Wajah Ganda Agama: Antara Anugerah dan Bencana

Sabtu, 08 Juni 2024 - 11:45 WIB
Secara historis agama hidup dan dihidupi oleh para penganutnya yang juga terus menerus mengkosntruksi kebudayaan dalam seluruh aspek kehidupannya, baik sosial, ekonomi, ekologi dan politik, selaras ruang-waktu tantangan zamannya. Dengan demikian terjadi dialog, 'akulturasi' dan saling mempengaruhi antara nilai-nilai sakral dan universal (kemanusiaan, persaudaraan, kasih sayang, pelestarian alam, dst) dengan nilai-nilai profan dari manusia (kekuasaan, kebutuhan, kesenagan tanpa batas [materialisme-hedonism], keuntungan sebesar-besarnya [kapilalisme], dst).

Yang mengkuatirkan sering terjadi adalah ketika terjadi perselingkuhan antara manusia beragama yang memiliki berkeinginan untuk akumulasi keuntungan– kekuasaan politik dengan menggunakan legitimasi agama. Maka, hal kedua, yang dapat menjadikan agama berubah menjadi bencana, adalah praktik politisasi dan instrumentalisasi agama. sebab, praktik semacam ini membawa dampak-dampak sangat destruktif bagai nilai-nilai universal agama.

Pertama, agama akan hilang identitas nilai sakral dan universalnya sebagai sumber kedamaian, kasih-sayang, kemanusiaan, pelestaria alam, dst. Sebab, dalam praktik kontestasi politik umumnya segala cara dapat dipakai untuk mencapai tujuan meraih kekuasaan. Tak ada kawan dan lawan yang abadi, yang abadi hanya kepentingan untuk kekuasaan. Melalui intrumentalisasi agama sebagai alat politik, solidaritas dukungan konstituen politik dibangun dan tumbuhkan, seringkali dengan sentimen fanatisme dengan membajak kedalaman makna dan tafsir agama menjadi lebih eksklusif dan radikal.

Kedua, agama akan berubah lebih berwatak ekstrem dan meluruhkan jiwa moderasinya. Sebab, agama semata didudukkan sebagai instrumen dan komoditas politik demi kekuasan pribadi dan kelompok. Maka ekspresi keagamaan yang akan dilahirkan adalah politik segregasi siapa kawan dan lawan secara ekstrem. Istilah keagaman kerap serampangan dirujuk sebagai justifikasi: seperti, kafir, murtad, munafik, bid’ah, dst. Istilah yang sebenarnya multi tafsir, dimonopoli secara eksklusif untuk menarik damarkasi kebenaran seturut pengucapnya.

Ketiga, agama akan kehilangan identitasnya sebagai entitas yang mampu membangun persaudaraan antar agama. Sebab, saat agama menjadi instrument politik kekuasaan, maka akan menjadi alat pembelah efektif “kita” dan “mereka”, kawan dan lawan berlandaskan tujuan politik pragmatis penganut masing-masing.

Dengan argumen di atas maka agama dapat berubah menjadi anugerah ketika mampu menghindari dari upaya politisasi dan intsrumentalisasi agama semata untuk kekuasaan dan kepentingan pragmatis sekelompok orang/lembaga. Sebab, jika satu kelembagaan agama punya tujuan pragmatis kekuasaan, maka ia akan mudah dan berani memproduksi statemen politik atas nama “kebenaran” agamanya untuk mendukung kebijakan kekuasaan tersebut.

Tepat pada titik ini, terjadi legitimasi kebijakan kekuasaan atas nama agama. Jika kebijakan itu berupa pemberian konsesi tambang, yang dalam praktiknya lebih banyak melahirkan kerusakan ekologis, pengabaikan prinsip kemanusiaan dan keadilan sosial maka pada saat itulah terjadi praktik holy grabbing; perampasan dan penyingkiran hak rakyat dari ruang hidupnya sendiri atas nama kesucian (agama).

Nampaknya, semakin tak cukup lagi tujuan kegiatan keagamaan dan kelembagaannya semata berorientasi penebalan keimanan umat pada Tuhannya atau peningkatan kesejahteraan sosial-ekonomi umatnya semata. Namun, mesti memiliki keberanian politik menolak praktik politisasi, instrumentaslisasi agama demi tujuan pragmatis kekuasaan, terlebih jika hal itu justru menjadi topeng kapitalisasi sumberdaya alam yang terbukti memperburuk dan melahirkan bencana bagi nasib umat dan ruang hidupnya.

Sebab, hal itu akan mengingkari hakekat agama yang sejak lahirnya adalah sumber energi pembebasan kaum marginal, berwatak sosialistik yang anti eksploitasi dan akumulasi, menjunjung tinggi prinsip keadilan dan kemanusiaan (Syed H Alatas, Islam dan Sosialisme, 2022). Maka, praktik wajah ganda agama mesti menjadi refleksi penting, agama akan menjadi anugerah atau bencana, sangat ditentukan bagaimana agama diperlakukan oleh para penganutnya, difahami bagaimana, digunakan untuk apa, dan yang terpenting, untuk membela siapa?
(abd)
Halaman :
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More