Memberangus Kemerdekaan Pers?
Minggu, 09 Juni 2024 - 18:02 WIB
Kedua, yang menjadi perhatian masyarakat pers Indonesia belakangan ini adalah soal Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran. Sebagian isi pasalnya dinilai banyak kalangan 'membahayakan kemerdekaan pers', sehingga menimbulkan penolakan mulai dari Dewan Pers dan konstituennya, serta organisasi profesi wartawan yang menggelar aksi di berbagai daerah. Salah satu isu penting adalah soal penyelesaian sengketa pers.
Dalam naskah Badan Legislasi 27 Maret 2024 Pasal 8A poin q terkait KPI yang diberi kewenangan menyelesaikan sengketa jurnalistik penyiaran. Hal yang sama ditegaskan di Pasal 42 Ayat 2; "Penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik penyiaran dilakukan oleh KPI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."
Pasal ini tentu saja “bertabrakan” alias tumpang tindih dengan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999. Pasal 15 UU Pers dengan tegas telah memberi mandat kepada Dewan Pers sebagai salah satu fungsinya yakni menyelesaikan sengketa pers. Bahkan bila lebih luas Undang-undang Pers juga memberikan mandat swaregulasi untuk pers dan diserahkan pengaturannya ke Dewan Pers.
Fungsi Dewan Pers antara lain melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain; melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers; menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik; memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers; mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah; memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan; serta mendata perusahaan pers.
Pasal lain yang berbahaya bagi kemerdekaan pers adalah Pasal 50 B poin 2c yakni larangan "penayangan eksklusif jurnalistik investigasi." Pasal ini jelas bertetangan dengan UU Pers pasal 4 yang berbunyi terhadap pers tidak dilakukan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.
Dari pernyataan sejumlah anggota DPR belum ada yang menjelaskan landasan berfikir dan alasan bertenggernya pasal semacam ini di RUU. Justru ada pernyataan yang menunjukkan kerancuan pemahaman soal jurnalistik investigasi dengan tayangan hiburan belaka.
"Latar belakang mengapa dalam draf revisi UU penyiaran dicantumkan larangan lembaga penyiaran untuk mencegah terjadinya monopoli penayangan eksklusif jurnalistik investigasi yang hanya dimiliki oleh satu media atau satu kelompok media saja. Padahal setiap media penyiaran memiliki kesempatan untuk menyiarkan suatu konten.”
Jurnalistik investigatif adalah karya jurnalis yang secara khusus penggarapannya, sehingga nilai eksklusifnya pasti melekat hanya pada mereka yang terlibat. Bisa saja, liputan investigasi dilakukan oleh satu media atau melibatkan beberapa organisasi media. Laporannya melampaui siklus berita harian, karena menggali isu-isu kompleks dan mengungkap kebenaran yang tersembunyi.
Apalagi saat ini, di tengah dunia yang penuh dengan misinformasi, jurnalisme investigatif berperan penting memberdayakan masyarakat dengan informasi yang akurat. Sesuai tujuan jurnalisme yaitu memberi masyarakat informasi yang diperlukan sehingga dapat mengatur dan membuat keputusan bagi kepentingannya sendiri.
Dalam naskah Badan Legislasi 27 Maret 2024 Pasal 8A poin q terkait KPI yang diberi kewenangan menyelesaikan sengketa jurnalistik penyiaran. Hal yang sama ditegaskan di Pasal 42 Ayat 2; "Penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik penyiaran dilakukan oleh KPI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."
Pasal ini tentu saja “bertabrakan” alias tumpang tindih dengan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999. Pasal 15 UU Pers dengan tegas telah memberi mandat kepada Dewan Pers sebagai salah satu fungsinya yakni menyelesaikan sengketa pers. Bahkan bila lebih luas Undang-undang Pers juga memberikan mandat swaregulasi untuk pers dan diserahkan pengaturannya ke Dewan Pers.
Fungsi Dewan Pers antara lain melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain; melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers; menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik; memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers; mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah; memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan; serta mendata perusahaan pers.
Jurnalistik investigasi
Pasal lain yang berbahaya bagi kemerdekaan pers adalah Pasal 50 B poin 2c yakni larangan "penayangan eksklusif jurnalistik investigasi." Pasal ini jelas bertetangan dengan UU Pers pasal 4 yang berbunyi terhadap pers tidak dilakukan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.
Dari pernyataan sejumlah anggota DPR belum ada yang menjelaskan landasan berfikir dan alasan bertenggernya pasal semacam ini di RUU. Justru ada pernyataan yang menunjukkan kerancuan pemahaman soal jurnalistik investigasi dengan tayangan hiburan belaka.
"Latar belakang mengapa dalam draf revisi UU penyiaran dicantumkan larangan lembaga penyiaran untuk mencegah terjadinya monopoli penayangan eksklusif jurnalistik investigasi yang hanya dimiliki oleh satu media atau satu kelompok media saja. Padahal setiap media penyiaran memiliki kesempatan untuk menyiarkan suatu konten.”
Jurnalistik investigatif adalah karya jurnalis yang secara khusus penggarapannya, sehingga nilai eksklusifnya pasti melekat hanya pada mereka yang terlibat. Bisa saja, liputan investigasi dilakukan oleh satu media atau melibatkan beberapa organisasi media. Laporannya melampaui siklus berita harian, karena menggali isu-isu kompleks dan mengungkap kebenaran yang tersembunyi.
Apalagi saat ini, di tengah dunia yang penuh dengan misinformasi, jurnalisme investigatif berperan penting memberdayakan masyarakat dengan informasi yang akurat. Sesuai tujuan jurnalisme yaitu memberi masyarakat informasi yang diperlukan sehingga dapat mengatur dan membuat keputusan bagi kepentingannya sendiri.
Lihat Juga :
tulis komentar anda