Pentingnya Pengendalian Subsidi Bahan Bakar Minyak

Rabu, 19 Juni 2024 - 14:57 WIB
Usut punya usut, sebagaimana emak-emak, pemerintah pun sedang dibuat pusing tujuh keliling tersebab oleh melambungnya anggaran subsidi energi di di APBN 2024; baik untuk gas melon, BBM, dan juga energi listrik. Bagaimana tidak pusing, karena saat ini alokasi anggaran untuk subsidi energi pada 2024 mencapai Rp186,9 triliun, dengan rincian Rp113,3 triliun untuk subsidi BBM dan gas elpiji 3 kg, dan subsidi listrik sebesar Rp73,6 triliun.

Angka ini mengalami peningkatan dari semula Rp159,6 triliun (2023), dan lebih tinggi dari target yang ditetapkan, yakni Rp145,3 triliun. Besaran subsidi tersebut belum termasuk dana kompensasi yang digelontorkan pemerintah untuk jenis BBM pertalite. Sebab BBM pertalite jika harga jualnya lebih rendah dibanding harga keekonomiannya, maka pemerintah harus memasok dana kompensasi kepada Pertamina.

Dengan mengacu pada konfigurasi besaran subsidi ini, maka upaya pemerintah untuk mengendalikan konsumsi BBM bersubsidi, dan juga (nantinya) energi listrik, bisa dimengerti. Menggunakan teknologi digital seperti MyPertamina, atau berbasis NIK (KTP), sejatinya hal yang masuk akal. Merujuk pada kebijakan gas elpiji 3 kg, yang di-sounding mulai 2009, awalnya memang hanya untuk kalangan tertentu (masyarakat miskin), sebagai pengganti minyak tanah. Namun, seiring berjalannya waktu, pengguna gas elpiji 3 kg makin meluas. Masyarakat mampu pun turut menyeruput gas elpiji 3 kg, termasuk para penghuni di suatu apartemen sekalipun.

Apa sebab? Ya karena harganya jauh lebih murah dibanding membeli gas elpiji non subsidi (5,5 kg, 12 kg, dst), yang dibanderol dengan harga keekonomian. Dengan demikian, jika tak ada pengendalian sama sekali, maka bisa dipastikan kuota subsidi BBM sebesar Rp 186,9 triliun pada 2024 akan lewat, alias jebol. Jika hal ini terjadi, dipastikan akan menggerus alokasi anggaran/subsidi yang lain, seperti untuk pendidikan, kesehatan, infrastruktur, bahkan subsidi pupuk untuk petani.

Namun, pertanyaan berikutnya, apakah upaya pengendalian yang dilakukan pemerintah dengan MyPertamina dan KTP, akan efektif untuk menekan konsumsi BBM bersubsidi, gas elpiji 3 kg, ataupun solar? Dan apakah hal ini tidak melanggar hak hak publik?

Seiring dengan kemajuan teknologi digital, seharusnya pengendalian BBM bersubsidi berbasis aplikasi MyPertamina dan KTP akan berjalan efektif. Dengan asumsi jika transaksi pembelian oleh konsumen 100 persen dilakukan di SPBU. Persoalannya, saat ini lapangan banyak sekali “pertamini”, yang menjual BBM secara eceran juga.

Penjualan via “pertamini” inilah yang berpotensi menggerus jebolnya kuota BBM bersubsidi. Sebab, kendati aturannya “pertamini” tidak boleh menjual BBM subsidi seperti pertalite, toh di lapangan mereka masih bisa membeli pertalite dari SPBU tertentu. Hasil “omon-omon” saya dengan penyedia pertamini, mereka bisa mendapatkan pertalite di suatu SPBU langganannya. Entah dengan cara “cincai” atau tidak. Cara mengakali, mereka membeli dengan sepeda motor, khususnya sepeda motor dengan tangki bensin yang besar.

Sedangkan pembelian gas elpiji 3 kg dengan instrumen KTP, juga berpotensi kurang efektif sebab banyak emak-emak yang membeli gas elpiji via sub agen, warung pengecer, yang tentu saja tidak ditanya soal KTP. Sebab data pengguna gas elpiji berbasis KTP, hanya pegang oleh pihak agen resmi, bukan sub agen, apalagi warung kelontong. Dan bukan hal yang tidak mungkin antara agen dengan sub agen bermain mata, untuk menjual gas elpiji 3 kg kepada masyarakat mampu.

Saat ini terhitung sejak November 2023, terdapat 27,8 juta pengguna gas elpiji yang terdaftar via APP Pertamina. Oleh karena itu, agar instrumen pengendalian BBM bersubsidi dan gas elpiji 3 kg berjalan efektif, maka perlu ada pengawasan berjenjang dan komprehensif. Dan perlu adanya sanksi yang tegas, dan kalau perlu menjerakan bagi yang melakukan pelanggaran. Dan juga musti dipikirkan untuk memperkecil disparitas harga elpiji 3 kg dengan harga gas elpiji non subsidi, yang jaraknya ibarat bumi dengan langit. Sementara kualitas keduanya sama.

Sejatinya, pengendalian BBM bersubsidi dan gas elpiji 3 kg, termasuk juga untuk energi listrik, secara sosial ekonomi dan kebijakan energi adalah kebijakan yang relevan. Dengan spirit kebijakan ini tidak untuk menghilangkan/menghapuskan subsidi energi. Tersebab secara jelas dimandatkan dalam UU No. 30 Tahun 2007 tentang Energi, bahwa subsidi energi adalah kebijakan yang konstitusional.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More