Memberangus Kemerdekaan Pers?
loading...
A
A
A
Jamalul Insan
Anggota Dewan Pers 2019-2022
SETIDAKNYA ada dua hal yang cukup menyita perhatian masyarakat pers Indonesia dalam beberapa waktu terakhir. Pertama, kasus gugatan perdata yang dilayangkan mantan staf khusus Gubernur Sulawesi Selatan Andi Sudirman Sulaiman terhadap dan dua media siber dan dua jurnalisnya, Inikita.co.id dan herald.id.
Gugatan ini tidak tanggung-tanggung sebesar 700 miliar rupiah, sehingga muncul penilaian bahwa langkah hukum ini sebagai upaya memiskinkan jurnalis dan membangkrutkan media. Namun, Selasa (21 Mei 2024) lalu Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kelas I Makassar, Sulawesi Selatan, akhirnya menyatakan gugatan para Penggugat tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke verklaard), dengan pertimbangan hakim dalam pokok perkara bahwa gugatan Penggugat tidak jelas dan bersifat kabur (Obscuur libel). Para Penggugat sebagai pihak yang kalah juga dihukum membayar biaya perkara sebagaimana disebutkan dalam amar putusan, sebesar Rp362 ribu.
Gugatan perdata dilayangkan terkait pemberitaan yang dinilai menyudutkan para penggugat, yakni berita ‘ASN yang dinon-jobkan di era kepemimpinan Gubernur Andi Sudirman Sulaiman diduga ada campur tangan Stafsus’ yang terbit 19 September 2023. Sebelumnya para penggugat telah mengadukan kedua media ke Dewan Pers.
Hasil kajian Dewan Pers menilai kedua media melanggar Kode Etik Jurnalistik yakni Pasal 1 dan 3 yakni berita yang ditulis tidak akurat dan tidak berimbang. Sanksinya adalah kedua media tersebut wajib memuat Hak Jawab dari Pengadu, yang disertai permintaan maaf kepada pengadu dan masyarakat pembaca. Hal ini sesuai Pasal 15 Ayat (2d) UU Pers Nomor 40 tahun 1999 bahwa Dewan Pers memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.
Dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan pertimbangan atas pengaduan dari masyarakat sebagaimana dimaksud Ayat (2) huruf d adalah yang berkaitan dengan Hak Jawab, Hak Koreksi, dan dugaan pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik. Sayangnya, meski telah diberikan hak jawab dan permintaaan maaf, ternyata penggugat bersikukuh meneruskan keberatannya dengan mengajukan gugatan perdata ke pengadilan.
Keputusan Majelis Hakim yang tidak dapat menerima gugatan para penggugat ini, dapat dijadikan yurisprudensi dalam setiap proses penanganan sengketa pers, dengan mengedepankan penyelesaian secara etik di Dewan Pers.
Kedua, yang menjadi perhatian masyarakat pers Indonesia belakangan ini adalah soal Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran. Sebagian isi pasalnya dinilai banyak kalangan 'membahayakan kemerdekaan pers', sehingga menimbulkan penolakan mulai dari Dewan Pers dan konstituennya, serta organisasi profesi wartawan yang menggelar aksi di berbagai daerah. Salah satu isu penting adalah soal penyelesaian sengketa pers.
Dalam naskah Badan Legislasi 27 Maret 2024 Pasal 8A poin q terkait KPI yang diberi kewenangan menyelesaikan sengketa jurnalistik penyiaran. Hal yang sama ditegaskan di Pasal 42 Ayat 2; "Penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik penyiaran dilakukan oleh KPI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."
Pasal ini tentu saja “bertabrakan” alias tumpang tindih dengan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999. Pasal 15 UU Pers dengan tegas telah memberi mandat kepada Dewan Pers sebagai salah satu fungsinya yakni menyelesaikan sengketa pers. Bahkan bila lebih luas Undang-undang Pers juga memberikan mandat swaregulasi untuk pers dan diserahkan pengaturannya ke Dewan Pers.
Fungsi Dewan Pers antara lain melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain; melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers; menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik; memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers; mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah; memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan; serta mendata perusahaan pers.
Pasal lain yang berbahaya bagi kemerdekaan pers adalah Pasal 50 B poin 2c yakni larangan "penayangan eksklusif jurnalistik investigasi." Pasal ini jelas bertetangan dengan UU Pers pasal 4 yang berbunyi terhadap pers tidak dilakukan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.
Dari pernyataan sejumlah anggota DPR belum ada yang menjelaskan landasan berfikir dan alasan bertenggernya pasal semacam ini di RUU. Justru ada pernyataan yang menunjukkan kerancuan pemahaman soal jurnalistik investigasi dengan tayangan hiburan belaka.
"Latar belakang mengapa dalam draf revisi UU penyiaran dicantumkan larangan lembaga penyiaran untuk mencegah terjadinya monopoli penayangan eksklusif jurnalistik investigasi yang hanya dimiliki oleh satu media atau satu kelompok media saja. Padahal setiap media penyiaran memiliki kesempatan untuk menyiarkan suatu konten.”
Jurnalistik investigatif adalah karya jurnalis yang secara khusus penggarapannya, sehingga nilai eksklusifnya pasti melekat hanya pada mereka yang terlibat. Bisa saja, liputan investigasi dilakukan oleh satu media atau melibatkan beberapa organisasi media. Laporannya melampaui siklus berita harian, karena menggali isu-isu kompleks dan mengungkap kebenaran yang tersembunyi.
Apalagi saat ini, di tengah dunia yang penuh dengan misinformasi, jurnalisme investigatif berperan penting memberdayakan masyarakat dengan informasi yang akurat. Sesuai tujuan jurnalisme yaitu memberi masyarakat informasi yang diperlukan sehingga dapat mengatur dan membuat keputusan bagi kepentingannya sendiri.
Berkembangnya media digital dan jurnalisme warga, serta tersedianya berbagai platform baru membuka peluang bagi wartawan untuk menggali dan menyajikan berita lebih dalam dan beragam. Munculnya berita-berita media cetak yang diperluas melalui platform audio visual (podcast dan chanel video) mendapat tempat tersendiri di masyarakat.
Laporan investigasi yang selama ini hanya mengisi ruang media cetak dengan pembaca yang "terbatas" kini seakan menemukan ladang sangat luas yang menjangkau bukan lagi hanya sekedar lokal, sebatas nasional (national wide) tetapi menembus dunia (word wide) dalam waktu bersamaan.
Sehingga sangat beralasan kalau ada yang menduga, upaya pelarangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi lebih pada kekhawatiran mencegah meluasnya pemberitaan investigasi secara massive di ruang publik melalui media penyiaran (baca chanel video via internet). Semoga saja munculnya beberapa pasal yang mengancam kemerdekaan pers itu, semata hanya karena ketidaktahuan semata (ignorancy, sehingga masih terbuka peluang masukan yang benar dan menyeluruh dari masyarakat pers. Seperti yang disampaikan seorang anggota Dewan, bahwa pembahasan RUU ini masih menerima masukan dari pelbagai kalangan.
Terkait dengan munculnya pasal-pasal yang mengancam kemerdekaan pers dalam RUU penyiaran ini, kita berharap ini bukanlah rangkaian langkah yang memang disengaja. Belum lepas dari ingatan kita, pada tahun 2022, lolosnya sekitar 10-14 pasal berbahaya yang berpotensi merenggut kebebasan berekspresi dalam RKUHP dan telah disahkan DPR.
Bila kita mundur ke tahun 2020, upaya merongrong kemerdekaan pers juga muncul dalam RUU Cipta Kerja atau yang di awal kemunculannya disebut "omnibus law|. Salah satu pasal RUU ini berisi pengaturan terhadap pers, denda dan lain sebagainnya, serta dimungkinkannya pembuatan peraturan pemerintah (PP) untuk mengatur pers. Beruntung gelombang protes masyarakat pers dan berbagai langkah, akhirnya pasal tersebut dihilangkan dalam UU Cipta Kerja.
Kita berharap aksi penolakan masyarakat pers di pelbagai daerah terhadap beberapa pasal dalam RUU Penyiaran juga akan berbuah sama, Dewan yang terhormat di Senayan mencabut pasal-pasal tersebut, yakni Pasal pelarangan jurnalistik investigatif dan kewenangan penyelesaian sengketa pers.
Pada akhirnya, meski kita yakini adanya ancaman kemerdekaan pers dari luar seperti paparan diatas, namun tidak dapat disangkal juga bahwa perilaku sebagian dari 'komunitas pers' menjadi ancaman terhadap kemerdekaan pers di Indonesia.
Saat ini banyak yang hanya mau mengambil 'berkah' reformasi yakni kemudahan membuat media tanpa harus memiliki SIUP (surat izin usaha penerbitan pers), namun tanpa mau menjalankan kewajiban yang menyertainya. Banyak ditemukan media dibuat oleh orang-orang yang jauh dari kompetensinya, sehingga dalam kerjanya sama sekali tidak mencerminkan sebagai sebuah kerja jurnalistik.
Sistem Pers Indonesia dibangun di atas sistem yang kuat dengan adanya Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 199 yang memberikan kewenangan terhadap masyarakat pers untuk mengurus dirinya sendiri, tanpa intervensi. Sayangnya, kebebasan yang diberikan terhadap pers cenderung dipergunakan oleh para pelaku jurnalisme kepentingan.
Sejak reformasi, pertumbuhan media yang bak jamur di musim penghujan tidak berbanding lurus dengan kualitas pers yang baik dan kuat. Banyak media yang mengklaim sebagai media Pers hanya menjamu kepentingan kelompok tertentu atau hanya sekedar menjadi penampung rilis-rilis lembaga atau instansi pemerintah. Dengan demimian, media kita tumbuh tanpa memiliki kultur skeptis dan kritis.
Sebagai bukti Dewan Pers mencatat jumlah pengaduan masyarakat terhadap pers (pemberitaan dan perilaku jurnalisnya) setiap tahun terus meningkat. Ada yang berpendapat positif artinya kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap pers meningkat, sehingga mau mengadukan bila melihat ada kekeliruan atau kesalahan yang dilakukan pers.
Namun faktanya kenaikan jumlah pengaduan kepada Dewan Pers, de facto menunjukkan pelanggaran yang dilakukan pers naik. Umum nya elanggaran yang kerap dilakukan media dan jurnalisnya adalah tidak melakukan uji informasi, tidak verifikasi, tidak konfirmasi yang sangat mendasar dalam jurnalistik. Bahkan sejumlah media dan jurnalis terindikasi menyalahgunakan profesi dan medianya untuk "memeras".
Untuk yang tidak terkait dengan kerja jurnalistik, Dewan Pers akan mengarahkan pengadu untuk memproses pengaduannya dengan menggunakan undang-undang di luar Undang-Undang Pers. Perlindungan dengan menggunakan Undang-Undang Pers hanya berlaku bagi media pers dan jurnalis profesional yang patuh Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers.
Menjaga kualitas pers tentu menjadi kewajiban semua pihak mulai dari Dewan Pers dan konstituen pers, perusahaan Pers, pemerintah - eksekutif, legislatif dan yudikatif serta masyarakat. Semua berkewajiban tidak memberi ruang tumbuhnya pers tidak profesional, apalagi memeliharanya.
Sebagai penutup sengaja judul artikel memilih kosakata 'memberangus', yang di kbbi.web.id mengartikan berangus adalah selongsong penutup yang dipakai untuk menutup moncong seekor hewan, seperti adalah anjing atau anak sapi. Anjing diberi berangus supaya tidak menggigit atau menyalak sedangkan anak sapi diberangus supaya tidak menyusu. Kalau untuk pers, silakan cari padanannya yang pas.
Anggota Dewan Pers 2019-2022
SETIDAKNYA ada dua hal yang cukup menyita perhatian masyarakat pers Indonesia dalam beberapa waktu terakhir. Pertama, kasus gugatan perdata yang dilayangkan mantan staf khusus Gubernur Sulawesi Selatan Andi Sudirman Sulaiman terhadap dan dua media siber dan dua jurnalisnya, Inikita.co.id dan herald.id.
Gugatan ini tidak tanggung-tanggung sebesar 700 miliar rupiah, sehingga muncul penilaian bahwa langkah hukum ini sebagai upaya memiskinkan jurnalis dan membangkrutkan media. Namun, Selasa (21 Mei 2024) lalu Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kelas I Makassar, Sulawesi Selatan, akhirnya menyatakan gugatan para Penggugat tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke verklaard), dengan pertimbangan hakim dalam pokok perkara bahwa gugatan Penggugat tidak jelas dan bersifat kabur (Obscuur libel). Para Penggugat sebagai pihak yang kalah juga dihukum membayar biaya perkara sebagaimana disebutkan dalam amar putusan, sebesar Rp362 ribu.
Gugatan perdata dilayangkan terkait pemberitaan yang dinilai menyudutkan para penggugat, yakni berita ‘ASN yang dinon-jobkan di era kepemimpinan Gubernur Andi Sudirman Sulaiman diduga ada campur tangan Stafsus’ yang terbit 19 September 2023. Sebelumnya para penggugat telah mengadukan kedua media ke Dewan Pers.
Hasil kajian Dewan Pers menilai kedua media melanggar Kode Etik Jurnalistik yakni Pasal 1 dan 3 yakni berita yang ditulis tidak akurat dan tidak berimbang. Sanksinya adalah kedua media tersebut wajib memuat Hak Jawab dari Pengadu, yang disertai permintaan maaf kepada pengadu dan masyarakat pembaca. Hal ini sesuai Pasal 15 Ayat (2d) UU Pers Nomor 40 tahun 1999 bahwa Dewan Pers memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.
Dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan pertimbangan atas pengaduan dari masyarakat sebagaimana dimaksud Ayat (2) huruf d adalah yang berkaitan dengan Hak Jawab, Hak Koreksi, dan dugaan pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik. Sayangnya, meski telah diberikan hak jawab dan permintaaan maaf, ternyata penggugat bersikukuh meneruskan keberatannya dengan mengajukan gugatan perdata ke pengadilan.
Sengketa Pers
Keputusan Majelis Hakim yang tidak dapat menerima gugatan para penggugat ini, dapat dijadikan yurisprudensi dalam setiap proses penanganan sengketa pers, dengan mengedepankan penyelesaian secara etik di Dewan Pers.
Kedua, yang menjadi perhatian masyarakat pers Indonesia belakangan ini adalah soal Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran. Sebagian isi pasalnya dinilai banyak kalangan 'membahayakan kemerdekaan pers', sehingga menimbulkan penolakan mulai dari Dewan Pers dan konstituennya, serta organisasi profesi wartawan yang menggelar aksi di berbagai daerah. Salah satu isu penting adalah soal penyelesaian sengketa pers.
Dalam naskah Badan Legislasi 27 Maret 2024 Pasal 8A poin q terkait KPI yang diberi kewenangan menyelesaikan sengketa jurnalistik penyiaran. Hal yang sama ditegaskan di Pasal 42 Ayat 2; "Penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik penyiaran dilakukan oleh KPI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."
Pasal ini tentu saja “bertabrakan” alias tumpang tindih dengan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999. Pasal 15 UU Pers dengan tegas telah memberi mandat kepada Dewan Pers sebagai salah satu fungsinya yakni menyelesaikan sengketa pers. Bahkan bila lebih luas Undang-undang Pers juga memberikan mandat swaregulasi untuk pers dan diserahkan pengaturannya ke Dewan Pers.
Fungsi Dewan Pers antara lain melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain; melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers; menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik; memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers; mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah; memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan; serta mendata perusahaan pers.
Jurnalistik investigasi
Pasal lain yang berbahaya bagi kemerdekaan pers adalah Pasal 50 B poin 2c yakni larangan "penayangan eksklusif jurnalistik investigasi." Pasal ini jelas bertetangan dengan UU Pers pasal 4 yang berbunyi terhadap pers tidak dilakukan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.
Dari pernyataan sejumlah anggota DPR belum ada yang menjelaskan landasan berfikir dan alasan bertenggernya pasal semacam ini di RUU. Justru ada pernyataan yang menunjukkan kerancuan pemahaman soal jurnalistik investigasi dengan tayangan hiburan belaka.
"Latar belakang mengapa dalam draf revisi UU penyiaran dicantumkan larangan lembaga penyiaran untuk mencegah terjadinya monopoli penayangan eksklusif jurnalistik investigasi yang hanya dimiliki oleh satu media atau satu kelompok media saja. Padahal setiap media penyiaran memiliki kesempatan untuk menyiarkan suatu konten.”
Jurnalistik investigatif adalah karya jurnalis yang secara khusus penggarapannya, sehingga nilai eksklusifnya pasti melekat hanya pada mereka yang terlibat. Bisa saja, liputan investigasi dilakukan oleh satu media atau melibatkan beberapa organisasi media. Laporannya melampaui siklus berita harian, karena menggali isu-isu kompleks dan mengungkap kebenaran yang tersembunyi.
Apalagi saat ini, di tengah dunia yang penuh dengan misinformasi, jurnalisme investigatif berperan penting memberdayakan masyarakat dengan informasi yang akurat. Sesuai tujuan jurnalisme yaitu memberi masyarakat informasi yang diperlukan sehingga dapat mengatur dan membuat keputusan bagi kepentingannya sendiri.
Berkembangnya media digital dan jurnalisme warga, serta tersedianya berbagai platform baru membuka peluang bagi wartawan untuk menggali dan menyajikan berita lebih dalam dan beragam. Munculnya berita-berita media cetak yang diperluas melalui platform audio visual (podcast dan chanel video) mendapat tempat tersendiri di masyarakat.
Laporan investigasi yang selama ini hanya mengisi ruang media cetak dengan pembaca yang "terbatas" kini seakan menemukan ladang sangat luas yang menjangkau bukan lagi hanya sekedar lokal, sebatas nasional (national wide) tetapi menembus dunia (word wide) dalam waktu bersamaan.
Sehingga sangat beralasan kalau ada yang menduga, upaya pelarangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi lebih pada kekhawatiran mencegah meluasnya pemberitaan investigasi secara massive di ruang publik melalui media penyiaran (baca chanel video via internet). Semoga saja munculnya beberapa pasal yang mengancam kemerdekaan pers itu, semata hanya karena ketidaktahuan semata (ignorancy, sehingga masih terbuka peluang masukan yang benar dan menyeluruh dari masyarakat pers. Seperti yang disampaikan seorang anggota Dewan, bahwa pembahasan RUU ini masih menerima masukan dari pelbagai kalangan.
Terkait dengan munculnya pasal-pasal yang mengancam kemerdekaan pers dalam RUU penyiaran ini, kita berharap ini bukanlah rangkaian langkah yang memang disengaja. Belum lepas dari ingatan kita, pada tahun 2022, lolosnya sekitar 10-14 pasal berbahaya yang berpotensi merenggut kebebasan berekspresi dalam RKUHP dan telah disahkan DPR.
Bila kita mundur ke tahun 2020, upaya merongrong kemerdekaan pers juga muncul dalam RUU Cipta Kerja atau yang di awal kemunculannya disebut "omnibus law|. Salah satu pasal RUU ini berisi pengaturan terhadap pers, denda dan lain sebagainnya, serta dimungkinkannya pembuatan peraturan pemerintah (PP) untuk mengatur pers. Beruntung gelombang protes masyarakat pers dan berbagai langkah, akhirnya pasal tersebut dihilangkan dalam UU Cipta Kerja.
Kita berharap aksi penolakan masyarakat pers di pelbagai daerah terhadap beberapa pasal dalam RUU Penyiaran juga akan berbuah sama, Dewan yang terhormat di Senayan mencabut pasal-pasal tersebut, yakni Pasal pelarangan jurnalistik investigatif dan kewenangan penyelesaian sengketa pers.
Pembajak Kemerdekaan Pers
Pada akhirnya, meski kita yakini adanya ancaman kemerdekaan pers dari luar seperti paparan diatas, namun tidak dapat disangkal juga bahwa perilaku sebagian dari 'komunitas pers' menjadi ancaman terhadap kemerdekaan pers di Indonesia.
Saat ini banyak yang hanya mau mengambil 'berkah' reformasi yakni kemudahan membuat media tanpa harus memiliki SIUP (surat izin usaha penerbitan pers), namun tanpa mau menjalankan kewajiban yang menyertainya. Banyak ditemukan media dibuat oleh orang-orang yang jauh dari kompetensinya, sehingga dalam kerjanya sama sekali tidak mencerminkan sebagai sebuah kerja jurnalistik.
Sistem Pers Indonesia dibangun di atas sistem yang kuat dengan adanya Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 199 yang memberikan kewenangan terhadap masyarakat pers untuk mengurus dirinya sendiri, tanpa intervensi. Sayangnya, kebebasan yang diberikan terhadap pers cenderung dipergunakan oleh para pelaku jurnalisme kepentingan.
Sejak reformasi, pertumbuhan media yang bak jamur di musim penghujan tidak berbanding lurus dengan kualitas pers yang baik dan kuat. Banyak media yang mengklaim sebagai media Pers hanya menjamu kepentingan kelompok tertentu atau hanya sekedar menjadi penampung rilis-rilis lembaga atau instansi pemerintah. Dengan demimian, media kita tumbuh tanpa memiliki kultur skeptis dan kritis.
Sebagai bukti Dewan Pers mencatat jumlah pengaduan masyarakat terhadap pers (pemberitaan dan perilaku jurnalisnya) setiap tahun terus meningkat. Ada yang berpendapat positif artinya kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap pers meningkat, sehingga mau mengadukan bila melihat ada kekeliruan atau kesalahan yang dilakukan pers.
Namun faktanya kenaikan jumlah pengaduan kepada Dewan Pers, de facto menunjukkan pelanggaran yang dilakukan pers naik. Umum nya elanggaran yang kerap dilakukan media dan jurnalisnya adalah tidak melakukan uji informasi, tidak verifikasi, tidak konfirmasi yang sangat mendasar dalam jurnalistik. Bahkan sejumlah media dan jurnalis terindikasi menyalahgunakan profesi dan medianya untuk "memeras".
Untuk yang tidak terkait dengan kerja jurnalistik, Dewan Pers akan mengarahkan pengadu untuk memproses pengaduannya dengan menggunakan undang-undang di luar Undang-Undang Pers. Perlindungan dengan menggunakan Undang-Undang Pers hanya berlaku bagi media pers dan jurnalis profesional yang patuh Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers.
Menjaga kualitas pers tentu menjadi kewajiban semua pihak mulai dari Dewan Pers dan konstituen pers, perusahaan Pers, pemerintah - eksekutif, legislatif dan yudikatif serta masyarakat. Semua berkewajiban tidak memberi ruang tumbuhnya pers tidak profesional, apalagi memeliharanya.
Sebagai penutup sengaja judul artikel memilih kosakata 'memberangus', yang di kbbi.web.id mengartikan berangus adalah selongsong penutup yang dipakai untuk menutup moncong seekor hewan, seperti adalah anjing atau anak sapi. Anjing diberi berangus supaya tidak menggigit atau menyalak sedangkan anak sapi diberangus supaya tidak menyusu. Kalau untuk pers, silakan cari padanannya yang pas.
(maf)