Pesantren dalam Perspektif Teori Enviromentalisme dan Nativisme

Jum'at, 21 Juni 2024 - 15:16 WIB
Enviromentalisme dan Nativisme menjadi dua teori atau sudut pandang yang saling bertolak belakang terkait dengan tatacara mendidik anak. Faktor lingkungan atau justru faktor bawaan sejak lahirlah yang sesungguhnya menjadikan seorang anak menjadi berhasil dan sukses sesuai harapan dari orang tua. Kedua teori ini masing-masing memiliki argumentasi yang kuat sehingga membuat perdebatan akademis hingga empiris disajikan berdasarkan sesuatu yang nyata dan tidak lagi sebatas teori belaka.

Pesantren sebagai Pilihan

Pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan yang memiliki kekhasan dalam proses belajar mengajarnya, seringkali dipahami oleh sebagian masyarakat sebagai tempat untuk 'mencetak' manusia yang baru serta berbeda dengan wujud sebelumnya. Anggapan umum yang terbentuk sejak lama ini disebabkan oleh karena di pesantren akan dihadirkan suasana lingkungan baru yang belum pernah dialami oleh para peserta didik.

Pesantren dari masa ke masa terus dapat mempertahankan eksistensinya bahkan terus berkembang dikarenakan kemampuan untuk melakukan proses adjustment dan readjustment terhadap persoalan di masyarakat khususnya terkait pendidikan. Pesantren juga tidak hanya identik dengan ajaran serta nilai keislaman, namun lebih dari itu, sebagai representasi makna keaslian Indonesia (indegenous) yang mengalami perkembangan berdasarkan pengalaman sosiologis di masyarakat di lingkungannya.(Azra:1999,108). Dalam pemahaman yang lain dinyatakan juga bahwa pesantren tidak hanya melakukan transfer ilmu pengetahuan tentang Islam (Islamic knowledge) dalam ranah kognitif, namun juga adanya pembinaan mental (ranah afektif) hingga memunculkan serta meningkatkan kemandirian pada setiap santri (ranah psikomotorik).

Berdasarkan klasifikasinya, ada beberapa macam pesantren di Indonesia.Pertama, pesantren salaf yang hanya mengajarkan kitab turats tanpa adanya pengajaran klasikal (madrasah). Kedua, pesantren salaf yang mengkombinasikan antara kitab turats dengan pendidikan klasikal (madrasah) namun masih didominasi pendidikan berbasis turats. Ketiga, pesantren semi modern, yaitu pesantren yang telah mengembangkan pendidikan berbasis klasikal (madrasah) namun tetap mengkaji kitab turats. Keempat, pesantren khalaf (modern), yaitu pesantren yang menyelenggaarkan pendidikan umum klasikal akan tetapi kajian kitab turats pun tetap dipedomani namun dengan pendekatan yang lebih klasikal. Kelima, pesantren khalaf (modern) yang ideal dimana tidak hanya mempelajari kitab turats dan pendidikan klasikal, namun juga telah menyertakan pengajaran lifeskill bagi para santrinya, seperti keterampialn di bidang IT, agrobisnis dan lainnya.(Nasir:2005,89).

Selain daripada klasifikasi di atas, masih ada penggolongan pesantren lainnya, yang lebih melihat terhadap model bangunan pesantren di masa modern ini yang telah berubah jauh jika dibandingkan dengan kondisi pesantren klasik. Manfred Ziemek telah membedakannya menjadi pesantren tipe A,B,C,D,E, dan F.(Ziemek:1986). Tipe A adalah untuk pesantren yang masih sangat berpegang pada prinsip serta nilai tradisional dan tidak melakukan transformasi serta inovasi dalam system pendidikannya. Tipe B adalah pesantren yang masih berpegang teguh pada nilai tradisional namun telah mulai melakukan transformasi dan inovasi dalam system pendidikannya meskipun belum signifikan. Tipe C adalah pesantren yang telah melakuakn transformasi seta inovasi dalam system pendidikannya dimana tidak lagi hanya berkutat di pesantren, namun sudah ada lembaga pendidikan formal dalam bentuk madrasah. Tipe D adalah bentuk peningkatan dari tipe sebelumnya, dimana lembaga pendidikan yang sudah ada diisi juga dengan materi keterampilan yang akan menjadi bekal hidup bagi para santri. Pada tipe D ini, keberadaan santri yang masih dibawah umur dapat terakomodir dengan adanya lembaga pendidikan anak usia dini. Adapun tipe E adalah sebuah pesantren yang memiliki kelengkapan lembaga pendidikan formal mulai dari tingkatan anak usia dini hingga perguruan tinggi.

Adanya berbagai bentuk maupun klasifikasi pesantren, apabila berbicara tujuan pendidikan pesantren sesungguhnya sama dengan tujuan pendidikan dalam ajaran Islam, yakni untuk mewujudkan idealitas Islami yang diwujudkan melalui perilaku setiap manusia.(Muzayyin:2005,8). Pada hakikatnya manusia memiliki potensi untuk dapat dididik dan bahkan mendidik (Homo Educandum). Potensi tersebut akan menjadi maksimal ketika terjadinya “pertemuan” yang tepat antara manusia yang dididik dan manusia yang mendidik. Pesantren menjadi tempat dimana pertemuan itu terjadi.(Al Furqan:2015,4). Berbagai karakter anak didik diarahkan untuk mengerti serta menyesuaikan dengan lingkungan yang telah terlebih dahulu dipersiapkan/direkayasa oleh pesantren tersebut.

Dalam menjawab seberapa besar peranan pesantren dalam mendidik anak, menjadi penting jika kita dapat menggabungkan dua sudut pandang yang masing-masing berbeda ke dalam satu spektrum pembahasan. Teori Enviromentalisme (Nurture) dan Nativisme (Nature) sama-sama memiliki argumentasi yang kuat dalam upaya untuk mempertahankan teorinya sehingga dapat terus berkembang dan diterima oleh masyarakat. Bagi anak yang belajar di pesantren, maka kedua teori tersebut akan sangat penting dalam upaya untuk tetap memelihara asa atau bahkan untuk memunculkan asa dalam proses pembelajaran. Asa yang tidak hanya ada di dalam benak setiap anak, namun juga asa yang dimiliki oleh orang tua.

Adanya dua kutub sudut pandang yang bertolak belakang dalam melihat proses pembelajaran seorang anak, tentunya membuat tingkat probabilitas anak dalam mengejar kesuksesannya semakin terbuka lebar. Terbukanya kesempatan untuk menjadi berhasi dapat disebabkan oleh sesuatu yang 'bukan bawaan lahir' atau justru bersumber dari 'bawaan lahir'. Kecerdasan yang didapat sejak lahir merupakan suatu anugerah dari Allah SWT untuk sebagian anak, sesungguhnya tidak melenceng dari teori yang dikemukakan oleh para ahli agama, antara lain Imam Syafi’i yang menyebutkan bahwa syarat mendapatkan ilmu ada 6 hal, yakni kecerdasan, semangat juang, kesungguhan, memiliki modal materi untuk belajar, didampingi guru, dan butuh waktu. (https://mui.or.id/hikmah.) Salah satu syarat mendapatkan ilmu adalah kecerdasan, dimana hal tersebut seringkali diidentikan dengan kecerdasan sejak lahir yang dideteksi melalui mekanisme test IQ (intelegent quotient).

Berdasarkan hal tersebut, maka teori Nativisme mendapatkan tambahan argumentasi tentang bagaimana seorang dapat menjadi berhasil dalam proses pembelajaran. Kelompok Nativisme atau sering juga disebut Nature beranggapan perubahan yang terjadi dalam sebuah lingkungan tidak dapat dipastikan terjadi secara berkesinambungan namun yang terjadi justru sebaliknya. Seorang anak yang semula hanya dapat berpikir konkrit dalam perkembangannya dapat berpikir abstrak . Tidak semua perkembangan kualitatif meupakan wujud dari adanya keberlanjutan dari tahapan sebelumnya karena di dalam perkembangan mungkin saja terjadi percepatan, lompatan atau bahkan kemunduran.

Imanuel Kant menambahkan bahwa setiap anak dilahirkan dalam keadaan yang baik. Kebaikan ini berasal dari dalam diri yang tumbuh dan berkembang secara alami sebagai bagian daripada anugerah Tuhan. Kemampuan berpikir yang selanjutnya diejawantahkan dalam bentuk perilaku keseharian berakar pada kebebasan setiap anak secara otomatis sesuai dengan prinsip moral yang dilandasi atas rasionalitas.(Gardner:1999,10). Noam Chomsky dengan teori Language Acquisition Device (LAD) pun menyatakan bahwa setiap anak memiliki instink yang dimiliki sejak lahir (innate facility).(Van Patten:2010)
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More