Pentingnya Pengendalian Subsidi Bahan Bakar Minyak

Rabu, 19 Juni 2024 - 14:57 WIB
loading...
Pentingnya Pengendalian...
Tulus Abadi. Foto/Istimewa
A A A
Tulus Abadi
Pengamat Perlindungan Konsumen dan Kebijakan Publik, Ketua Pengurus Harian YLKI 2015-2025

SEBAGIAN masyarakat pengguna energi di Indonesia beberapa minggu terakhir ini tampak kelimpungan, khususnya emak-emak pengguna gas elpiji 3 kg. Atau juga pengguna kendaraan pribadi yang gemar menyeruput BBM jenis pertalite, plus sopir truk sebagai pengguna BBM jenis solar. Intinya, ketiga entitas pengguna energi ini dalam beberapa bulan terakhir seperti “dipersulit” oleh pemerintah, dan juga Pertamina.

Untuk emak-emak dibuat masygul, karena saat membeli gas elpiji 3 kg, atau lazim disebut gas melon, harus menyerahkan KTP lebih dulu. Tujuannya untuk didata, apakah dirinya termasuk warga miskin atau tidak. Warga miskin dimaksud tentunya yang terdata di DTKS (Data Terpadu Kemiskinan Sosial) versi Kementerian Sosial (Kemensos), atau sebaliknya. Jika tak terdata di DTKS, maka endingnya si emak-emak ini tidak bisa membeli gas melon tersebab bukan kategori orang miskin. Konsekuensinya, dari pendataan ini, hanya kelompok tertentu yang boleh menggunakan gas elpiji 3 kg.

Menurut Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM No. 37.KIM.01/MEM.MI/2023 secara tegas menyebutkan bahwa kelompok yang boleh menggunakan gas elpiji 3 kg adalah: rumah tangga pra sejahtera (sesuai DTKS Kemensos), sektor UMKM, nelayan sasaran, dan petani sasarannya. Sementara itu, kelompok yang tidak boleh menggunakan gas elpiji 3 kg adalah: hotel, restoran, usaha binatu laundry, usaha peternakan, usaha pertanian, usaha tani tembakau, usaha jasa las, berbagai usaha skala besar, dan terakhir adalah rumah tangga sejahtera, alias rumah tangga mampu.



Sementara itu, untuk pengguna pertalite dan BBM solar, ada pendataan serupa dengan menggunakan instrumen aplikasi MyPertamina. Dengan aplikasi ini pengguna pertalite dan solar endingnya ada semacam penjatahan kuota. Terbetik info bahwa pengguna pertalite maksimal dijatah 60 liter per hari. Dan jika melewati kuota maksimal maka konsumen harus membeli BBM non subsidi, misalnya BBM jenis pertamaks.

Dampak penjatahan di beberapa tempat, khususnya di luar Pulau Jawa menimbulkan antrean yang amat panjang, hingga ber jam jam, bahkan sampai menginap pula di area SPBU, khususnya untuk sopir truk. Sebuah pemandangan yang tidak elok, apalagi terjadi di provinsi penghasil minyak bumi, seperti Kalimantan Timur. Mereka rela antre berjam-jam demi mendapatkan BBM bersubsidi, yang dianggap lebih murah.

Pertanyaannya, adakah motif khusus pemerintah bahwa untuk beli gas melon saja harus menyerahkan KTP ke petugas agen gas elpiji? Atau kenapa pula harus menggunakan instrumen aplikasi MyPertamina untuk membeli BBM jenis pertalite dan solar, yang berdampak antrean panjang?

Usut punya usut, sebagaimana emak-emak, pemerintah pun sedang dibuat pusing tujuh keliling tersebab oleh melambungnya anggaran subsidi energi di di APBN 2024; baik untuk gas melon, BBM, dan juga energi listrik. Bagaimana tidak pusing, karena saat ini alokasi anggaran untuk subsidi energi pada 2024 mencapai Rp186,9 triliun, dengan rincian Rp113,3 triliun untuk subsidi BBM dan gas elpiji 3 kg, dan subsidi listrik sebesar Rp73,6 triliun.

Angka ini mengalami peningkatan dari semula Rp159,6 triliun (2023), dan lebih tinggi dari target yang ditetapkan, yakni Rp145,3 triliun. Besaran subsidi tersebut belum termasuk dana kompensasi yang digelontorkan pemerintah untuk jenis BBM pertalite. Sebab BBM pertalite jika harga jualnya lebih rendah dibanding harga keekonomiannya, maka pemerintah harus memasok dana kompensasi kepada Pertamina.

Dengan mengacu pada konfigurasi besaran subsidi ini, maka upaya pemerintah untuk mengendalikan konsumsi BBM bersubsidi, dan juga (nantinya) energi listrik, bisa dimengerti. Menggunakan teknologi digital seperti MyPertamina, atau berbasis NIK (KTP), sejatinya hal yang masuk akal. Merujuk pada kebijakan gas elpiji 3 kg, yang di-sounding mulai 2009, awalnya memang hanya untuk kalangan tertentu (masyarakat miskin), sebagai pengganti minyak tanah. Namun, seiring berjalannya waktu, pengguna gas elpiji 3 kg makin meluas. Masyarakat mampu pun turut menyeruput gas elpiji 3 kg, termasuk para penghuni di suatu apartemen sekalipun.

Apa sebab? Ya karena harganya jauh lebih murah dibanding membeli gas elpiji non subsidi (5,5 kg, 12 kg, dst), yang dibanderol dengan harga keekonomian. Dengan demikian, jika tak ada pengendalian sama sekali, maka bisa dipastikan kuota subsidi BBM sebesar Rp 186,9 triliun pada 2024 akan lewat, alias jebol. Jika hal ini terjadi, dipastikan akan menggerus alokasi anggaran/subsidi yang lain, seperti untuk pendidikan, kesehatan, infrastruktur, bahkan subsidi pupuk untuk petani.

Namun, pertanyaan berikutnya, apakah upaya pengendalian yang dilakukan pemerintah dengan MyPertamina dan KTP, akan efektif untuk menekan konsumsi BBM bersubsidi, gas elpiji 3 kg, ataupun solar? Dan apakah hal ini tidak melanggar hak hak publik?

Seiring dengan kemajuan teknologi digital, seharusnya pengendalian BBM bersubsidi berbasis aplikasi MyPertamina dan KTP akan berjalan efektif. Dengan asumsi jika transaksi pembelian oleh konsumen 100 persen dilakukan di SPBU. Persoalannya, saat ini lapangan banyak sekali “pertamini”, yang menjual BBM secara eceran juga.

Penjualan via “pertamini” inilah yang berpotensi menggerus jebolnya kuota BBM bersubsidi. Sebab, kendati aturannya “pertamini” tidak boleh menjual BBM subsidi seperti pertalite, toh di lapangan mereka masih bisa membeli pertalite dari SPBU tertentu. Hasil “omon-omon” saya dengan penyedia pertamini, mereka bisa mendapatkan pertalite di suatu SPBU langganannya. Entah dengan cara “cincai” atau tidak. Cara mengakali, mereka membeli dengan sepeda motor, khususnya sepeda motor dengan tangki bensin yang besar.

Sedangkan pembelian gas elpiji 3 kg dengan instrumen KTP, juga berpotensi kurang efektif sebab banyak emak-emak yang membeli gas elpiji via sub agen, warung pengecer, yang tentu saja tidak ditanya soal KTP. Sebab data pengguna gas elpiji berbasis KTP, hanya pegang oleh pihak agen resmi, bukan sub agen, apalagi warung kelontong. Dan bukan hal yang tidak mungkin antara agen dengan sub agen bermain mata, untuk menjual gas elpiji 3 kg kepada masyarakat mampu.

Saat ini terhitung sejak November 2023, terdapat 27,8 juta pengguna gas elpiji yang terdaftar via APP Pertamina. Oleh karena itu, agar instrumen pengendalian BBM bersubsidi dan gas elpiji 3 kg berjalan efektif, maka perlu ada pengawasan berjenjang dan komprehensif. Dan perlu adanya sanksi yang tegas, dan kalau perlu menjerakan bagi yang melakukan pelanggaran. Dan juga musti dipikirkan untuk memperkecil disparitas harga elpiji 3 kg dengan harga gas elpiji non subsidi, yang jaraknya ibarat bumi dengan langit. Sementara kualitas keduanya sama.

Sejatinya, pengendalian BBM bersubsidi dan gas elpiji 3 kg, termasuk juga untuk energi listrik, secara sosial ekonomi dan kebijakan energi adalah kebijakan yang relevan. Dengan spirit kebijakan ini tidak untuk menghilangkan/menghapuskan subsidi energi. Tersebab secara jelas dimandatkan dalam UU No. 30 Tahun 2007 tentang Energi, bahwa subsidi energi adalah kebijakan yang konstitusional.

Namun, Pasal 7 ayat 2 UU tentang Energi memandatkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan dana subsidi energi diperuntukkan kepada golongan masyarakat yang tidak mampu. Jadi titik tekannya dana subsidi energi peruntukannya masyarakat tidak mampu (saja). Nah, pertanyaaannya, apakah pemilik mobil pribadi sebagai pengguna pertalite ini termasuk kategori orang yang tidak mampu, sebagaimana dimandatkan oleh UU tentang Energi? Untuk pengguna sepeda motor, 15 persennya memang masyarakat rentan, yang rawan terhadap perubahan kebijakan harga BBM.



Terkhusus untuk pengguna gas elpiji 3 kg, sangat urgen untuk mereview secara progresif data DTKS Kemensos. Data Kemensos tersebut harus diperbarui secara terus-menerus, untuk memastikan data masyarakat miskin, agar benar-benar tepat sasaran. Sebab subsidi energi adalah hak bagi warga negara, khususnya bagi warga negara yang tidak mampu. Rujukan normatif warga tidak mampu adalah DTKS milik Kemensos. Klir kan?
(zik)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1559 seconds (0.1#10.140)