunakan air kencing anak saya. Sebelum pergi ke rumah sakit untuk tes urin, isteri saya meminta anak saya untuk mengisi botol plastik kecil dengan urinnya. Lalu dia bawa saat ke rumah sakit. Nah, yang dia isikan ke botol urin untuk tes kesehatan di rumah sakit itu justeru dari urin anaknya yang telah dia simpan dari rumah. Hasil tes urinnya pun memang oke. Tapi justeru karena itu, isteriku di sini saat haji harus menjemput ajalnya karena dia tak kuat lagi bertahan dengan penyakit bawaannya.”
Mungkin lelaki tua itu tak pernah berpikir panjang dengan akibat buruk dari kekeliruan perilakunya dengan tidak jujur dalam uji Kesehatan semasa di Indonesia. Saat kriteria istitha’ah kesehatan waktu itu bisa dipenuhi dalam proses pengurusannya, kala itu mungkin hati senang-senang saja. Bahagia karena akan segera bisa berangkat haji.
Namun, nasib berkata lain. Justru dengan diterimanya hasil uji kesehatan dirinya dengan cara yang tidak jujur itu justeru membahayakan dirinya sendiri. Sebab akibatnya, mitigasi risiko tinggi atas kesehatannya mungkin tak lagi dipandang perlu. Sisi lain, tingginya kebutuhan terhadap kekuatan fisik untuk menjalani ibadah haji semakin memperparah situasi. Akhirnya, ketahanan fisik diri pun tak lagi bisa dipertahankan di tengah tuntutan gerak fisik yang tinggi dalam ibadah haji.
Indeks kesehatan diri memang terlalu mahal untuk dikesampingkan. Karena, indikator istitha’ah kesehatan semakin menjadi perhatian pemerintah Indonesia. Tentu kita semua. Baik jemaah haji Indonesia yang seang berada di Arab Saudi untuk menunaikan ibadah haji maupun keluarganya yang menunggu dan ikut berdoa di Indonesia.
Karena siapa pun kita, pasti ingin menikmati kebersamaan bersama orang-orang tercinta lebih lama. Pergi beribadah haji memang menjadi harapan dan keinginan siapapun yang ingin menyempurnakan keislamannya. Namun kebersamaan dengan orang-orang tercinta tetap tak ingin cepat berlalu karena dipisahkan oleh kematian.
Jangan sampai pembicaraan umum menjadi kenyataan dalam haji. “Dulu saat muda mau membeli sesuatu, uang tak ada. Saat dewasa, uang punya, tapi tak bisa beli apa-apa. Karena faktor kesehatan yang memperihatinkan.” Dalam konteks ibadah haji, saat menabung untuk bisa pergi haji ke Arab Saudi telah mencukupi, diri tak bisa berangkat haji karena faktor kesehatan yang tak memungkinkan. Kalaulah pergi berhaji ke Arab Saudi itu bisa terjadi, kekhidmatan berhaji agak terganggu oleh tingkat kesehatan diri yang terkurangi.
Maka, setiap kita penting menjaga kesehatan. Untuk kepentingan lebih luas dalam menjalani hidup. Namun untuk kepentingan spesifik, itu dibutuhkan agar kita bisa memenuhi standar istitha’ah kesehatan yang kini dipersyaratkan lebih utama. Dengan begitu, bukan saja berangkat haji bisa dimungkinkan. Melainkan juga selama beribadah haji pun, kesehatan bisa dijaga dan dipertahankan. Itu semua agar saat berhaji kesehatan diri bisa dijaminkan. Untuk kepentingan sukses haji yang selalu didambakan.
Saat kampanye tentang Gerakan Haji Muda yang belakangan mulai gencar dilakukan berbagai pihak, sebetulnya Menteri Agama RI Gus Yaqut Cholis Qoumas melalui kebijakan “Istitha’ah kesehatan dulu, baru pelunasan ongkos haji” di atas sedang menirimkan pesan penting kepada generasi muda. Penting namun konkret sekali pesan itu.
Jangan hanya fokus pada pemenuhan ongkos haji. Jangan hanya diskusi soal bagaimana literasi haji dari sisi manajemen keuangan pribadi hingga bisa berhaji. Jangan mencukupkan diri hanya dengan mendalami persoalan peribadatan haji. Semua itu baik. Tapi tidak cukup. Bahkan semua itu bukan menjadi faktor penentu.
tulis komentar anda