Stop Ekspor Benih Lobster
Sabtu, 22 Agustus 2020 - 16:38 WIB
Dari sisi importir, China dan Amerika Serikat adalah dua negara importir utama lobster dunia tahun 2019. Nilai share impor keduanya 60,89%. Posisi ini berubah karena sepanjang 2001-2018 Amerika Serikat sebagai importir nomor satu dunia disalip China sejak 2019. Makanya, wajar Vietnam ngotot mengimpor BBL dari Indonesia buat budidayanya agar memperkokoh dirinya sebagai eksportir lobster hasil budidaya. Soalnya Vietnam sebagai pemasok utama permintaan pasar Cina. Posisi Vietnam juga dekat China sehingga ongkos transportasi dan rantai pasoknya lebih efisien. Terbukti, China menguasai USD1,02 miliar (61,78%) dari total impor dunia lobster Panulirus spp tahun 2019 yang nilainya USD1,64 miliar (Trademap, 2020).
Bagaimana konstelasi perdagangan lobster dewasa Indonesia dibandingkan Vietnam? Sepanjang 2010-2015, ekspor Indonesia selalu di bawah Vietnam. Baru tahun 2016-2018 Indonesia menyalip Vietnam. Apa maknanya? Kebijakan Permen KP Nomor 56/2016 yang melarang ekspor BBL efektif mengerem hegemoni Vietnam yang ekspor lobsternya bergantung hasil budidaya yang benihnya diimpor dari Indonesia. Jika, sepanjang 2010-2015 nilai ekspor Vietnam USD 55,83 juta lebih besar dibandingkan Indonesia USD 53,65 juta, Masuk periode 2016-2018 ekspor Indonesia senilai 60,61 juta melampaui Vietnam USD19,50 juta (Trademap, 2020). Semua ekspor lobster Indonesia (96,91%) bersumber dari tangkapan dan sisanya budidaya 3,09% (FAO, 2018).
Memang permintaan impor lobster dunia ke dari China melonjak drastis setiap tahunnya terutama jelang perayaan Imlek. Vietnam amat paham soal itu. Makanya, sejak Maret 2020 ia mengenjot budidayanya supaya jelang perayaan Imlek tahun 2021 sudah mencapai umur panen delapan bulan. Makanya, terbukti hingga Juli 2020 99,9% ekspor BBL dari Indonesia masuk Vietnam. Pertanyaannya, mengapa bukan Indonesia yang memasok pasar China berbasiskan budidaya perikanan lobster yang disokong pengembangan teknologi budidaya dan sumberdaya manusianya? Lantas dimana letak keberpihakan negara lewat Permen KP Nomor 12/2020?
Kebijakan
Menghentikan kebijakan ekspor BBL, bukan berarti sektor perikanan Indonesia kiamat. Di tengah Covid-19 ini budidaya lobster mestinya jadi sumber lapangan kerja baru dan mata pencaharian nelayan. Jangka pendek: Pertama, nelayan tradisional penangkap BBL bisa saja menangkapnya dengan syarat ukuran tertentu. Mereka menggunakan alat tangkap ramah lingkungan sehingga mengurangi potensi sampah. Tujuannya memasok pembudidaya/pembesaran keramba jaring apung (KJA) domestik, bukan diekspor. Akibat kebijakan ekspor BBL, pembudidaya mulai kesulitan memperoleh benih. Soalnya eksportir telah memborongnya dari nelayan. Pasokannya pun kian sulit dan harganya selangit tingkat lokal. Pembudidaya terancam gulung tikar. Bukankah kondisi ini mengisyaratkan Permen KP Nomor 12/2020 jauh panggang dari api keberpihakan terhadap pembudidaya domestik? Terlalu absurd menganggapnya sebagai kebijakan pengelolaan.
Kedua, pemerintah mestinya mendorong pembudidaya membesarkan lobster lalu diekspor ke negara tujuan dengan permintaan tinggi. Caranya memfasilitasi pengembangan teknologi budidaya dan kapasitas sumberdaya manusianya. Tak perlu beretorika, Vietnam teknologinya sudah maju hingga kita mengambil jalan pintas lewat ekspor BBL negara itu. Ketiga, membolehkan penangkapan lobster dewasa layak ekspor sesuai aturan Permen KP Nomor 56/2016 dan tidak menangkap indukannya. Terbukti sepanjang 2016-2018 nilai ekspor Indonesia mampu menyalip Vietnam.
Jangka panjangnya, pemerintah mesti mengembangkan teknologi pembenihan (hatchery) berkolaborasi perguruan tinggi dan lembaga riset dalam maupun luar negeri. Memang butuh waktu dan riset yang tekun. Bila sukses pembenihan pemerintah boleh mengekspor BBL tanpa pembatasan. Dampaknya, tercipta lapangan kerja dan sumber pendapatan baru bagi nelayan dan pembudidaya lobster. BBL alam pun tetap aman menjalani rantai siklus hidupnya secara berkelanjutan. Begini mestinya kebijakan memihak serta menyejahterahkan nelayan dan pembudidaya. Bila teknologinya sudah familiar, bakal menarik kaum milenial berbisnis pembenihan BBL sebagai wujud technosociopreneur. Pengalaman keberhasilan teknologi pembenihan ikan patin yang familiar sejak paruh 1990-an, membuat siapapun dapat mengaplikasikannya dalam skala rumah tangga maupun industri. Suksesnya pembenihan mesti dibarengi juga pemulihan stok sumberdaya lobster di alam atau restocking benih dari hatchery. Supaya tercipta keseimbangan antara pemanfaatan dengan pengelolaan lobster secara berkelanjutan lobster di alam. Makanya menyetop ekspor BBL jadi keniscayaan.
Bagaimana konstelasi perdagangan lobster dewasa Indonesia dibandingkan Vietnam? Sepanjang 2010-2015, ekspor Indonesia selalu di bawah Vietnam. Baru tahun 2016-2018 Indonesia menyalip Vietnam. Apa maknanya? Kebijakan Permen KP Nomor 56/2016 yang melarang ekspor BBL efektif mengerem hegemoni Vietnam yang ekspor lobsternya bergantung hasil budidaya yang benihnya diimpor dari Indonesia. Jika, sepanjang 2010-2015 nilai ekspor Vietnam USD 55,83 juta lebih besar dibandingkan Indonesia USD 53,65 juta, Masuk periode 2016-2018 ekspor Indonesia senilai 60,61 juta melampaui Vietnam USD19,50 juta (Trademap, 2020). Semua ekspor lobster Indonesia (96,91%) bersumber dari tangkapan dan sisanya budidaya 3,09% (FAO, 2018).
Memang permintaan impor lobster dunia ke dari China melonjak drastis setiap tahunnya terutama jelang perayaan Imlek. Vietnam amat paham soal itu. Makanya, sejak Maret 2020 ia mengenjot budidayanya supaya jelang perayaan Imlek tahun 2021 sudah mencapai umur panen delapan bulan. Makanya, terbukti hingga Juli 2020 99,9% ekspor BBL dari Indonesia masuk Vietnam. Pertanyaannya, mengapa bukan Indonesia yang memasok pasar China berbasiskan budidaya perikanan lobster yang disokong pengembangan teknologi budidaya dan sumberdaya manusianya? Lantas dimana letak keberpihakan negara lewat Permen KP Nomor 12/2020?
Kebijakan
Menghentikan kebijakan ekspor BBL, bukan berarti sektor perikanan Indonesia kiamat. Di tengah Covid-19 ini budidaya lobster mestinya jadi sumber lapangan kerja baru dan mata pencaharian nelayan. Jangka pendek: Pertama, nelayan tradisional penangkap BBL bisa saja menangkapnya dengan syarat ukuran tertentu. Mereka menggunakan alat tangkap ramah lingkungan sehingga mengurangi potensi sampah. Tujuannya memasok pembudidaya/pembesaran keramba jaring apung (KJA) domestik, bukan diekspor. Akibat kebijakan ekspor BBL, pembudidaya mulai kesulitan memperoleh benih. Soalnya eksportir telah memborongnya dari nelayan. Pasokannya pun kian sulit dan harganya selangit tingkat lokal. Pembudidaya terancam gulung tikar. Bukankah kondisi ini mengisyaratkan Permen KP Nomor 12/2020 jauh panggang dari api keberpihakan terhadap pembudidaya domestik? Terlalu absurd menganggapnya sebagai kebijakan pengelolaan.
Kedua, pemerintah mestinya mendorong pembudidaya membesarkan lobster lalu diekspor ke negara tujuan dengan permintaan tinggi. Caranya memfasilitasi pengembangan teknologi budidaya dan kapasitas sumberdaya manusianya. Tak perlu beretorika, Vietnam teknologinya sudah maju hingga kita mengambil jalan pintas lewat ekspor BBL negara itu. Ketiga, membolehkan penangkapan lobster dewasa layak ekspor sesuai aturan Permen KP Nomor 56/2016 dan tidak menangkap indukannya. Terbukti sepanjang 2016-2018 nilai ekspor Indonesia mampu menyalip Vietnam.
Jangka panjangnya, pemerintah mesti mengembangkan teknologi pembenihan (hatchery) berkolaborasi perguruan tinggi dan lembaga riset dalam maupun luar negeri. Memang butuh waktu dan riset yang tekun. Bila sukses pembenihan pemerintah boleh mengekspor BBL tanpa pembatasan. Dampaknya, tercipta lapangan kerja dan sumber pendapatan baru bagi nelayan dan pembudidaya lobster. BBL alam pun tetap aman menjalani rantai siklus hidupnya secara berkelanjutan. Begini mestinya kebijakan memihak serta menyejahterahkan nelayan dan pembudidaya. Bila teknologinya sudah familiar, bakal menarik kaum milenial berbisnis pembenihan BBL sebagai wujud technosociopreneur. Pengalaman keberhasilan teknologi pembenihan ikan patin yang familiar sejak paruh 1990-an, membuat siapapun dapat mengaplikasikannya dalam skala rumah tangga maupun industri. Suksesnya pembenihan mesti dibarengi juga pemulihan stok sumberdaya lobster di alam atau restocking benih dari hatchery. Supaya tercipta keseimbangan antara pemanfaatan dengan pengelolaan lobster secara berkelanjutan lobster di alam. Makanya menyetop ekspor BBL jadi keniscayaan.
(ras)
tulis komentar anda