Komite Baru, Komitmen Baru
Kamis, 20 Agustus 2020 - 14:18 WIB
Indonesia sudah sepatutnya bersyukur. Bukan saja karena para pakarnya mampu dan dengan sabar meyakinkan pemerintah untuk membuat kebijakan berbasis ilmu. Namun, secara kebijakan, metode ini sudah dilembagakan pada UU Nomor 11/2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek) yang diarahkan untuk mengatasi tiga masalah berulang dalam pengambilan kebijakan: kurangnya bukti ilmiah, kurangnya pertimbangan sosial, dan kurangnya orientasi jangka panjang.
Pasal 6 (h) dari UU tersebut menyebutkan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi berkedudukan sebagai modal dan investasi jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang pembangunan nasional untuk menjadi dasar dalam perumusan kebijakan dan menjadi solusi masalah pembangunan, dengan tujuan untuk mencapai tujuan negara, meningkatkan daya saing dan kemandirian bangsa.
Dasar perundangan tersebut dapat semakin didayagunakan Presiden Jokowi untuk meningkatkan efektivitas Pemerintahannya dengan indikator efektivitas kebijakannya. Premis ini antara lain dikemukakan oleh Peter Shuck, guru besar Princeton, dalam bukunya Why Government Fail So Often (2014) dan guru kedayasaingan global Michael E. Porter pada Kata Pengantar buku Dynamics Governance-nya Bong Sion Neo dan Geraldine Chen (2007). Bahwa kegagalan pemerintah terlalu sering terjadi dan efeknya acapkali katastrofik, di mana penyebab utamanya karena pemerintah membuat kebijakan yang menyedihkan rakyatnya.
Mindset
Diakui atau tidak, Presiden Jokowi secara frontal merubah mindset pembuat kebijakan di Indonesia yang biasanya cukup mengandalkan kemauan dan bisikan, menjadi kebijakan yang berbasis ilmu pengetahuan. Lupakan sejenak kegalauan pakar dari Universitas Oxford, Tom Nichols dalam The End of Expertise (2017), karena di Indonesia, kita menyepakati bahwa keahlian dan kepakaran perlu menjadi dasar pembuatan kebijakan publik. Hal yang sudah lama diketahui oleh kaum Muslim, karena dicatat pada hadits Bukhari Nomor 6015, bahwa jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu.
Kiranya kejadian Covid-19 ini mengingatkan kita untuk setia kepada ajaran luhur, prinsip intelektual, dan amanat perundang-undangan yang kita miliki bersama. Kiranya ini menjadi pembaharuan komitmen bagi policy maker Indonesia.
Pasal 6 (h) dari UU tersebut menyebutkan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi berkedudukan sebagai modal dan investasi jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang pembangunan nasional untuk menjadi dasar dalam perumusan kebijakan dan menjadi solusi masalah pembangunan, dengan tujuan untuk mencapai tujuan negara, meningkatkan daya saing dan kemandirian bangsa.
Dasar perundangan tersebut dapat semakin didayagunakan Presiden Jokowi untuk meningkatkan efektivitas Pemerintahannya dengan indikator efektivitas kebijakannya. Premis ini antara lain dikemukakan oleh Peter Shuck, guru besar Princeton, dalam bukunya Why Government Fail So Often (2014) dan guru kedayasaingan global Michael E. Porter pada Kata Pengantar buku Dynamics Governance-nya Bong Sion Neo dan Geraldine Chen (2007). Bahwa kegagalan pemerintah terlalu sering terjadi dan efeknya acapkali katastrofik, di mana penyebab utamanya karena pemerintah membuat kebijakan yang menyedihkan rakyatnya.
Mindset
Diakui atau tidak, Presiden Jokowi secara frontal merubah mindset pembuat kebijakan di Indonesia yang biasanya cukup mengandalkan kemauan dan bisikan, menjadi kebijakan yang berbasis ilmu pengetahuan. Lupakan sejenak kegalauan pakar dari Universitas Oxford, Tom Nichols dalam The End of Expertise (2017), karena di Indonesia, kita menyepakati bahwa keahlian dan kepakaran perlu menjadi dasar pembuatan kebijakan publik. Hal yang sudah lama diketahui oleh kaum Muslim, karena dicatat pada hadits Bukhari Nomor 6015, bahwa jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu.
Kiranya kejadian Covid-19 ini mengingatkan kita untuk setia kepada ajaran luhur, prinsip intelektual, dan amanat perundang-undangan yang kita miliki bersama. Kiranya ini menjadi pembaharuan komitmen bagi policy maker Indonesia.
(ras)
tulis komentar anda