Polemik Barang Kena Cukai di Indonesia

Senin, 18 Maret 2024 - 07:05 WIB
Berdasarkan hasil analisis menggunakan metoda random forest, faktor dominan penyebab terjadinya Penyakit Tidak Menular (PTM) di Indonesia adalah pendapatan rumah tangga, makanan dan minuman berpemanis, kurangnya konsumsi sayur. Berdasarkan hasil penelitian Della Corte (2023) menunjukkan bahwa konsumsi makanan dan minuman berpemanis terlebih yang mengandung gula tambahan memiliki hubungan positif dengan persentase lemak tubuh, Indeks Massa Tubuh (IMT), dan Indeks Glikemik.

Artinya, kontribusi konsumsi tersebut terhadap risiko penyakit kronis terjadi melalui penambahan berat badan, pengembangan faktor risiko yang dipicu oleh efek Glikemik yang merugikan, dan metabolisme hati dari kelebihan fruktosa dari gula makanan dan minuman tersebut.

Lebih lanjut, dalam penelitian Stern (2019) menemukan hasil bahwa setiap tambahan porsi soda manis per hari dikaitkan dengan peningkatan dari 27% kejadian Diabetes Melitus. Hal serupa terjadi dengan risiko penyakit Hipertensi yang mana individu yang mengonsumsi ≥ 1 minuman ringan per hari memiliki risiko 22% lebih tinggi (≥ 135/85 mm hg atau pada pengobatan) dibandingkan dengan non konsumen.

Saat ini, Indonesia perlu terus meningkatkan dan memperbaiki respon terhadap penanganan PTM. Terlebih, angka PTM di Indonesia saat ini mulai banyak dialami oleh kelompok usia muda usia 10-14 tahun. Fenomena ini akan berdampak pada berbagai sektor selain kesehatan, misalnya beban ekonomi, di mana penanganan PTM membutuhkan biaya kesehatan yang banyak sehingga biaya yang seharusnya dapat dilakukan untuk upaya pencegahan penyakit dan peningkatan gaya hidup sehat masyarakat justru diperuntukkan untuk pengobatan PTM yang umumnya membutuhkan waktu lama.

Dampak lain adalah masa depan generasi bangsa yang terancam. Dikhawatirkan bonus demografi dipenuhi oleh penduduk usia muda yang banyak mengalami penyakit karena peningkatan tren PTM yang ada saat ini.

Mendorong Kebijakan Cukai yang Berkeadilan

Cukai merupakan instrumen kebijakan pemerintah layaknya memiliki dua sisi mata uang. Pada satu sisi, cukai berfungsi sebagai instrumen pengatur atau pengendali, namun di sisi lain cukai berfungsi pula sebagai sumber penerimaan negara. Di berbagai negara, termasuk Indonesia, penerapan cukai telah menjadi salah satu sumber pendapatan yang signifikan bagi pemerintah. Pendapatan tersebut dialokasikan untuk berbagai program dan kegiatan pemerintah, termasuk pembangunan infrastruktur, peningkatan akses layanan kesehatan dan pendidikan, serta berbagai program kesejahteraan sosial.

Di Indonesia, pendapatan dari cukai berasal dari berbagai jenis barang dan layanan yang dikenakan pajak, seperti rokok, etil alkohol, minuman mengandung etil alkohol, dan bentuk cukai lain dalam jumlah kecil. Sebagaimana cukai pada rokok, misalnya, dikenakan untuk mengendalikan perilaku merokok yang memiliki eksternalitas negatif bagi lingkungan maupun kesehatan.

Pada nomenklatur anggaran negara, cukai rokok masuk dalam jenis penerimaan Cukai Hasil Tembakau (CHT) yang faktanya memiliki kontribusi besar dalam komponen penerimaan cukai, yakni 96%. Lebih lanjut, data juga menunjukkan bahwa CHT sendiri sejak tahun 2015 memiliki rata-rata kontribusi sebesar 11% terhadap total penerimaan nasional. Bahkan, pada tahun 2020 (ketika terjadi pandemi), kontribusi CHT terhadap total penerimaan nasional mencapai 13%. Hal tersebut menunjukkan bahwa CHT mampu menjadi salah satu penopang penerimaan negara, bahkan ketika negara mengalami penurunan penerimaan selama pandemi.

Dalam perkembangannya kini, kenaikan tarif cukai dan harga rokok yang terus mengalami peningkatan hampir setiap tahunnya juga berdampak negatif terhadap pertumbuhan penerimaan CHT di Indonesia. Data Kementerian Keuangan RI mencatat bahwa bahwa sepanjang tahun 2023, penerimaan kepabeanan dan cukai tercatat sebesar Rp 286,2 triliun atau hanya mencapai 95,4% dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023. Adapun salah satu penyebab tidak tercapainya target tersebut karena penerimaan cukai mengalami penurunan akibat kenaikan tarif CHT. Hal tersebut ditandai dengan penurunan produksi rokok yang terus tumbuh negatif dalam beberapa tahun terakhir.

Berdasarkan penelitian PPKE FEB UB (2022) tarif cukai saat ini sudah mencapai titik optimum untuk menghasilkan penerimaan CHT. Hasil analisis menunjukkan bahwa kenaikan tarif dan harga rokok hanya akan berdampak pada berkurangnya volume produksi rokok legal, bahkan akan mendorong meningkatnya peredaran rokok illegal. Kondisi tersebut mendorong produksi rokok legal terus menurun, termasuk pertumbuhannya, dan akhirnya membahayakan keberlangsungan jumlah pabrik rokok (legal).
Halaman :
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More