Masalah Hukum Kejahatan Siber
Selasa, 30 April 2024 - 08:51 WIB
Romli Atmasasmita
PERKEMBANGAN siber pada abad ke -21 ini semakin meningkat dengan pesat tanpa jeda sebagai akibat pengaruh hubungan lalu lintas perdagangan antar negara di dunia yang didukung perkembangan teknologi modern sehingga melampaui batas teritorial antar negara dengan cepat. Selain perkembangan tersebut memberikan kontribusi sangat positif bagi tujuan menciptakan kesejahteraan sosial melalui peningkatan perekonomian nasional masing-masing negara, tidak luput pula dari penggunaan siber untuk tujuan kejahatan baik bersifat lokal maupun transnasional.
Perkembangan terakhir dan terkini dalam dunia kejahatan telah diantisipasi oleh Masyarakat Ekonomi Eropa (OECD) yang telah menyelenggarakan konferensi tentang kejahatan siber pada Tahun 2001. Di dalam konferensi tersebut diakui adanya perkembangan kejahatan siber dengan berbagai modifikasi jenis-jenisnya dan telah menyampaikan rekomendasi kepada setiap negara anggota Uni Eropa untuk melakukan kerja sama untuk mencegah dan penindakan.
Kejahatan siber di Indonesia belum diatur secara khusus dalam suatu UU khusus tentang tindak pidana siber, melainkan di dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik yang termasuk UU administratif yang diperkuat sanksi pidana (administrative penal law). Hal ini berbeda secara mendasar, karena dengan UU khusus tersebut perlakuan hukum secara khusus dan ditujukan terhadap kejahatan siber yang berdampak serius dan ancaman terhadap ketertiban dan keamanan nasional di segala lini kehidupan bangsa Indonesia, terutama ancaman dari luar.
Jika hanya dengan UU ITE yang bersifat regulative administrative maka pengarusutamaan daripadanya adalah menjaga dan memelihara agar transaksi berbasis elektronik tetap aman dan tidak diganggu oleh penyalahgunaan sarana elektronik semata-mata. Dengan UU pidana khusus diharapkan aspek hukum materiil maupun hukum formil (prosedur) – mempertahankan dan menjaga hukum materiil dari ancaman tindak pidana siber yang dengan sengaja dan melawan hukum bertujuan merugikan kepentingan nasional, di samping bertujuan memperoleh keuntungan daripadanya.
Masa depan Indonesia termasuk proses Pemilu 2029 yang akan datang sangat ditentukan oleh siapa yang menguasai teknologi siber. Jika dikuasai oleh kelompok-kelompok dengan tujuan kejahatan atau kecurangan pemilu maka akan berdampak buruk terhadap pemilu yang jujur, adil, bebas, dan rahasia, kecuali sebaliknya.
Dampak negatif juga akan terjadi dalam bidang perekonomian nasional dan keamanan nasional. Keberadaan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) memiliki fungsi regulasi dan preventif semata-mata, tidak memiliki fungsi represif. Begitu pula fungsi Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) hanya sebagai pemantau/pengawas lalu lintas siber dari dan ke dalam negeri juga tidak memiliki fungsi represif, akan tetapi memiliki fungsi perbantuan terhadap aparatur penegakan hukum dan Kemenkominfo.
Perkembangan pesat tindak pidana siber secara global saat ini harus dihadapi melalui 4 (empat) strategi terstruktur dan sistematis. Pertama, strategi preemtif yang menjadi tugas BSSN . Kedua, strategi preventif detention yang menjadi tugas Polri. Dalam rangka pencegahan, Polri dapat melakukan penahanan paling lama 3 x 3r jam untuk menentukan kelanjutan proses penanganan dugaan kasus tindak pidana siber. Ketiga, strategi represif yang secara khusus ditujukan menegakkan hukum dan melindungi kepentingan masyarakat luas dari ancaman dan serangan tindak pidana siber, dilengkapi dengan ancaman pidana berbasis stelsel minimum khusus dan maksimum umum.
PERKEMBANGAN siber pada abad ke -21 ini semakin meningkat dengan pesat tanpa jeda sebagai akibat pengaruh hubungan lalu lintas perdagangan antar negara di dunia yang didukung perkembangan teknologi modern sehingga melampaui batas teritorial antar negara dengan cepat. Selain perkembangan tersebut memberikan kontribusi sangat positif bagi tujuan menciptakan kesejahteraan sosial melalui peningkatan perekonomian nasional masing-masing negara, tidak luput pula dari penggunaan siber untuk tujuan kejahatan baik bersifat lokal maupun transnasional.
Perkembangan terakhir dan terkini dalam dunia kejahatan telah diantisipasi oleh Masyarakat Ekonomi Eropa (OECD) yang telah menyelenggarakan konferensi tentang kejahatan siber pada Tahun 2001. Di dalam konferensi tersebut diakui adanya perkembangan kejahatan siber dengan berbagai modifikasi jenis-jenisnya dan telah menyampaikan rekomendasi kepada setiap negara anggota Uni Eropa untuk melakukan kerja sama untuk mencegah dan penindakan.
Kejahatan siber di Indonesia belum diatur secara khusus dalam suatu UU khusus tentang tindak pidana siber, melainkan di dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik yang termasuk UU administratif yang diperkuat sanksi pidana (administrative penal law). Hal ini berbeda secara mendasar, karena dengan UU khusus tersebut perlakuan hukum secara khusus dan ditujukan terhadap kejahatan siber yang berdampak serius dan ancaman terhadap ketertiban dan keamanan nasional di segala lini kehidupan bangsa Indonesia, terutama ancaman dari luar.
Baca Juga
Jika hanya dengan UU ITE yang bersifat regulative administrative maka pengarusutamaan daripadanya adalah menjaga dan memelihara agar transaksi berbasis elektronik tetap aman dan tidak diganggu oleh penyalahgunaan sarana elektronik semata-mata. Dengan UU pidana khusus diharapkan aspek hukum materiil maupun hukum formil (prosedur) – mempertahankan dan menjaga hukum materiil dari ancaman tindak pidana siber yang dengan sengaja dan melawan hukum bertujuan merugikan kepentingan nasional, di samping bertujuan memperoleh keuntungan daripadanya.
Masa depan Indonesia termasuk proses Pemilu 2029 yang akan datang sangat ditentukan oleh siapa yang menguasai teknologi siber. Jika dikuasai oleh kelompok-kelompok dengan tujuan kejahatan atau kecurangan pemilu maka akan berdampak buruk terhadap pemilu yang jujur, adil, bebas, dan rahasia, kecuali sebaliknya.
Dampak negatif juga akan terjadi dalam bidang perekonomian nasional dan keamanan nasional. Keberadaan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) memiliki fungsi regulasi dan preventif semata-mata, tidak memiliki fungsi represif. Begitu pula fungsi Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) hanya sebagai pemantau/pengawas lalu lintas siber dari dan ke dalam negeri juga tidak memiliki fungsi represif, akan tetapi memiliki fungsi perbantuan terhadap aparatur penegakan hukum dan Kemenkominfo.
Perkembangan pesat tindak pidana siber secara global saat ini harus dihadapi melalui 4 (empat) strategi terstruktur dan sistematis. Pertama, strategi preemtif yang menjadi tugas BSSN . Kedua, strategi preventif detention yang menjadi tugas Polri. Dalam rangka pencegahan, Polri dapat melakukan penahanan paling lama 3 x 3r jam untuk menentukan kelanjutan proses penanganan dugaan kasus tindak pidana siber. Ketiga, strategi represif yang secara khusus ditujukan menegakkan hukum dan melindungi kepentingan masyarakat luas dari ancaman dan serangan tindak pidana siber, dilengkapi dengan ancaman pidana berbasis stelsel minimum khusus dan maksimum umum.
Lihat Juga :
tulis komentar anda