Memerdekakan Petani Sawit
Sabtu, 22 Agustus 2020 - 15:19 WIB
Selanjutnya, pemerintah juga menerbitkan Perpres 88/2017. Karakter instrumen hukum ini lebih soft ketimbang UU 18/2013. Perpres ini berupaya mengakomodasi kebutuhan rakyat yang menawarkan pola penyelesaian pelepasan kawasan hutan, tukar menukar kawasan hutan, perhutanan sosial, dan resetlement.
Hanya saja, pola penyelesaian yang ditawarkan Perpres 88/2017 adalah pola berbiaya mahal. Sebab, untuk tukar-menukar kawasan hutan dan pelepasan kawasan hutan, pelaku usaha harus menempuh jalan penyelesaian secara mandiri dan menempuh jalur birokrasi yang panjang dan rumit. Selain itu, pola penyelesaian ini tidak bisa diakses oleh petani sawit rakyat karena lahan sawit tidak masuk dalam definisi 'lahan garapan'.
Langkah penyelesaian moderat ditawarkan oleh PermenLHK P.83/2016. Instrumen ini menawarkan akses legal kepada masyarakat berupa pengelolaan hutan negara. Tetapi PermenLHK ini justru melarang secara tegas kepada pemegang izin perhutanan sosial menanam kelapa sawit di areal hak atau izinnya.
Meskipun PermenLHK P.83 memasukkan "pasal keterlanjuran" (Pasal 65 huruf h) yang memperbolehkan tanaman sawit selama 12 tahun sejak masa tanam dan diantara tanaman sawit tersebut harus ditanam pohon berkayu paling sedikit 100 pohon hektare, tetapi pasal ini juga tidak memberikan ruang bagi tanaman sawit untuk bertahan lebih dari 12 tahun sejak masa tanam.
Konsekuensinya adalah tanaman sawit tersebut dikategorikan sebagai sawit ilegal. Padahal, untuk dapat memproduksi tandan buah segar sawit dibutuhkan waktu lebih dari itu.
Jalan Tengah
Masalah penyelesaian sawit dalam kawasan hutan bagi petani dapat digambarkan seperti "ayam mati di lumbung padi". Luas hutan Indonesia yang mencapai 50,1 persen dari total daratan Indonesia (Dirjen PKTL KLHK, 2019) justru belum bisa memberikan kehidupan yang layak bagi petaninya. Terutama masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada hutan.
Pemerintah sebaiknya perlu mempercepat langkah penyelesaian masalah sawit rakyat dalam kawasan hutan. Masalah ini telah mengendap sangat lama dan telah menghasilkan berbagai permasalahan yang menghasilkan efek serius, yakni marginalisasi bagi petani sawit rakyat. Akibatnya, terjadi konflik tenurial yang berkepanjangan; harga tandan buah segar semakin tidak menentu; dan yang paling parah adalah petani sawit rakyat justru akan dijustifikasi sebagai parasit dalam pengelolaan hutan negara.
Amanat konstitusi UUD 1945, Pasal 33, jelas memerintahkan kepada negara untuk mengelola bumi, air, dan kekayaan yang ada didalamnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Untuk memerdekakan petani sawit, negara khususnya pemerintah harus mengambil jalan tengah yang mengedepankan aspek lingkungan, sosial-budaya, ekonomi, dan hukum dalam pengelolaan sawit rakyat.
Jalan tengah itu, misalnya, pertama, Mahkamah Agung, selaku lembaga kekuasaan kehakiman (yudikatif), perlu memberikan fatwa atas norma "lahan garapan" dalam Pasal 5 Ayat (1) Perpres 88/2017 dengan memasukkan lahan sawit sebagai bagian didalamnya.
Hanya saja, pola penyelesaian yang ditawarkan Perpres 88/2017 adalah pola berbiaya mahal. Sebab, untuk tukar-menukar kawasan hutan dan pelepasan kawasan hutan, pelaku usaha harus menempuh jalan penyelesaian secara mandiri dan menempuh jalur birokrasi yang panjang dan rumit. Selain itu, pola penyelesaian ini tidak bisa diakses oleh petani sawit rakyat karena lahan sawit tidak masuk dalam definisi 'lahan garapan'.
Langkah penyelesaian moderat ditawarkan oleh PermenLHK P.83/2016. Instrumen ini menawarkan akses legal kepada masyarakat berupa pengelolaan hutan negara. Tetapi PermenLHK ini justru melarang secara tegas kepada pemegang izin perhutanan sosial menanam kelapa sawit di areal hak atau izinnya.
Meskipun PermenLHK P.83 memasukkan "pasal keterlanjuran" (Pasal 65 huruf h) yang memperbolehkan tanaman sawit selama 12 tahun sejak masa tanam dan diantara tanaman sawit tersebut harus ditanam pohon berkayu paling sedikit 100 pohon hektare, tetapi pasal ini juga tidak memberikan ruang bagi tanaman sawit untuk bertahan lebih dari 12 tahun sejak masa tanam.
Konsekuensinya adalah tanaman sawit tersebut dikategorikan sebagai sawit ilegal. Padahal, untuk dapat memproduksi tandan buah segar sawit dibutuhkan waktu lebih dari itu.
Jalan Tengah
Masalah penyelesaian sawit dalam kawasan hutan bagi petani dapat digambarkan seperti "ayam mati di lumbung padi". Luas hutan Indonesia yang mencapai 50,1 persen dari total daratan Indonesia (Dirjen PKTL KLHK, 2019) justru belum bisa memberikan kehidupan yang layak bagi petaninya. Terutama masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada hutan.
Pemerintah sebaiknya perlu mempercepat langkah penyelesaian masalah sawit rakyat dalam kawasan hutan. Masalah ini telah mengendap sangat lama dan telah menghasilkan berbagai permasalahan yang menghasilkan efek serius, yakni marginalisasi bagi petani sawit rakyat. Akibatnya, terjadi konflik tenurial yang berkepanjangan; harga tandan buah segar semakin tidak menentu; dan yang paling parah adalah petani sawit rakyat justru akan dijustifikasi sebagai parasit dalam pengelolaan hutan negara.
Amanat konstitusi UUD 1945, Pasal 33, jelas memerintahkan kepada negara untuk mengelola bumi, air, dan kekayaan yang ada didalamnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Untuk memerdekakan petani sawit, negara khususnya pemerintah harus mengambil jalan tengah yang mengedepankan aspek lingkungan, sosial-budaya, ekonomi, dan hukum dalam pengelolaan sawit rakyat.
Jalan tengah itu, misalnya, pertama, Mahkamah Agung, selaku lembaga kekuasaan kehakiman (yudikatif), perlu memberikan fatwa atas norma "lahan garapan" dalam Pasal 5 Ayat (1) Perpres 88/2017 dengan memasukkan lahan sawit sebagai bagian didalamnya.
tulis komentar anda