Wajah Ganda Agama: Antara Anugerah dan Bencana

Sabtu, 08 Juni 2024 - 11:45 WIB
loading...
Wajah Ganda Agama: Antara Anugerah dan Bencana
Eko Cahyono. FOTO/DOK.PRIBADI
A A A
Eko Cahyono
Peneliti/Pegiat Sajogyo Institute
Mahasiswa Doktoral Sosiologi Pedesaan IPB

PEMBERIAN izin konsesi pertambangan pemerintah kepada ormas keagamaan menuai ragam kritik. Sebab kebijakan tersebut dikuatirkan justru akan melanjutkan dan memperburuk potret krisis sosial-ekologis dan agraria akibat rezim keruk tambang. Hingga kini, masih sulit menemukan praktik industri ekstraktif pertambangan di Tanah Air yang hormat kemanusiaan, keadilan dan keberlanjutan ekologis.Sebaliknya, marginalisasi, eksklusi, praktik korupsi, pencemaran (air dan udara), perampasan tanah, konflik agraria, perusakan ruang hidup rakyat justru yang sering tampil dominan (TII 2024, Jatam 2024).

Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP No 96/2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Batubara, Pasal 83A ormas keagamaan sah menjadi prioritas pemegang izin usaha. Sebab, pasal itu menegaskan bahwa wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) dapat dilakukan penawaran secara prioritas kepada badan usaha yang dimiliki ormas keagamaan.

Berdasarkan pasal 83A ayat (2), WIUPK yang dapat dikelola oleh badan usaha ormas keagamaan merupakan wilayah tambang batubara yang sudah pernah beroperasi atau sudah pernah berproduksi. Sebab, sejak 2022, pemerintah mengevaluasi izin usaha pertambangan yang diberikan kepada swasta dan menemukan sebanyak 2.078 izin usaha pertambangan (IUP) yang dianggap tidak melaksanakan rencana kerja dengan baik. Izin usaha inilah yang bisa digarap ormas keagamaan.

Melampuai debat tentang mampu tidaknya suatu ormas keagamaan mengelola industri tambang dengan baik dan benar, mungkin penting satu refleksi serius soal mengapa praktik agama bisa berwajah ganda? Di satu sisi, semua agama dengan ormas keagamaan, pasti memiliki dalil sebagai penyeru utama pelestarian alam, penegakan keadilan dan kemanusiaan. Namun disisi lain, kenapa atas nama agama, juga kerap menjadi pendukung dan bahkan legitimator dari praktik buruk kebijakan pembangunan perusak alam dan mengabaikan keadilan dan kemanusiaan, sekaligus?

Hasil studi awal ICRS-UGM dan Sajogyo Institute (2020) berjudul “Agama Dan Pembangunan Wajah Ganda Agama Dalam 10 Potret Kasus di Indonesia” memperlihatkan dengan jelas praktik baik dan buruk atas nama agama itu. Sebut saja misalnya penolakan pertambangan oleh gereja katolik di Manggarai (2009). Para pimpinan Gereja Katolik mengorganisir masyarakat untuk menuntut penghentian aktivitas pertambangan oleh perusahaan. Diikuti oleh pernyataan Uskup Lenteng bahwa Keuskupan Ruteng merupakan gereja anti-tambang (2014).

Tahun 2018, terbentuk Ikatan Masyarakat Adat Manggarai Anti Tambang (Imamat) yang mendeklarasikan diri sebagai kelompok peduli masalah pertambangan. Kasus lainnya, penolakan para Pendanda Hindu Bali bersama ForBali terhadap reklamasi teluk Banoa (2016). Berdasarkan Keputusan Pesamuan Sabha Pandhita, para pedanda menyebutkan di wilayah kawasan reklamasi terdapat wilayah-wilayah suci yang masih digunakan umat Hindu di sekitar Teluk Banoa melakukan ritual keagamaan.

Kasus lainnya adalah penolakan warga Nahdatul Ulama di Kabupaten Rembang Jawa Tengah, didukung oleh Front Nahdiyin untuk Kedaulatan Sumberdaya Alam (FNKSDA), terhadap PT Semen Indonesia dengan melakukan istighotsah akbar di Pondok Pesantren Roudlotut Tholibin, KH Mustofa Bisri (2015). Sebab, selain telah menyebabkan konflik agraria juga mengancam ekosistem kars gunung Kendeng dan penghidupan rakyat disekitarnya, sehingga mudarat (dampak buruk, bahaya, kerusakan atau bencana) nya dianggap jauh lebih besar dibandingkan maslahat (manfaat atau kebaikannya).

Namun yang menarik adalah dalam ketiga kasus ini, terdapat kelompok Gereja/Pendeta, Pendanda dan Ulama/Kyai, di wilayah yang sama, menggunakan argumen dan dalil agama justru untuk memberi dukungan, baik langsung maupun tidak, kepada proyek-proyek pertambangan dan reklamasi tersebut.

Cerita tiga kasus di atas hanyalah 'puncak gunung es' dari kasus-lain sejenis, yang mungkin belum/tak terekspose, dan sangat mungkin lebih luas dan beragam di Indonesia. Yang tentu saja sikap keagamaan mereka juga dinamis, berubah-ubah, dulu dan sekarang, dari yang sebelumnya menolak, kadang berubah menjadi mendukung. Namun, terlihat bahwa praktik wajah ganda agama bukanlah ekspresi keagamaan yang bersifat eksklusif dari satu agama.

Hampir semua agama memiliki potensi yang sama, satu wajahnya bisa menjadi anugerah, namun wajah lainnya dapat menjadi bencana bagi hidup manusia dan alamnya. Setidaknya ada dua hal yang menjadikan agama berubah menjadi bencana yakni: Pembusukan nilai-nilai dan pemutlakan atas tafsir kebenaran agama dan praktik politisasi dan instrumentalisasi agama.

Jika merefleksikan dan mengaktualisasikan ulang gagasan Charles Kimball (2013), diperlihatkan kapan agama dapat menjadi bencana?. Dalam kasus terorisme dan aksi radikalisme, dengan berkedok agama, mereka menafsiran sepihak teks kitab suci secara skriputalistik menurut 'ideologi' yang mereka yakini secara fundamentalistik sehingga melahirkan “kebenaran suci” yang tak bisa dibantah. Di titik ini, agama telah menjadi korup/busuk.

Busuknya agama setidaknya dapat dikenali melalui beberapa tanda yaitu: Pertama, ketika suatu agama mengklaim kebenaran agamanya sebagai kebenaran tunggal dan mutlak/absolute. Kedua, adanya ketaatan yang buta kepada pemimpin keagamaan. Ketiga, agama mulai gandrung merindukan zaman ideal, lalu bertekad merealisasikan zaman tersebut ke dalam zaman sekarang. Keempat, agama membenarkan dan membiarkan terjadinya tujuan yang membenarkan segala cara. Kelima, adanya seruan perang suci demi mencapai tujuan.

Dengan demikian, hal pertama, yang menjadikan agama dapat menjadi bencana tatkala ada pembusukan nilai-nilai agama, dengan memutlakkan kebenaran dari hasil tafsir atas kitab suci, untuk tujuan-tujuan yang justru berkebalikan dengan mandat kemuliaan agama bagi manusia dan alam ciptaan-Nya. Dalam cerita tiga kasus di atas, baik Kristen, Hindu dan Islam dasar semangat perjuangan atas nama agama, baik untuk menolak maupun mendukung, sama-sama dimulai dengan menyusun argumen tafsir atas ajaran dan nilai agama dari kitab suci masing-masing.

Maka, dapat disimpulkan bahwa sumber masalah agama dapat menjadi bencana atau anugerah, ditentukan dari titik hulunya yakni 'model dan cara menafsirkan teks ajaran agama dalam kitab suci' yang ujungnya menjadi landasan keyakinan atas 'kebenaran mutlak/absolut'.

Sebaliknya, agama akan berubah menjadi anugerah, ketika mampu dihindari upaya pembusukan agama akibat dari salah tafsir dan monopoli kebenaran tafsir itu secara mutlak dan membabi buta. Untuk itu diperlukan satu bentuk tafsir agama yang lebih inklusif, manusiawi dan ekologis, selaras dengan mandat nilai dasar universal semua agama sebagai rahmat bagi semesta alam.
Pemutlakan dan absolutisme dan kebenaran tunggal dari 'tafsir agama' wajib dihindari. Sebab, sebagai manusia beragama, terikat batas imanensi-nya untuk menggapai secara penuh kebenaran ilahi yang bersifat transenden (tak terbatas). Dengan kata lain, sesama 'penafsir' agama semestinya, tidak bisa mengklaim diri memiliki 'kebenaran mutlak tentang/dari Tuhan' daripada lainnya.

Secara historis agama hidup dan dihidupi oleh para penganutnya yang juga terus menerus mengkosntruksi kebudayaan dalam seluruh aspek kehidupannya, baik sosial, ekonomi, ekologi dan politik, selaras ruang-waktu tantangan zamannya. Dengan demikian terjadi dialog, 'akulturasi' dan saling mempengaruhi antara nilai-nilai sakral dan universal (kemanusiaan, persaudaraan, kasih sayang, pelestarian alam, dst) dengan nilai-nilai profan dari manusia (kekuasaan, kebutuhan, kesenagan tanpa batas [materialisme-hedonism], keuntungan sebesar-besarnya [kapilalisme], dst).

Yang mengkuatirkan sering terjadi adalah ketika terjadi perselingkuhan antara manusia beragama yang memiliki berkeinginan untuk akumulasi keuntungan– kekuasaan politik dengan menggunakan legitimasi agama. Maka, hal kedua, yang dapat menjadikan agama berubah menjadi bencana, adalah praktik politisasi dan instrumentalisasi agama. sebab, praktik semacam ini membawa dampak-dampak sangat destruktif bagai nilai-nilai universal agama.

Pertama, agama akan hilang identitas nilai sakral dan universalnya sebagai sumber kedamaian, kasih-sayang, kemanusiaan, pelestaria alam, dst. Sebab, dalam praktik kontestasi politik umumnya segala cara dapat dipakai untuk mencapai tujuan meraih kekuasaan. Tak ada kawan dan lawan yang abadi, yang abadi hanya kepentingan untuk kekuasaan. Melalui intrumentalisasi agama sebagai alat politik, solidaritas dukungan konstituen politik dibangun dan tumbuhkan, seringkali dengan sentimen fanatisme dengan membajak kedalaman makna dan tafsir agama menjadi lebih eksklusif dan radikal.

Kedua, agama akan berubah lebih berwatak ekstrem dan meluruhkan jiwa moderasinya. Sebab, agama semata didudukkan sebagai instrumen dan komoditas politik demi kekuasan pribadi dan kelompok. Maka ekspresi keagamaan yang akan dilahirkan adalah politik segregasi siapa kawan dan lawan secara ekstrem. Istilah keagaman kerap serampangan dirujuk sebagai justifikasi: seperti, kafir, murtad, munafik, bid’ah, dst. Istilah yang sebenarnya multi tafsir, dimonopoli secara eksklusif untuk menarik damarkasi kebenaran seturut pengucapnya.

Ketiga, agama akan kehilangan identitasnya sebagai entitas yang mampu membangun persaudaraan antar agama. Sebab, saat agama menjadi instrument politik kekuasaan, maka akan menjadi alat pembelah efektif “kita” dan “mereka”, kawan dan lawan berlandaskan tujuan politik pragmatis penganut masing-masing.

Dengan argumen di atas maka agama dapat berubah menjadi anugerah ketika mampu menghindari dari upaya politisasi dan intsrumentalisasi agama semata untuk kekuasaan dan kepentingan pragmatis sekelompok orang/lembaga. Sebab, jika satu kelembagaan agama punya tujuan pragmatis kekuasaan, maka ia akan mudah dan berani memproduksi statemen politik atas nama “kebenaran” agamanya untuk mendukung kebijakan kekuasaan tersebut.

Tepat pada titik ini, terjadi legitimasi kebijakan kekuasaan atas nama agama. Jika kebijakan itu berupa pemberian konsesi tambang, yang dalam praktiknya lebih banyak melahirkan kerusakan ekologis, pengabaikan prinsip kemanusiaan dan keadilan sosial maka pada saat itulah terjadi praktik holy grabbing; perampasan dan penyingkiran hak rakyat dari ruang hidupnya sendiri atas nama kesucian (agama).

Nampaknya, semakin tak cukup lagi tujuan kegiatan keagamaan dan kelembagaannya semata berorientasi penebalan keimanan umat pada Tuhannya atau peningkatan kesejahteraan sosial-ekonomi umatnya semata. Namun, mesti memiliki keberanian politik menolak praktik politisasi, instrumentaslisasi agama demi tujuan pragmatis kekuasaan, terlebih jika hal itu justru menjadi topeng kapitalisasi sumberdaya alam yang terbukti memperburuk dan melahirkan bencana bagi nasib umat dan ruang hidupnya.

Sebab, hal itu akan mengingkari hakekat agama yang sejak lahirnya adalah sumber energi pembebasan kaum marginal, berwatak sosialistik yang anti eksploitasi dan akumulasi, menjunjung tinggi prinsip keadilan dan kemanusiaan (Syed H Alatas, Islam dan Sosialisme, 2022). Maka, praktik wajah ganda agama mesti menjadi refleksi penting, agama akan menjadi anugerah atau bencana, sangat ditentukan bagaimana agama diperlakukan oleh para penganutnya, difahami bagaimana, digunakan untuk apa, dan yang terpenting, untuk membela siapa?
(abd)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1095 seconds (0.1#10.140)
pixels