Stop Ekspor Benih Lobster
Sabtu, 22 Agustus 2020 - 16:38 WIB
Muhamad Karim
Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim, Dosen Universitas Trilogi Jakarta
LAPORAN Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru yang mencatat kenaikan fantastis ekspor benih lobster hingga 3.148,99% senilai USD3,67 juta Juli 2020 jadi lampu merah bagi keberlanjutan sumberdaya tersebut. Menariknya lagi 99,9% tujuan ekspornya Vietnam. Sebelumnya, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, dan Mantan Menteri Lingkungan Hidup Prof. Emil Salim meminta pemerintah menghentikan kebijakan ekspor benih bening lobster (BBL) dengan mencabut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 12/2020. Sikap PBNU, Muhamadiyah, dan Emil Salim tak datang begitu saja. PBNU melalui forum Batsul Masail dan Muhammadiyah menyikapinya lewat kajian ahli perikanan dan fiqih Agama Islam yang kompeten. KKP ternyata tak menggubris sikap kedua ormas Islam ini. Malah ekspor BBL ke Vietnam semakin menjadi gila-gilaan. Apakah kondisi ini tak berpotensi menimbulkan eksploitasi berlebihan BBL di perairan Indonesia yang berujung ancaman kepunahan? Bukankah fenomena ini kian membesarkan Vietnam sebagai negara pembudidaya lobster terbesar dunia dan melemahkan daya saing Indonesia?
Potensi
Laporan FAO (2020) mencatat bahwa dari 10 negara utama produsen lobster dewasa di dunia baik dari tangkapan maupun budidaya memosisikan Indonesia di peringkat 7 dengan kapasitas produksinya 7.490 ton per tahun. Kanada di peringkat pertama dengan produksi 97.381 ton disusul Amerika Serikat 65.506 ton. Produksi lobster dunia dari tangkapan di laut memosisikan Kanada di urutan pertama 97.381 ton, sedangkan Indonesia di urutan kedelapan 6.934 ton. Ironisnya, sepuluh negara utama produksi lobster budidaya dunia menempatkan Vietnam di peringkat pertama 1.100 ton dan Indonesia 556 ton. Masalahnya, mengapa BBL diekspor ke Vietnam yang jadi pesaing kita di dunia? Lalu mengapa Indonesia tak memprioritaskan budidaya lobster domestiknya agar mampu menyalip Vietnam?
Mesti dicamkan, status lobster di 11 wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) ternyata mengalami tangkap lebih (over exploited) dan tangkap penuh (full exploited). Total potensi lestarinya 11.158 ton dan jumlah tangkapan diperbolehkan (JTB) 8.927 ton per tahun. Wilayah tangkap lebih yaitu Selat Malaka dan Laut Andaman (571), Laut Jawa (712), Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali (713), Teluk Tolo dan Laut Banda (714), Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram dan Teluk Berau (715) dan Teluk Cendrawasih dan Samudera Pasifik (717). Wilayah tangkap penuh yaitu Samudera Hindia sebelah barat dan Selat Sunda (572), Samudera Hindia selatan Jawa hingga selatan Nusa Tenggara, laut Sawu dan Laut Timor bagian Barat (573), Selat Karimata, laut Natuna dan Laut China Selatan (711), Laut Sulawesi dan sebelah utara Pulau Halmahera (716) dan Laut Aru, Laut Arafura dan Laut Timor bagian Timur (718) (KKP, 2017).
Ironisnya, lewat Permen KP Nomor 12/2020, pemerintah malah menetapkan kuota BBL di 11 WPPNRI itu sebesar 139.475.000 ekor. Di wilayah tangkap lebih kuotanya 65,037,500 ekor, dan tangkap penuh 74,437,500 ekor yang ditetapkan lewat Keputusan Dirjen Tangkap KKP Nomor 51/2020. Merujuk PP Nomor 75/2015 menetapkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) buat BBL yang masuk kategori crustacea Rp250/1000 ekor. Bila menghitung kuota BBL di WPPNRI, negara hanya memperoleh PNBP Rp34,868,750. Bukankah eksportir yang meraup keuntungan berbasis kuota ini? Merujuk harga rata-rata eksportir BBL ke Vietnam sebesar USD13, eksportir meraup keuntungan kotor USD1,8 miliar. Diasumsikan harga rata-rata di tingkat petani USD0,95, selisihnya jadi USD12,05. Imbasnya, eksportir bakal meraup keuntungan bersih USD1,68 miliar (Petersen et al, 2015). Bukankah ini jomblang ketimbang PNBP yang diterima negara? Dimana letak kebijakan semacam ini berorientasi “pengelolaan” dan menyejahterakan nelayan? Bukankah penetapan kuota malah berorientasi eksploitatif sembari menghancurkan siklus hidup lobster? Kapan lobster berkembang biak dan menjamin keberlanjutan siklus hidupnya dalam rantai makanan di alam (MacArthur et al, 2007)? Bukankan kebijakan ini sejatinya berorientasi perburuan rente dan bisnis an sich yang mengabaikan keberlanjutan sumberdaya?
Peta Perdagangan
Bisnis perdagangan internasional lobster dewasa sepanjang 2001-2019 -non BBL- sungguh menggiurkan. Permintaan ekspor lobster dunia tumbuh rata-rata 5,34% per tahun. Jika, tahun 2001 nilai ekspor dunia USD1,96 miliar, tahun 2019 melonjak dua kali lipat hingga USD4,73 miliar. Negara eksportir utama lobster dunia tahun 2019 yaitu Kanada, Amerika Serikat, dan Australia. Ketiganya menguasai share ekspor dunia hingga 66,20%. Posisi Indonesia dan Vietnam hanya bertengger di posisi ke 19 dan 20 dunia dengan share ekspornya 0,68% dan 0,50%. Vietnam yang mengimpor BBL dari Indonesia pernah masuk empat besar dunia tahun 2001 dengan share ekspornya 8,78%. Sesudahnya, tidak lagi masuk 10 besar dunia. Mirisnya, lagi Indonesia sejak tahun 2001 belum pernah masuk 10 besar eksportir lobster dunia (Trademap, 2020). Permasalahannya, bisnis lobster Indonesia sebagian besar tak dilaporkan (unreported), utamanya BBL karena tindakan selundupan. Sepanjang 2015-2019 pemerintah sukses menggagalkan selundupan BBL 8.576.783 ekor senilai Rp8,18 triliun (KKP, 2019) akibat pemberantasan kejahatan perikanan.
Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim, Dosen Universitas Trilogi Jakarta
LAPORAN Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru yang mencatat kenaikan fantastis ekspor benih lobster hingga 3.148,99% senilai USD3,67 juta Juli 2020 jadi lampu merah bagi keberlanjutan sumberdaya tersebut. Menariknya lagi 99,9% tujuan ekspornya Vietnam. Sebelumnya, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, dan Mantan Menteri Lingkungan Hidup Prof. Emil Salim meminta pemerintah menghentikan kebijakan ekspor benih bening lobster (BBL) dengan mencabut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 12/2020. Sikap PBNU, Muhamadiyah, dan Emil Salim tak datang begitu saja. PBNU melalui forum Batsul Masail dan Muhammadiyah menyikapinya lewat kajian ahli perikanan dan fiqih Agama Islam yang kompeten. KKP ternyata tak menggubris sikap kedua ormas Islam ini. Malah ekspor BBL ke Vietnam semakin menjadi gila-gilaan. Apakah kondisi ini tak berpotensi menimbulkan eksploitasi berlebihan BBL di perairan Indonesia yang berujung ancaman kepunahan? Bukankah fenomena ini kian membesarkan Vietnam sebagai negara pembudidaya lobster terbesar dunia dan melemahkan daya saing Indonesia?
Potensi
Laporan FAO (2020) mencatat bahwa dari 10 negara utama produsen lobster dewasa di dunia baik dari tangkapan maupun budidaya memosisikan Indonesia di peringkat 7 dengan kapasitas produksinya 7.490 ton per tahun. Kanada di peringkat pertama dengan produksi 97.381 ton disusul Amerika Serikat 65.506 ton. Produksi lobster dunia dari tangkapan di laut memosisikan Kanada di urutan pertama 97.381 ton, sedangkan Indonesia di urutan kedelapan 6.934 ton. Ironisnya, sepuluh negara utama produksi lobster budidaya dunia menempatkan Vietnam di peringkat pertama 1.100 ton dan Indonesia 556 ton. Masalahnya, mengapa BBL diekspor ke Vietnam yang jadi pesaing kita di dunia? Lalu mengapa Indonesia tak memprioritaskan budidaya lobster domestiknya agar mampu menyalip Vietnam?
Mesti dicamkan, status lobster di 11 wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) ternyata mengalami tangkap lebih (over exploited) dan tangkap penuh (full exploited). Total potensi lestarinya 11.158 ton dan jumlah tangkapan diperbolehkan (JTB) 8.927 ton per tahun. Wilayah tangkap lebih yaitu Selat Malaka dan Laut Andaman (571), Laut Jawa (712), Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali (713), Teluk Tolo dan Laut Banda (714), Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram dan Teluk Berau (715) dan Teluk Cendrawasih dan Samudera Pasifik (717). Wilayah tangkap penuh yaitu Samudera Hindia sebelah barat dan Selat Sunda (572), Samudera Hindia selatan Jawa hingga selatan Nusa Tenggara, laut Sawu dan Laut Timor bagian Barat (573), Selat Karimata, laut Natuna dan Laut China Selatan (711), Laut Sulawesi dan sebelah utara Pulau Halmahera (716) dan Laut Aru, Laut Arafura dan Laut Timor bagian Timur (718) (KKP, 2017).
Ironisnya, lewat Permen KP Nomor 12/2020, pemerintah malah menetapkan kuota BBL di 11 WPPNRI itu sebesar 139.475.000 ekor. Di wilayah tangkap lebih kuotanya 65,037,500 ekor, dan tangkap penuh 74,437,500 ekor yang ditetapkan lewat Keputusan Dirjen Tangkap KKP Nomor 51/2020. Merujuk PP Nomor 75/2015 menetapkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) buat BBL yang masuk kategori crustacea Rp250/1000 ekor. Bila menghitung kuota BBL di WPPNRI, negara hanya memperoleh PNBP Rp34,868,750. Bukankah eksportir yang meraup keuntungan berbasis kuota ini? Merujuk harga rata-rata eksportir BBL ke Vietnam sebesar USD13, eksportir meraup keuntungan kotor USD1,8 miliar. Diasumsikan harga rata-rata di tingkat petani USD0,95, selisihnya jadi USD12,05. Imbasnya, eksportir bakal meraup keuntungan bersih USD1,68 miliar (Petersen et al, 2015). Bukankah ini jomblang ketimbang PNBP yang diterima negara? Dimana letak kebijakan semacam ini berorientasi “pengelolaan” dan menyejahterakan nelayan? Bukankah penetapan kuota malah berorientasi eksploitatif sembari menghancurkan siklus hidup lobster? Kapan lobster berkembang biak dan menjamin keberlanjutan siklus hidupnya dalam rantai makanan di alam (MacArthur et al, 2007)? Bukankan kebijakan ini sejatinya berorientasi perburuan rente dan bisnis an sich yang mengabaikan keberlanjutan sumberdaya?
Peta Perdagangan
Bisnis perdagangan internasional lobster dewasa sepanjang 2001-2019 -non BBL- sungguh menggiurkan. Permintaan ekspor lobster dunia tumbuh rata-rata 5,34% per tahun. Jika, tahun 2001 nilai ekspor dunia USD1,96 miliar, tahun 2019 melonjak dua kali lipat hingga USD4,73 miliar. Negara eksportir utama lobster dunia tahun 2019 yaitu Kanada, Amerika Serikat, dan Australia. Ketiganya menguasai share ekspor dunia hingga 66,20%. Posisi Indonesia dan Vietnam hanya bertengger di posisi ke 19 dan 20 dunia dengan share ekspornya 0,68% dan 0,50%. Vietnam yang mengimpor BBL dari Indonesia pernah masuk empat besar dunia tahun 2001 dengan share ekspornya 8,78%. Sesudahnya, tidak lagi masuk 10 besar dunia. Mirisnya, lagi Indonesia sejak tahun 2001 belum pernah masuk 10 besar eksportir lobster dunia (Trademap, 2020). Permasalahannya, bisnis lobster Indonesia sebagian besar tak dilaporkan (unreported), utamanya BBL karena tindakan selundupan. Sepanjang 2015-2019 pemerintah sukses menggagalkan selundupan BBL 8.576.783 ekor senilai Rp8,18 triliun (KKP, 2019) akibat pemberantasan kejahatan perikanan.
Lihat Juga :
tulis komentar anda