Hari Bakti Dokter Indonesia dan Penggalangan Dana Pendidikan
Jum'at, 17 Mei 2024 - 15:36 WIB
Bangsa yang memiliki jati diri dan karakter yang baik adalah bangsa yang rukun satu sama lain, bangsa yang mampu menyelesaikan masalahnya secara damai, demokratis, dan civilized. Banyak hal yang mesti kita bangun sehingga kita menjadi bangsa yang memiliki peradaban yang tinggi. Dan tentunya IDI, sebagai bagian dari komponen bangsa, ikut memperkuat, membangun, mencapai tiga syarat fundamental ini.
Berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh jajaran IDI untuk menyongsong Seabad Kebangkitan Nasional dan Seabad Kiprah Dokter Indonesia 2008, namun yang merupakan inti HBDI ketika itu adalah “pembebasan jasa medik” bagi seluruh dokter Indonesia yang berpraktik pada hari H (20 Mei 2008). Pembebasan jasa medik inilah yang merupakan wujud nyata dari bakti dokter untuk bangsanya. Atau yang lebih populer dengan "Dokter untuk Bangsa".
Sebenarnya ide pembebasan jasa medik 2008 itu sedikit banyaknya terinspirasi oleh gerakan penggalangan dana pendidikan yang dimotori dr. Wahidin Soediro Hoesodo menjelang berdirinya perhimpunan Boedi Oetomo, 20 Mei 1908.
Ketika orang-orang desa sudah mampu membiayai pengeluaran untuk membeli pakaiaan, makan, dan perjalanan pulang pergi ke sekolah bagi anak-anaknya maka mereka tidak lagi merasa puas dengan pendidikan anak di desanya ataupun desa terdekat, yang hanya mengandalkan guru-guru partikelir. Mereka kemudian tergerak untuk mengirim anaknya bersekolah ke kota, yang menurutnya memiliki lembaga pendidikan yang lebih baik.
Dalam perjalanan menuju ke kota, kadang anaknya harus berjalan kaki sangat jauh. Ada kalanya naik kereta api, kapal laut, dan seterusnya. Selama menempuh pendidikan di kota, anaknya dititipkan kepada sanak keluarga atau kepada seorang kenalan.
Mereka yang pegawai negeri (ambtenaar) lebih suka menyekolahkan anaknya di sekolah kelas satu dibanding di sekolah kelas dua. Dan bila keuangannya mengizinkan mereka mengusahakan agar anaknya dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Bahkan, ada pula yang menyuruh anaknya mengikuti pelajaran bahasa Belanda pada guru-guru bangsa Eropa atau mengkuti kursus-kursus kecakapan dan keterampilan lainnya.
Beberapa wedana (kapala distrik) dan asisten wedana (kepala sub-distrik) rela mengeluarkan biaya yang sangat tinggi untuk kos (penginapan dan makan) anaknya pada orang Eropa. Dengan harapan anaknya mendapat keuntungan berada di lingkungan orang-orang Eropa. Walau tidak sedikit pula yang kecewa sebab apa yang diharapkan ternyata tidak terpenuhi.
Sekalipun ada anak-anak Boemipoetra yang memiliki kesempatan seperti di atas, namun jumlahnya sangat terbatas. Kebanyakan orang tua betapa pun besar hasratnya untuk meningkatkan pendidikan anaknya, selalu saja terkendala, sebab biaya yang diperlukan terbilang sangat tinggi. Untuk menitip anak di kota saja memerlukan biaya antara f.20,- dan f.25- setiap bulannya.
Berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh jajaran IDI untuk menyongsong Seabad Kebangkitan Nasional dan Seabad Kiprah Dokter Indonesia 2008, namun yang merupakan inti HBDI ketika itu adalah “pembebasan jasa medik” bagi seluruh dokter Indonesia yang berpraktik pada hari H (20 Mei 2008). Pembebasan jasa medik inilah yang merupakan wujud nyata dari bakti dokter untuk bangsanya. Atau yang lebih populer dengan "Dokter untuk Bangsa".
Sebenarnya ide pembebasan jasa medik 2008 itu sedikit banyaknya terinspirasi oleh gerakan penggalangan dana pendidikan yang dimotori dr. Wahidin Soediro Hoesodo menjelang berdirinya perhimpunan Boedi Oetomo, 20 Mei 1908.
Mengapa Perlu Dana Pendidikan?
Ketika orang-orang desa sudah mampu membiayai pengeluaran untuk membeli pakaiaan, makan, dan perjalanan pulang pergi ke sekolah bagi anak-anaknya maka mereka tidak lagi merasa puas dengan pendidikan anak di desanya ataupun desa terdekat, yang hanya mengandalkan guru-guru partikelir. Mereka kemudian tergerak untuk mengirim anaknya bersekolah ke kota, yang menurutnya memiliki lembaga pendidikan yang lebih baik.
Dalam perjalanan menuju ke kota, kadang anaknya harus berjalan kaki sangat jauh. Ada kalanya naik kereta api, kapal laut, dan seterusnya. Selama menempuh pendidikan di kota, anaknya dititipkan kepada sanak keluarga atau kepada seorang kenalan.
Baca Juga
Mereka yang pegawai negeri (ambtenaar) lebih suka menyekolahkan anaknya di sekolah kelas satu dibanding di sekolah kelas dua. Dan bila keuangannya mengizinkan mereka mengusahakan agar anaknya dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Bahkan, ada pula yang menyuruh anaknya mengikuti pelajaran bahasa Belanda pada guru-guru bangsa Eropa atau mengkuti kursus-kursus kecakapan dan keterampilan lainnya.
Beberapa wedana (kapala distrik) dan asisten wedana (kepala sub-distrik) rela mengeluarkan biaya yang sangat tinggi untuk kos (penginapan dan makan) anaknya pada orang Eropa. Dengan harapan anaknya mendapat keuntungan berada di lingkungan orang-orang Eropa. Walau tidak sedikit pula yang kecewa sebab apa yang diharapkan ternyata tidak terpenuhi.
Sekalipun ada anak-anak Boemipoetra yang memiliki kesempatan seperti di atas, namun jumlahnya sangat terbatas. Kebanyakan orang tua betapa pun besar hasratnya untuk meningkatkan pendidikan anaknya, selalu saja terkendala, sebab biaya yang diperlukan terbilang sangat tinggi. Untuk menitip anak di kota saja memerlukan biaya antara f.20,- dan f.25- setiap bulannya.
Lihat Juga :
tulis komentar anda