Pesantren dalam Perspektif Teori Enviromentalisme dan Nativisme
Jum'at, 21 Juni 2024 - 15:16 WIB
Namun begitu, Imam Syafi’i pun dalam teori tersebut menyebutkan ada kondisi-kondisi “rekayasa lingkungan” yang mampu menjadikan seorang anak menjadi cerdas dan sukses dengan bermodalkan ilmu yang dimiliki. “Rekayasa lingkungan” disini dapat dilihat dari factor semangat juang, kesungguhan, modal/materi, pendampingan oleh guru serta dibutuhkannya waktu dalam proses belajar. Dasar yang melandasi argumentasi di atas adalah bahwa dalam konsep pendidikan Islam segala sesuatu yang ada terwujud melalui proses penciptaan (creation ex nihilo) dan tidak terjadi dengan sendirinya. Konsep ini dapat juga dikategorikan sebagai antroporeligiocentris dimana tujuan pendidikan diarahkan kepada pelaksanaan pendidikan. (Thoha:1996,286).
Senada dengan pandangan Imam Syafi’i, tokoh Barat pun seperti John Locke pun berpandangan bahwa setiap individu anak manusia telah dikarunia sifat atau temperamen yang berbeda, dan factor lingkunganlah yang dapat membentuk jiwa individu-individu tersebut yang semula berbeda menjadi relative sama sesuai yang telah direncanakan oleh lembaga pendidikan. (Crain:2007,6).Terlebih lagi, manakala rekayasa lingkungan tersebut diperuntukan bagi anak-anak, maka akan lebih mudah untuk mengarahkannya melalui proses asosiasi, repitisi, imitasi, reward dan punishment.
David Hume dengan teori Bundle of Mind nya menyatakan bahwa pikiran yang dimiliki oleh setiap anak merupakan sekumpulan persepsi yang berbeda dan berevolusi terus menerus (Sobur:2003,94. Sebuah pikiran memiliki ciri yang melekat, yakni adanya kesamaan persepsi, kedekatan pengalaman waktu maupun tempat, keteraturan antar persepsi hingga adanya kenangan. Keberadaan seorang anak di dalam pesantren yang telah dilakukan rekayasa lingkungan sedemikian rupa akan memberikan stimulus terhadap anak (santri pesantren) yang pada akhirnya “bi’ah” (lingkungan) tersebut memunculkan sebuah perilaku refleks. (Skinner:2005,82).
Pada titik akhir dari diskursus perdebatan antara teori Enviromentalisme (Nurture) dengan teori Nativisme (Nature) dalam kaitannya dengan keberhasilan proses pembelajaran anak di lembaga pesantren akan ditentukan secara berimbang proporsional diantara kedua teori tersebut. Akan cukup sulit untuk dinyatakan bahwa teori Enviromentalisme (Nurture) lebih tepat dibandingkan dengan teori Nativisme (Nature) atau sebaliknya. Meskipun demikian, dapatlah dikatakan bahwa factor “Bi’ah” (lingkungan) sangat penting seperti halnya kecerdasan juga sanat penting. Pandangan Islam dan Barat dalam diskurus ini sesungguhnya tidak sampai memunculkan “jurang pemisah” yang tajam diantara kedua pendudkung teori tersebut.
Daftar Pustaka
Al Furqan, 2015. Konsep Pendidikan Islam Pondok Pesantren dan Upaya Pembenahannya, Padang :UNP Press.
Arifin, Muzayyin, 2005. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara.
Azra, Azyumardi, 1999. Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru ,Jakarta: Logos.
Chomsky, Naomi, 1965. Aspects of the theory of syntax. Cambridge, MA: MIT Press.
Senada dengan pandangan Imam Syafi’i, tokoh Barat pun seperti John Locke pun berpandangan bahwa setiap individu anak manusia telah dikarunia sifat atau temperamen yang berbeda, dan factor lingkunganlah yang dapat membentuk jiwa individu-individu tersebut yang semula berbeda menjadi relative sama sesuai yang telah direncanakan oleh lembaga pendidikan. (Crain:2007,6).Terlebih lagi, manakala rekayasa lingkungan tersebut diperuntukan bagi anak-anak, maka akan lebih mudah untuk mengarahkannya melalui proses asosiasi, repitisi, imitasi, reward dan punishment.
David Hume dengan teori Bundle of Mind nya menyatakan bahwa pikiran yang dimiliki oleh setiap anak merupakan sekumpulan persepsi yang berbeda dan berevolusi terus menerus (Sobur:2003,94. Sebuah pikiran memiliki ciri yang melekat, yakni adanya kesamaan persepsi, kedekatan pengalaman waktu maupun tempat, keteraturan antar persepsi hingga adanya kenangan. Keberadaan seorang anak di dalam pesantren yang telah dilakukan rekayasa lingkungan sedemikian rupa akan memberikan stimulus terhadap anak (santri pesantren) yang pada akhirnya “bi’ah” (lingkungan) tersebut memunculkan sebuah perilaku refleks. (Skinner:2005,82).
Pada titik akhir dari diskursus perdebatan antara teori Enviromentalisme (Nurture) dengan teori Nativisme (Nature) dalam kaitannya dengan keberhasilan proses pembelajaran anak di lembaga pesantren akan ditentukan secara berimbang proporsional diantara kedua teori tersebut. Akan cukup sulit untuk dinyatakan bahwa teori Enviromentalisme (Nurture) lebih tepat dibandingkan dengan teori Nativisme (Nature) atau sebaliknya. Meskipun demikian, dapatlah dikatakan bahwa factor “Bi’ah” (lingkungan) sangat penting seperti halnya kecerdasan juga sanat penting. Pandangan Islam dan Barat dalam diskurus ini sesungguhnya tidak sampai memunculkan “jurang pemisah” yang tajam diantara kedua pendudkung teori tersebut.
Kesimpulan
Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang menampung peserta didik, mulai dari tingkatan usia dini, dasar, menengah, hingga perguruan tinggi, sejak awal didirikan memang telah mempersiapkan sebuah 'Bi’ah' (lingkungan) baru. Lingkungan yang diyakini akan mampu merubah laju proses pembelajaran seorang anak, meskipun secara 'lahiriah' anak tersebut tidak memiliki modal kecerdasan. Meskipun lingkungan berpengaruh, namun tidak dapat dikatakan sebagai faktor tunggal dalam keberhasilan proses pembelajaran. Aspek 'bawaan' lahir berupa kecerdasan otak juga memberikan pengaruh signifikan dalam memperlancar proses pembelajaran. Oleh karenanya, antara teori Enviromentalisme (Nurture) dan Nativisme (Nature) sesungguhnya dapat saling melengkapi dan mendukung proses pembelajaran setiap anak. Pandangan Islam yang diwakili oleh Imam Syafi'i maupun pandangan Barat yang diwakili oleh Locke dan Chomsky sesungguhnya terdapat keterkaitan yang kuat. Kecerdasan otak tanpa adanya lingkungan belajar yang baik tidak akan mendapatkan hasil yang maksimal, begitunpun sebaliknya.Daftar Pustaka
Al Furqan, 2015. Konsep Pendidikan Islam Pondok Pesantren dan Upaya Pembenahannya, Padang :UNP Press.Arifin, Muzayyin, 2005. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara.
Azra, Azyumardi, 1999. Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru ,Jakarta: Logos.
Chomsky, Naomi, 1965. Aspects of the theory of syntax. Cambridge, MA: MIT Press.
tulis komentar anda