Komite Baru, Komitmen Baru
Kamis, 20 Agustus 2020 - 14:18 WIB
Riant Nugroho
Direktur Rumah Reformasi Kebijakan Indonesia
SETELAH lama ditunggu para pakar kebijakan, akhirnya Presiden menetapkan kebijakan kelembagaan yang lebih kuat untuk merespon pandemi Covid-19, dengan menerbitkan Perpres Nomor 82/2020 tentang Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN), yang secara efektif mencabut Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 7/2020 jo Keppres Nomor 9/2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 (GTPPC).
GTPPC memang tidak efektif, karena tidak mampu mengoordinasikan dan mengintegrasikan gerak melawan pandemik Covid-19. Sementara Presiden sudah mengarahkan untuk memulai new normal, untuk mencegah resesi ekonomi, bersamaan dengan itu, kasus positif Covid-19 terus meningkat. Per 20 Juli, saat Perpres diterbitkan, kasusnya bertambah sebanyak 1.693 orang sehingga total menjadi 88.214 orang terinfeksi Covid-19. Dari total jumlah tersebut 46.977 orang dinyatakan sembuh dan 4.239 orang meninggal dunia. Angka kumulatif itu berdasarkan data World O Meter, melampaui kasus korona di China. Pada hari yang sama World O Meter mencatat kasus positif di China sebanyak 83.660. Meski berdasarkan data WHO pada hari yang sama, kasus China masih lebih besar dari Indonesia, di mana kasus positif di China sebanyak 85.937.
Kebijakan Berbasis Ilmu Pengetahuan
Eskalasi positif Covid-19 rupanya dilatarbelakangi kebijakan pada tingkat lokal yang kurang memperhatikan data dan masukan pakar. Presiden Jokowi mengingatkan saat berbicara di dua provinsi dengan kasus terbesar, di Jawa Timur (25/6) dan Jawa Tengah (30/6), agar setiap kebijakan penanganan Covid-19 melibatkan dan mendengar saran para pakar. Bahkan, ditegaskan agar pemerintah (“kita”) tidak membuat kebijakan atau policy tanpa mendengarkan saran dari pakar, karena hal itu berbahaya.
Pernyataan presiden sesungguhnya menegaskan bahwa setiap kebijakan publik di Indonesia harus berdasarkan ilmu pengetahuan. Komitmen tersebut diperkuat dengan bukti digantinya kebijakan pembentukan GTPPC yang ditengarai tidak berdasar pertimbangan pakar, yang hasilnya tidak efektif, kebijakan dan komunikasi publik yang semrawut pada tingkat pusat dan turun ke tingkat daerah. Mengapa? Dari pertimbangan kelembagaan, tidak mungkin memberi delegasi pekerjaan yang begitu tinggi kepada pejabat selevel Kepala Badan.
Kegalauan ini sudah berkembang di kalangan ilmuwan kebijakan publik, sehingga Perpres Nomor 82/2020, yang jelas mempertimbangan ilmu administrasi negara, lepas siapa pakar yang didengar pendapatnya. KCPEN adalah kelembagaan yang “setengah level” di bawah presiden, sehingga memiliki modalitas yang tinggi untuk menyelesaikan tugas tugas kembar: Covid-19 dan ancaman resesi ekonomi.
Dasar Perundangan
Direktur Rumah Reformasi Kebijakan Indonesia
SETELAH lama ditunggu para pakar kebijakan, akhirnya Presiden menetapkan kebijakan kelembagaan yang lebih kuat untuk merespon pandemi Covid-19, dengan menerbitkan Perpres Nomor 82/2020 tentang Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN), yang secara efektif mencabut Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 7/2020 jo Keppres Nomor 9/2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 (GTPPC).
GTPPC memang tidak efektif, karena tidak mampu mengoordinasikan dan mengintegrasikan gerak melawan pandemik Covid-19. Sementara Presiden sudah mengarahkan untuk memulai new normal, untuk mencegah resesi ekonomi, bersamaan dengan itu, kasus positif Covid-19 terus meningkat. Per 20 Juli, saat Perpres diterbitkan, kasusnya bertambah sebanyak 1.693 orang sehingga total menjadi 88.214 orang terinfeksi Covid-19. Dari total jumlah tersebut 46.977 orang dinyatakan sembuh dan 4.239 orang meninggal dunia. Angka kumulatif itu berdasarkan data World O Meter, melampaui kasus korona di China. Pada hari yang sama World O Meter mencatat kasus positif di China sebanyak 83.660. Meski berdasarkan data WHO pada hari yang sama, kasus China masih lebih besar dari Indonesia, di mana kasus positif di China sebanyak 85.937.
Kebijakan Berbasis Ilmu Pengetahuan
Eskalasi positif Covid-19 rupanya dilatarbelakangi kebijakan pada tingkat lokal yang kurang memperhatikan data dan masukan pakar. Presiden Jokowi mengingatkan saat berbicara di dua provinsi dengan kasus terbesar, di Jawa Timur (25/6) dan Jawa Tengah (30/6), agar setiap kebijakan penanganan Covid-19 melibatkan dan mendengar saran para pakar. Bahkan, ditegaskan agar pemerintah (“kita”) tidak membuat kebijakan atau policy tanpa mendengarkan saran dari pakar, karena hal itu berbahaya.
Pernyataan presiden sesungguhnya menegaskan bahwa setiap kebijakan publik di Indonesia harus berdasarkan ilmu pengetahuan. Komitmen tersebut diperkuat dengan bukti digantinya kebijakan pembentukan GTPPC yang ditengarai tidak berdasar pertimbangan pakar, yang hasilnya tidak efektif, kebijakan dan komunikasi publik yang semrawut pada tingkat pusat dan turun ke tingkat daerah. Mengapa? Dari pertimbangan kelembagaan, tidak mungkin memberi delegasi pekerjaan yang begitu tinggi kepada pejabat selevel Kepala Badan.
Kegalauan ini sudah berkembang di kalangan ilmuwan kebijakan publik, sehingga Perpres Nomor 82/2020, yang jelas mempertimbangan ilmu administrasi negara, lepas siapa pakar yang didengar pendapatnya. KCPEN adalah kelembagaan yang “setengah level” di bawah presiden, sehingga memiliki modalitas yang tinggi untuk menyelesaikan tugas tugas kembar: Covid-19 dan ancaman resesi ekonomi.
Dasar Perundangan
tulis komentar anda