Wajah Ganda Agama: Antara Anugerah dan Bencana
Sabtu, 08 Juni 2024 - 11:45 WIB
Kasus lainnya adalah penolakan warga Nahdatul Ulama di Kabupaten Rembang Jawa Tengah, didukung oleh Front Nahdiyin untuk Kedaulatan Sumberdaya Alam (FNKSDA), terhadap PT Semen Indonesia dengan melakukan istighotsah akbar di Pondok Pesantren Roudlotut Tholibin, KH Mustofa Bisri (2015). Sebab, selain telah menyebabkan konflik agraria juga mengancam ekosistem kars gunung Kendeng dan penghidupan rakyat disekitarnya, sehingga mudarat (dampak buruk, bahaya, kerusakan atau bencana) nya dianggap jauh lebih besar dibandingkan maslahat (manfaat atau kebaikannya).
Namun yang menarik adalah dalam ketiga kasus ini, terdapat kelompok Gereja/Pendeta, Pendanda dan Ulama/Kyai, di wilayah yang sama, menggunakan argumen dan dalil agama justru untuk memberi dukungan, baik langsung maupun tidak, kepada proyek-proyek pertambangan dan reklamasi tersebut.
Cerita tiga kasus di atas hanyalah 'puncak gunung es' dari kasus-lain sejenis, yang mungkin belum/tak terekspose, dan sangat mungkin lebih luas dan beragam di Indonesia. Yang tentu saja sikap keagamaan mereka juga dinamis, berubah-ubah, dulu dan sekarang, dari yang sebelumnya menolak, kadang berubah menjadi mendukung. Namun, terlihat bahwa praktik wajah ganda agama bukanlah ekspresi keagamaan yang bersifat eksklusif dari satu agama.
Hampir semua agama memiliki potensi yang sama, satu wajahnya bisa menjadi anugerah, namun wajah lainnya dapat menjadi bencana bagi hidup manusia dan alamnya. Setidaknya ada dua hal yang menjadikan agama berubah menjadi bencana yakni: Pembusukan nilai-nilai dan pemutlakan atas tafsir kebenaran agama dan praktik politisasi dan instrumentalisasi agama.
Jika merefleksikan dan mengaktualisasikan ulang gagasan Charles Kimball (2013), diperlihatkan kapan agama dapat menjadi bencana?. Dalam kasus terorisme dan aksi radikalisme, dengan berkedok agama, mereka menafsiran sepihak teks kitab suci secara skriputalistik menurut 'ideologi' yang mereka yakini secara fundamentalistik sehingga melahirkan “kebenaran suci” yang tak bisa dibantah. Di titik ini, agama telah menjadi korup/busuk.
Busuknya agama setidaknya dapat dikenali melalui beberapa tanda yaitu: Pertama, ketika suatu agama mengklaim kebenaran agamanya sebagai kebenaran tunggal dan mutlak/absolute. Kedua, adanya ketaatan yang buta kepada pemimpin keagamaan. Ketiga, agama mulai gandrung merindukan zaman ideal, lalu bertekad merealisasikan zaman tersebut ke dalam zaman sekarang. Keempat, agama membenarkan dan membiarkan terjadinya tujuan yang membenarkan segala cara. Kelima, adanya seruan perang suci demi mencapai tujuan.
Dengan demikian, hal pertama, yang menjadikan agama dapat menjadi bencana tatkala ada pembusukan nilai-nilai agama, dengan memutlakkan kebenaran dari hasil tafsir atas kitab suci, untuk tujuan-tujuan yang justru berkebalikan dengan mandat kemuliaan agama bagi manusia dan alam ciptaan-Nya. Dalam cerita tiga kasus di atas, baik Kristen, Hindu dan Islam dasar semangat perjuangan atas nama agama, baik untuk menolak maupun mendukung, sama-sama dimulai dengan menyusun argumen tafsir atas ajaran dan nilai agama dari kitab suci masing-masing.
Maka, dapat disimpulkan bahwa sumber masalah agama dapat menjadi bencana atau anugerah, ditentukan dari titik hulunya yakni 'model dan cara menafsirkan teks ajaran agama dalam kitab suci' yang ujungnya menjadi landasan keyakinan atas 'kebenaran mutlak/absolut'.
Sebaliknya, agama akan berubah menjadi anugerah, ketika mampu dihindari upaya pembusukan agama akibat dari salah tafsir dan monopoli kebenaran tafsir itu secara mutlak dan membabi buta. Untuk itu diperlukan satu bentuk tafsir agama yang lebih inklusif, manusiawi dan ekologis, selaras dengan mandat nilai dasar universal semua agama sebagai rahmat bagi semesta alam.
Pemutlakan dan absolutisme dan kebenaran tunggal dari 'tafsir agama' wajib dihindari. Sebab, sebagai manusia beragama, terikat batas imanensi-nya untuk menggapai secara penuh kebenaran ilahi yang bersifat transenden (tak terbatas). Dengan kata lain, sesama 'penafsir' agama semestinya, tidak bisa mengklaim diri memiliki 'kebenaran mutlak tentang/dari Tuhan' daripada lainnya.
Namun yang menarik adalah dalam ketiga kasus ini, terdapat kelompok Gereja/Pendeta, Pendanda dan Ulama/Kyai, di wilayah yang sama, menggunakan argumen dan dalil agama justru untuk memberi dukungan, baik langsung maupun tidak, kepada proyek-proyek pertambangan dan reklamasi tersebut.
Cerita tiga kasus di atas hanyalah 'puncak gunung es' dari kasus-lain sejenis, yang mungkin belum/tak terekspose, dan sangat mungkin lebih luas dan beragam di Indonesia. Yang tentu saja sikap keagamaan mereka juga dinamis, berubah-ubah, dulu dan sekarang, dari yang sebelumnya menolak, kadang berubah menjadi mendukung. Namun, terlihat bahwa praktik wajah ganda agama bukanlah ekspresi keagamaan yang bersifat eksklusif dari satu agama.
Hampir semua agama memiliki potensi yang sama, satu wajahnya bisa menjadi anugerah, namun wajah lainnya dapat menjadi bencana bagi hidup manusia dan alamnya. Setidaknya ada dua hal yang menjadikan agama berubah menjadi bencana yakni: Pembusukan nilai-nilai dan pemutlakan atas tafsir kebenaran agama dan praktik politisasi dan instrumentalisasi agama.
Jika merefleksikan dan mengaktualisasikan ulang gagasan Charles Kimball (2013), diperlihatkan kapan agama dapat menjadi bencana?. Dalam kasus terorisme dan aksi radikalisme, dengan berkedok agama, mereka menafsiran sepihak teks kitab suci secara skriputalistik menurut 'ideologi' yang mereka yakini secara fundamentalistik sehingga melahirkan “kebenaran suci” yang tak bisa dibantah. Di titik ini, agama telah menjadi korup/busuk.
Busuknya agama setidaknya dapat dikenali melalui beberapa tanda yaitu: Pertama, ketika suatu agama mengklaim kebenaran agamanya sebagai kebenaran tunggal dan mutlak/absolute. Kedua, adanya ketaatan yang buta kepada pemimpin keagamaan. Ketiga, agama mulai gandrung merindukan zaman ideal, lalu bertekad merealisasikan zaman tersebut ke dalam zaman sekarang. Keempat, agama membenarkan dan membiarkan terjadinya tujuan yang membenarkan segala cara. Kelima, adanya seruan perang suci demi mencapai tujuan.
Dengan demikian, hal pertama, yang menjadikan agama dapat menjadi bencana tatkala ada pembusukan nilai-nilai agama, dengan memutlakkan kebenaran dari hasil tafsir atas kitab suci, untuk tujuan-tujuan yang justru berkebalikan dengan mandat kemuliaan agama bagi manusia dan alam ciptaan-Nya. Dalam cerita tiga kasus di atas, baik Kristen, Hindu dan Islam dasar semangat perjuangan atas nama agama, baik untuk menolak maupun mendukung, sama-sama dimulai dengan menyusun argumen tafsir atas ajaran dan nilai agama dari kitab suci masing-masing.
Maka, dapat disimpulkan bahwa sumber masalah agama dapat menjadi bencana atau anugerah, ditentukan dari titik hulunya yakni 'model dan cara menafsirkan teks ajaran agama dalam kitab suci' yang ujungnya menjadi landasan keyakinan atas 'kebenaran mutlak/absolut'.
Sebaliknya, agama akan berubah menjadi anugerah, ketika mampu dihindari upaya pembusukan agama akibat dari salah tafsir dan monopoli kebenaran tafsir itu secara mutlak dan membabi buta. Untuk itu diperlukan satu bentuk tafsir agama yang lebih inklusif, manusiawi dan ekologis, selaras dengan mandat nilai dasar universal semua agama sebagai rahmat bagi semesta alam.
Pemutlakan dan absolutisme dan kebenaran tunggal dari 'tafsir agama' wajib dihindari. Sebab, sebagai manusia beragama, terikat batas imanensi-nya untuk menggapai secara penuh kebenaran ilahi yang bersifat transenden (tak terbatas). Dengan kata lain, sesama 'penafsir' agama semestinya, tidak bisa mengklaim diri memiliki 'kebenaran mutlak tentang/dari Tuhan' daripada lainnya.
Lihat Juga :
tulis komentar anda