Istitha'ah Kesehatan Haji
Rabu, 03 Juli 2024 - 22:22 WIB
Lihatlah laporan kesehatan haji tahun 1445 H/2024 M sebagai contoh konkret. Atas kebijakan “Istitha’ah kesehatan dulu, baru pelunasan ongkos haji” di atas, pengetatan standar istitha’ah dengan memunculkan kesehatan sebagai sebuah faktor penentu berdampak signifikan pada indeks kematian jemaah haji.
“Kalau tahun lalu yang wafat 74 orang, kini yang wafat 42 orang,” jelas dr. Enny kepada Mahmud Syaltut bersama Affan Razi dan Akh Muzakki selaku Tim Monitoring dan Evaluasi Haji 2024 di Klinik Kesehatan Haji Indonesia (KKHI), Rabu (5 Juni 2024).
Dr. Enny sendiri adalah kepala KKHI Daerah Kerja Mekkah. Data itu adalah data sepuluh hari sebelum puncak ibadah haji di Arafah, Muzdalifah dan Mina (Armuzna) pada mjusim haji 1445 H/2024 M yang justeru menyita hebat tenaga jemaah haji.
Kini saat musim haji sudah memasuki tahap akhir dalam bentuk kepulangan jemaah haji Indonesia dari Arab Saudi ke tanah air, perbandingan angka kematian jemaah haji pasca Armuzna bagi musim haji 1444 H/2023 M dibanding musim haji sebelum-sebelumnya cukup signifikan.
Pada musim haji 1445 H/2024 M, hingga tulisan ini dibuat (02 Juni 2024) tercatat total-kumulatif masih dalam kisaran belasan di atas tiga ratus jemaah haji. Bandingkan dengan musim haji sebelumnya yang total mencapai angka di atas enam ratus.
Data di atas menunjukkan bahwa standar istitha’ah kesehatan melalui kebijakan “Istitha’ah kesehatan dulu, baru pelunasan ongkos haji” di atas sangat efektif. Standar kesehatan itu bisa menekan problem kematian jemaah haji Indonesia selama pelaksanaan haji di Arab Saudi. Jumlah jemaah haji yang masuk kategori kelompok risiko tinggi (risti) kesehatan makin menurun.
Maut memang kuasa Tuhan. Namun promosi kesehatan dan sekaligus pencegahan angka individu yang bermasalah dengan kesehatan harus dilakukan semaksimal mungkin oleh siapapun mereka. Nah, kriteria istitha’ah kesehatan itu instrumen penting untuk melihat suksesnya promosi kesehatan dimaksud.
Tentu jika ada praktik yang tidak benar dalam proses pemenuhan kriteria istitha’ah kesehatan di atas, masalah akan kembali kepada diri jemaah haji sendiri. “Ada seorang lelaki tua menyesal setelah mendapati isterinya meninggal dalam proses menjalani rangkaian ibadah haji di Arab Saudi,” cerita salah seorang pimpinan penyelenggara haji Indonesia siang itu.
Inisialnya JJ. Dia menceritakan kisah itu saat makan siang bersama di ruang makan, di Hotel Assel, Jeddah, Senen (02 Juli 2024), hari terakhir sebelum malamnya rombongan tim Monitoring dan Evaluasi haji 2024 kembali ke tanah air.
Kata “menyesal” dari pernyataan lelaki tua itu membuat pimpinan petugas haji Indonesia yang menceritakan ulang kisah itu semakin terangsang untuk bertanya lebuh jauh. “Lalu, kenapa Bapak menyesal? Bukankah isteri meninggal di Tanah Suci yang banyak dirindukan? Apa yang membuat Bapak menyesal?” Begitu tanya Pak JJ dalam ceritanya kala itu.
“Kalau tahun lalu yang wafat 74 orang, kini yang wafat 42 orang,” jelas dr. Enny kepada Mahmud Syaltut bersama Affan Razi dan Akh Muzakki selaku Tim Monitoring dan Evaluasi Haji 2024 di Klinik Kesehatan Haji Indonesia (KKHI), Rabu (5 Juni 2024).
Dr. Enny sendiri adalah kepala KKHI Daerah Kerja Mekkah. Data itu adalah data sepuluh hari sebelum puncak ibadah haji di Arafah, Muzdalifah dan Mina (Armuzna) pada mjusim haji 1445 H/2024 M yang justeru menyita hebat tenaga jemaah haji.
Kini saat musim haji sudah memasuki tahap akhir dalam bentuk kepulangan jemaah haji Indonesia dari Arab Saudi ke tanah air, perbandingan angka kematian jemaah haji pasca Armuzna bagi musim haji 1444 H/2023 M dibanding musim haji sebelum-sebelumnya cukup signifikan.
Pada musim haji 1445 H/2024 M, hingga tulisan ini dibuat (02 Juni 2024) tercatat total-kumulatif masih dalam kisaran belasan di atas tiga ratus jemaah haji. Bandingkan dengan musim haji sebelumnya yang total mencapai angka di atas enam ratus.
Data di atas menunjukkan bahwa standar istitha’ah kesehatan melalui kebijakan “Istitha’ah kesehatan dulu, baru pelunasan ongkos haji” di atas sangat efektif. Standar kesehatan itu bisa menekan problem kematian jemaah haji Indonesia selama pelaksanaan haji di Arab Saudi. Jumlah jemaah haji yang masuk kategori kelompok risiko tinggi (risti) kesehatan makin menurun.
Maut memang kuasa Tuhan. Namun promosi kesehatan dan sekaligus pencegahan angka individu yang bermasalah dengan kesehatan harus dilakukan semaksimal mungkin oleh siapapun mereka. Nah, kriteria istitha’ah kesehatan itu instrumen penting untuk melihat suksesnya promosi kesehatan dimaksud.
Tentu jika ada praktik yang tidak benar dalam proses pemenuhan kriteria istitha’ah kesehatan di atas, masalah akan kembali kepada diri jemaah haji sendiri. “Ada seorang lelaki tua menyesal setelah mendapati isterinya meninggal dalam proses menjalani rangkaian ibadah haji di Arab Saudi,” cerita salah seorang pimpinan penyelenggara haji Indonesia siang itu.
Inisialnya JJ. Dia menceritakan kisah itu saat makan siang bersama di ruang makan, di Hotel Assel, Jeddah, Senen (02 Juli 2024), hari terakhir sebelum malamnya rombongan tim Monitoring dan Evaluasi haji 2024 kembali ke tanah air.
Kata “menyesal” dari pernyataan lelaki tua itu membuat pimpinan petugas haji Indonesia yang menceritakan ulang kisah itu semakin terangsang untuk bertanya lebuh jauh. “Lalu, kenapa Bapak menyesal? Bukankah isteri meninggal di Tanah Suci yang banyak dirindukan? Apa yang membuat Bapak menyesal?” Begitu tanya Pak JJ dalam ceritanya kala itu.
tulis komentar anda