Komeng, antara Uhuy dan Disonansi
Kamis, 29 Februari 2024 - 12:53 WIB
Rakyat pasti jengah karena dihadapkan kenyataan yang jauh dari harapan atau dalam kata lain mengalami inkonsistensi logis. Namun proses demokrasi untuk memilih wakil-wakil mereka mau tak mau harus terus berjalan. Di tengah kebingungan dan mungkin keputusasaan ini, orang menjadi gagap atau seperti diistilahkan Festinger (1957), mengalami disonansi kognitif.
Lalu, berdamai dengan situasi yang tidak ideal tentu jadi sebuah opsi terbaik meski kepercayaan terhadap aktor politik saat ini runtuh hebat. Orang pun menjadi tak lagi tergiur dengan kecantikan, ketampanan, kepiawaian bahkan kecerdasan atau kapasitas sekalipun. Publik lebih nyaman dengan kepolosan, kejujuran dan ketulusan. Sebab sangat mungkin dengan kepolosan tidak berpengalaman, seseorang justru akan mau belajar, lebih berintegritas dan serius bekerja. Mungkin meski dibalut dengan guyonan, namun praktik politik yang nanti dijalankan malah menghasilkan kebahagiaan atau Alfarabi menyebut dengan sa'adah.
Terlepas dari modal selebritas yang dimiliki, lolosnya Komeng menjadi indikasi bahwa komedian berusia 53 tahun ini seolah menjadi antitesis atas aktor-aktor politik saat ini. Pada saat yang sama, sejatinya di tengah masyarakat juga tengah terbangun representasi sosial baru sebagai respons atas situasi politik yang dinilai tak ideal.
Dilihat dari perspektif kajian komunikasi dan psikologi sosial, publik mungkin juga memiliki kesadaran bahwa saatnya ruang-ruang politik Indonesia diisi dengan praktik demokrasi yang lebih inklusif, deliberatif namun asyik. Tentu jika ini dipahami sebagai sebuah representasi baru seperti dikonsepkan Moscovici (1973), langkah Komeng ini juga belumlah final. Agar lebih menjangkar ke benak publik, dibutuhkan objektifikasi sebagai bukti adanya perubahan yang lebih konkret.
Namun di atas segalanya, fenomena Komeng menyadarkan bahwa konsonansi kognitif publik terhadap perpolitikan tak lagi terjebak pada hal yang bersifat formal atau polesan (polishment). Namun ada kecenderungan terus mengarah ke sisi lain yang bersifat sederhana, apa adanya, ringan. dan mengasyikkan. Uhuy...
Lalu, berdamai dengan situasi yang tidak ideal tentu jadi sebuah opsi terbaik meski kepercayaan terhadap aktor politik saat ini runtuh hebat. Orang pun menjadi tak lagi tergiur dengan kecantikan, ketampanan, kepiawaian bahkan kecerdasan atau kapasitas sekalipun. Publik lebih nyaman dengan kepolosan, kejujuran dan ketulusan. Sebab sangat mungkin dengan kepolosan tidak berpengalaman, seseorang justru akan mau belajar, lebih berintegritas dan serius bekerja. Mungkin meski dibalut dengan guyonan, namun praktik politik yang nanti dijalankan malah menghasilkan kebahagiaan atau Alfarabi menyebut dengan sa'adah.
Terlepas dari modal selebritas yang dimiliki, lolosnya Komeng menjadi indikasi bahwa komedian berusia 53 tahun ini seolah menjadi antitesis atas aktor-aktor politik saat ini. Pada saat yang sama, sejatinya di tengah masyarakat juga tengah terbangun representasi sosial baru sebagai respons atas situasi politik yang dinilai tak ideal.
Dilihat dari perspektif kajian komunikasi dan psikologi sosial, publik mungkin juga memiliki kesadaran bahwa saatnya ruang-ruang politik Indonesia diisi dengan praktik demokrasi yang lebih inklusif, deliberatif namun asyik. Tentu jika ini dipahami sebagai sebuah representasi baru seperti dikonsepkan Moscovici (1973), langkah Komeng ini juga belumlah final. Agar lebih menjangkar ke benak publik, dibutuhkan objektifikasi sebagai bukti adanya perubahan yang lebih konkret.
Namun di atas segalanya, fenomena Komeng menyadarkan bahwa konsonansi kognitif publik terhadap perpolitikan tak lagi terjebak pada hal yang bersifat formal atau polesan (polishment). Namun ada kecenderungan terus mengarah ke sisi lain yang bersifat sederhana, apa adanya, ringan. dan mengasyikkan. Uhuy...
(abd)
tulis komentar anda