Mencegah Kekerasan Seksual di Kampus

Senin, 10 Agustus 2020 - 08:04 WIB
Relasi ini ditentukan dengan adanya struktur patriarki atau subordinasi oleh laki-laki di lembaga pendidikan tinggi terhadap perempuan (Vallsetal 2016). Selanjutnya, adanya budaya patriarki yang sangat kuat mengakibatkan lembaga pendidikan tinggi diidentifikasi sebagai kaki-tangan dari kekerasan seksual tersebut.

Dengan demikian, korban tidak saja merasa bahwa keadilan sangat sulit untuk ditegakkan, tetapi rasa takut yang amat besar juga mengikutinya. Akhirnya, banyak korban justru lebih memilih meninggalkan lembaga perguruan tinggi itu daripada harus menghadapi adanya kemungkinan bahwa dia mendapat reaksi keras dari komunitas kampus. (Baca juga: Jet Tempur Patungan Korsel-Indonesia Akan Gunakan Radar Array)

Selanjutnya merujuk kembali pada dokumen PendisKemenag, di mana separuh dari penyintas tidak melaporkan kejadian yang menimpanya, maka dapat dikatakan bahwa banyak insiden pada akhirnya tidak naik menjadi kasus. Artinya, korban tidak memperoleh keadilan karena insiden yang dialami tidak pernah terselesaikan secara kuasi maupun secara hukum.

Hal ini amat disayangkan, terutama karena banyak penelitian terdahulu yang mengungkap bahwa kekerasan seksual di kampus, apa pun bentuknya mempunyai konsekuensi terhadap kesehatan mental dan fisik, baik jangka pendek maupun panjang, yang dapat menghancurkan dan mengubah hidup korbannya.

Dengan dampak yang luar biasa tersebut, kebutuhan korban sangat perlu diperhatikan. Sebuah penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Yuhartati (2010) menyebutkan bahwa kebutuhan korban kekerasan seksual yang perlu diperhatikan antara lain: (1) perhatian segera (keselamatan dan perlindungan), (2) terus-menerus dukungan dan informasi, (3) representasi atau perwakilan formal di pengadilan, (4) restitusi dan kompensasi, dan (5) peran penting awal polisi. Berdasarkan penelitian yang dilakukannya tersebut, Yuhartati mengatakan bahwa belum seluruhnya kebutuhan korban dapat terpenuhi.

Berdasarkan uraian tersebut, pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana lembaga perguruan tinggi dapat mencegah dan menanggulangi kekerasan seksual di kampus serta memberikan atau memfasilitasi pelayanan yang dibutuhkan oleh korban? Mencegah yaitu semua cara dan proses yang dilakukan untuk menghalangi agar kekerasan seksual di kampus tidak terjadi. Sementara menanggulangi, yaitu semua cara dan proses yang dilakukan untuk merespons atau menangani kasus kekerasan seksual yang terjadi di kampus.

Di Amerika Serikat (AS), kekerasan seksual di kampus sudah dijadikan sebagai prioritas skala nasional. Hal ini dibuktikan dengan adanya dua payung hukum nasional (federal), yaitu CleryAct dan Title IX. Kedua payung hukum tersebut menjadi pedoman pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual di kampus bagi lembaga perguruan tinggi. (Baca juga: AHY Posting Foto Berdua Prabowo, Netizen Sebut Pasangan Ideal 2024)

Selanjutnya pada 2013, Campus Sexual Violence Elimination (CampusSaVE) Act ditetapkan untuk menggantikan CleryAct sebagai upaya pemerintah federal AS untuk mendorong transparansi yang lebih besar dan menambahkan beberapa persyaratan bagi lembaga perguruan tinggi dalam penanganan dan pencegahan kekerasan seksual di kampusnya.

Salah satu kebijakan turunan yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan AS (Department of Education/DOE) adalah Dear Colleagues Letter yang memberikan panduan lebih lanjut tentang bagaimana lembaga pendidikan dapat menangani atau mengadili tindak kekerasan seksual di kampus. Kebijakan ini juga dilatarbelakangi oleh temuan masalah yang cukup signifikan bahwa banyak kekerasan seksual yang terjadi di kampus dilakukan oleh peergroup.

Berkaca kepada AS, pemerintah Indonesia dapat mengambil langkah yang sama. Dalam konteks Indonesia, khususnya terkait kekerasan seksual di kampus, maka UU PKS dianalogikan sebagai Title IX dan CampusSaVEAct. Kemudian SK Dirjen PendisKemenag dianalogikan sebagai Dear Colleague Letter khusus untuk lembaga perguruan tinggi Islam. Untuk melengkapi, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) juga harus mengeluarkan pedoman yang sama seperti SK Dirjen PendisKemenag.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More