Pudarnya Ngono Yo Ngono Ning Ojo Ngono
Kamis, 04 April 2024 - 08:14 WIB
Sepuluh hari menjelang berakhirnya Ramadan, umat Muslim akrab dengan ritual iktikaf. Selain meraih makna Ilalhiah tentang Lailatul Qadar, umat Muslim berefleksi terutama untuk beribadah dan berdiam diri di masjid.
Banyak ulama memberi pencerahan bahwa iktikaf tak semata lelaku ritual ibadah doa; namun sebagai momentum mawas diri, yang berdimensi duniawi sekaligus yang ukhrowi. Ramadan sebagai ingatan kita sebagai bangsa semestinya sebuah wadah kontemplatif atas rasa kebersamaan, terutama para pemimpin nasional untuk mawas diri komunal.
Imam Al-Ghazali acapkali merenungkan tentang makna hati nurani, yang dalam perspektifnya adalah Qolbu. Salah satu kitab tenarnya, Kimiyaus Sa’adah yang menjadi dialektika Qalbu-Akal-Jasad, mengungkap bahwa akal dan qalbu memiliki fungsi kognitif sekaligus afeksi yang mendiami jasad, sebab keduanya membuncahkan kemanusiaan tentang rasa sekaligus nalar pun nafsu secara bersamaan.
Tapi, ia memberi garis besar bahwa keduanya membeda, dalam memberi objek perhatian bahwa akal cakrawalanya lebih pada sisi rasionalitas yang empirik; membedah data-data yang konkrit dengan kekuatan pemahaman pemikiran dengan fokus berkisar hukum-hukum eksakta-ilmu pengetahuan alam empiris, sejarah kehidupan dan hukum-hukum kemanusiaan secara sosial.
Kata Ghazali, hati yang baik atau Qolbu yang baik, menggunakan energi dzikir dalam proses pemahaman terhadap ayat-ayat Allah sebagai yang disebut Qolbu Salim, yang maknanya hati-nurani yang selamat, yang dimiliki oran-orang beriman. Seperti juga Rasulullah menyatakan "Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati/Qolbu." (HR Bukhari).
Renungan Ghazali dan Sabda Nabi, tentang Qolbu beresonansi pada piwulang Jawa tentang nurani dengan ajaran Eling lan Waspodo; yakni mawas diri yang juga berkaca pada konsep Qolbu. Baik seturut Ghazali di kitab Ihya Ulumuddin pun Aquinas di Summa Theologiae, piwulang leluhur Ngono Yo Ngono ning Ojo Ngono kembali menggema lirih, samar-samar terdengar. Tatkala negeri makin gundah dan lara sebab para pemimpin tak kunjung memberi teladan, bahkan nilai-nilai kolektif dilabrak.
Pengetahuan tentang mawas diri, yang mengetuk pintu hati nurani, yang turun-temurun, generasi ke generasi diwariskan tak lagi mendiami benak mereka. Pemimpin yang tak mengindahkan lagi tuntunan kitab suci religi, melabrak nasihat-nasihat para cendekiawan serta abai pada ujaran-ujaran bijak leluhur.
Mungkin ujaran "Ngono Yo Ngono ning Ojo Ngono", telah usang, tak lagi memancarkan makna kamanungsan yang tulus bersemayam di dalam batin.
Banyak ulama memberi pencerahan bahwa iktikaf tak semata lelaku ritual ibadah doa; namun sebagai momentum mawas diri, yang berdimensi duniawi sekaligus yang ukhrowi. Ramadan sebagai ingatan kita sebagai bangsa semestinya sebuah wadah kontemplatif atas rasa kebersamaan, terutama para pemimpin nasional untuk mawas diri komunal.
Imam Al-Ghazali acapkali merenungkan tentang makna hati nurani, yang dalam perspektifnya adalah Qolbu. Salah satu kitab tenarnya, Kimiyaus Sa’adah yang menjadi dialektika Qalbu-Akal-Jasad, mengungkap bahwa akal dan qalbu memiliki fungsi kognitif sekaligus afeksi yang mendiami jasad, sebab keduanya membuncahkan kemanusiaan tentang rasa sekaligus nalar pun nafsu secara bersamaan.
Tapi, ia memberi garis besar bahwa keduanya membeda, dalam memberi objek perhatian bahwa akal cakrawalanya lebih pada sisi rasionalitas yang empirik; membedah data-data yang konkrit dengan kekuatan pemahaman pemikiran dengan fokus berkisar hukum-hukum eksakta-ilmu pengetahuan alam empiris, sejarah kehidupan dan hukum-hukum kemanusiaan secara sosial.
Kata Ghazali, hati yang baik atau Qolbu yang baik, menggunakan energi dzikir dalam proses pemahaman terhadap ayat-ayat Allah sebagai yang disebut Qolbu Salim, yang maknanya hati-nurani yang selamat, yang dimiliki oran-orang beriman. Seperti juga Rasulullah menyatakan "Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati/Qolbu." (HR Bukhari).
Renungan Ghazali dan Sabda Nabi, tentang Qolbu beresonansi pada piwulang Jawa tentang nurani dengan ajaran Eling lan Waspodo; yakni mawas diri yang juga berkaca pada konsep Qolbu. Baik seturut Ghazali di kitab Ihya Ulumuddin pun Aquinas di Summa Theologiae, piwulang leluhur Ngono Yo Ngono ning Ojo Ngono kembali menggema lirih, samar-samar terdengar. Tatkala negeri makin gundah dan lara sebab para pemimpin tak kunjung memberi teladan, bahkan nilai-nilai kolektif dilabrak.
Pengetahuan tentang mawas diri, yang mengetuk pintu hati nurani, yang turun-temurun, generasi ke generasi diwariskan tak lagi mendiami benak mereka. Pemimpin yang tak mengindahkan lagi tuntunan kitab suci religi, melabrak nasihat-nasihat para cendekiawan serta abai pada ujaran-ujaran bijak leluhur.
Mungkin ujaran "Ngono Yo Ngono ning Ojo Ngono", telah usang, tak lagi memancarkan makna kamanungsan yang tulus bersemayam di dalam batin.
(zik)
tulis komentar anda