Mencegah Kekerasan Seksual di Kampus

Senin, 10 Agustus 2020 - 08:04 WIB
Foto: dok/SINDOnews
Ariani Hasanah Soejoeti

(Alumnis Pascasarjana Kriminologi FISIP UI)

Dalam beberapa hari ini, publik dibuat terkesima dengan aksi pelecehan seksual yang terjadi di Universitas Airlangga Surabaya (Unair). Kasus yang terungkap lewat unggahan Twitter dari salah satu korban ini memang tergolong unik. Pelaku yang merupakan mahasiswa semester 10 itu memaksa korban untuk membungkus seluruh tubuhnya rapat-rapat dengan kain jarik. Setelahnya korban diminta pelaku mengirimkan video atau foto dirinya dalam kondisi telah tertutup rapat kain.



Kasus ini dikenal sebagai kasus fetish kain jarik. Tak hanya kasus kain jarik, beberapa kasus pelecehan seksual yang terjadi di lingkungan kampus juga marak terjadi dalam waktu yang berdekatan. Pelakunya tak hanya mahasiswa, tetapi juga pegawai yang bekerja di kampus dan bahkan dosen.

Pemberitaan terkait rencana penarikan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2020 cukup mengejutkan. Khususnya mengingat bahwa kasus kekerasan seksual di kampus yang semakin marak belakangan ini. (Baca: Edan! Pria di Cirebon Tegas Cabuli Anak Calon Istrinya)

Dalam dokumen Surat Keputusan (SK) Direktur Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) Kementerian Agama (Kemenag) Nomor 5494 Tahun 2019 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI), disebutkan bahwa insiden kekerasan seksual di kampus pada 2019 mencapai 1.011 kasus berdasarkan laporan dari 16 lembaga perguruan tinggi di Indonesia. Sementara dari sejumlah pemberitaan media, tampak bahwa sepanjang 2020 kasus kekerasan seksual di kampus terus terjadi.

Meski langkah yang dilakukan oleh PendisKemenag patut diapresiasi, melihat kondisi di mana kekerasan seksual di kampus terus terjadi di berbagai macam lembaga perguruan tinggi, maka kebijakan tersebut belum dapat memayungi seluruh lembaga perguruan tinggi yang ada di Indonesia. Wilayah kewenangan dari PendisKemenag hanya mencakup perguruan tinggi Islam, baik swasta maupun negeri. Oleh karena itu, RUU PKS menjadi salah satu harapan yang dapat mewujudkan perlindungan kepada korban kekerasan seksual di kampus.

Secara historis, di banyak negara khususnya di Amerika Serikat (AS), kebanyakan kasus kekerasan seksual di kampus ditangani dalam kapasitas informal atau kuasi (Sloan dan Fisher, 2011). Dalam konteks Indonesia, hal ini disebutkan juga dalam dokumen yang dirilis oleh PendisKemenag. Selanjutnya, beberapa penelitian mengungkap bahwa penyelesaian kasus secara kuasi dilakukan karena menyangkut reputasi lembaga perguruan tinggi tersebut.

Selain itu, kebanyakan lembaga perguruan tinggi ingin menjaga kestabilan angka pendaftaran siswa barunya. Bahkan tidak jarang ditemukan, para administrator lembaga perguruan tinggi sering kali menyembunyikan kasus kekerasan seksual dan membungkam para korbannya. Pembungkaman terhadap korban tersebut teridentifikasi sebagai adanya ketimpangan relasi kuasa, baik antara korban dan pelaku maupun korban dengan lembaga perguruan tinggi.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More