Memberangus Kemerdekaan Pers?
Minggu, 09 Juni 2024 - 18:02 WIB
Berkembangnya media digital dan jurnalisme warga, serta tersedianya berbagai platform baru membuka peluang bagi wartawan untuk menggali dan menyajikan berita lebih dalam dan beragam. Munculnya berita-berita media cetak yang diperluas melalui platform audio visual (podcast dan chanel video) mendapat tempat tersendiri di masyarakat.
Laporan investigasi yang selama ini hanya mengisi ruang media cetak dengan pembaca yang "terbatas" kini seakan menemukan ladang sangat luas yang menjangkau bukan lagi hanya sekedar lokal, sebatas nasional (national wide) tetapi menembus dunia (word wide) dalam waktu bersamaan.
Sehingga sangat beralasan kalau ada yang menduga, upaya pelarangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi lebih pada kekhawatiran mencegah meluasnya pemberitaan investigasi secara massive di ruang publik melalui media penyiaran (baca chanel video via internet). Semoga saja munculnya beberapa pasal yang mengancam kemerdekaan pers itu, semata hanya karena ketidaktahuan semata (ignorancy, sehingga masih terbuka peluang masukan yang benar dan menyeluruh dari masyarakat pers. Seperti yang disampaikan seorang anggota Dewan, bahwa pembahasan RUU ini masih menerima masukan dari pelbagai kalangan.
Terkait dengan munculnya pasal-pasal yang mengancam kemerdekaan pers dalam RUU penyiaran ini, kita berharap ini bukanlah rangkaian langkah yang memang disengaja. Belum lepas dari ingatan kita, pada tahun 2022, lolosnya sekitar 10-14 pasal berbahaya yang berpotensi merenggut kebebasan berekspresi dalam RKUHP dan telah disahkan DPR.
Bila kita mundur ke tahun 2020, upaya merongrong kemerdekaan pers juga muncul dalam RUU Cipta Kerja atau yang di awal kemunculannya disebut "omnibus law|. Salah satu pasal RUU ini berisi pengaturan terhadap pers, denda dan lain sebagainnya, serta dimungkinkannya pembuatan peraturan pemerintah (PP) untuk mengatur pers. Beruntung gelombang protes masyarakat pers dan berbagai langkah, akhirnya pasal tersebut dihilangkan dalam UU Cipta Kerja.
Kita berharap aksi penolakan masyarakat pers di pelbagai daerah terhadap beberapa pasal dalam RUU Penyiaran juga akan berbuah sama, Dewan yang terhormat di Senayan mencabut pasal-pasal tersebut, yakni Pasal pelarangan jurnalistik investigatif dan kewenangan penyelesaian sengketa pers.
Pada akhirnya, meski kita yakini adanya ancaman kemerdekaan pers dari luar seperti paparan diatas, namun tidak dapat disangkal juga bahwa perilaku sebagian dari 'komunitas pers' menjadi ancaman terhadap kemerdekaan pers di Indonesia.
Saat ini banyak yang hanya mau mengambil 'berkah' reformasi yakni kemudahan membuat media tanpa harus memiliki SIUP (surat izin usaha penerbitan pers), namun tanpa mau menjalankan kewajiban yang menyertainya. Banyak ditemukan media dibuat oleh orang-orang yang jauh dari kompetensinya, sehingga dalam kerjanya sama sekali tidak mencerminkan sebagai sebuah kerja jurnalistik.
Sistem Pers Indonesia dibangun di atas sistem yang kuat dengan adanya Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 199 yang memberikan kewenangan terhadap masyarakat pers untuk mengurus dirinya sendiri, tanpa intervensi. Sayangnya, kebebasan yang diberikan terhadap pers cenderung dipergunakan oleh para pelaku jurnalisme kepentingan.
Laporan investigasi yang selama ini hanya mengisi ruang media cetak dengan pembaca yang "terbatas" kini seakan menemukan ladang sangat luas yang menjangkau bukan lagi hanya sekedar lokal, sebatas nasional (national wide) tetapi menembus dunia (word wide) dalam waktu bersamaan.
Sehingga sangat beralasan kalau ada yang menduga, upaya pelarangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi lebih pada kekhawatiran mencegah meluasnya pemberitaan investigasi secara massive di ruang publik melalui media penyiaran (baca chanel video via internet). Semoga saja munculnya beberapa pasal yang mengancam kemerdekaan pers itu, semata hanya karena ketidaktahuan semata (ignorancy, sehingga masih terbuka peluang masukan yang benar dan menyeluruh dari masyarakat pers. Seperti yang disampaikan seorang anggota Dewan, bahwa pembahasan RUU ini masih menerima masukan dari pelbagai kalangan.
Terkait dengan munculnya pasal-pasal yang mengancam kemerdekaan pers dalam RUU penyiaran ini, kita berharap ini bukanlah rangkaian langkah yang memang disengaja. Belum lepas dari ingatan kita, pada tahun 2022, lolosnya sekitar 10-14 pasal berbahaya yang berpotensi merenggut kebebasan berekspresi dalam RKUHP dan telah disahkan DPR.
Bila kita mundur ke tahun 2020, upaya merongrong kemerdekaan pers juga muncul dalam RUU Cipta Kerja atau yang di awal kemunculannya disebut "omnibus law|. Salah satu pasal RUU ini berisi pengaturan terhadap pers, denda dan lain sebagainnya, serta dimungkinkannya pembuatan peraturan pemerintah (PP) untuk mengatur pers. Beruntung gelombang protes masyarakat pers dan berbagai langkah, akhirnya pasal tersebut dihilangkan dalam UU Cipta Kerja.
Kita berharap aksi penolakan masyarakat pers di pelbagai daerah terhadap beberapa pasal dalam RUU Penyiaran juga akan berbuah sama, Dewan yang terhormat di Senayan mencabut pasal-pasal tersebut, yakni Pasal pelarangan jurnalistik investigatif dan kewenangan penyelesaian sengketa pers.
Pembajak Kemerdekaan Pers
Pada akhirnya, meski kita yakini adanya ancaman kemerdekaan pers dari luar seperti paparan diatas, namun tidak dapat disangkal juga bahwa perilaku sebagian dari 'komunitas pers' menjadi ancaman terhadap kemerdekaan pers di Indonesia.
Saat ini banyak yang hanya mau mengambil 'berkah' reformasi yakni kemudahan membuat media tanpa harus memiliki SIUP (surat izin usaha penerbitan pers), namun tanpa mau menjalankan kewajiban yang menyertainya. Banyak ditemukan media dibuat oleh orang-orang yang jauh dari kompetensinya, sehingga dalam kerjanya sama sekali tidak mencerminkan sebagai sebuah kerja jurnalistik.
Sistem Pers Indonesia dibangun di atas sistem yang kuat dengan adanya Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 199 yang memberikan kewenangan terhadap masyarakat pers untuk mengurus dirinya sendiri, tanpa intervensi. Sayangnya, kebebasan yang diberikan terhadap pers cenderung dipergunakan oleh para pelaku jurnalisme kepentingan.
tulis komentar anda