Mencegah Kekerasan Seksual di Kampus
loading...
A
A
A
Ariani Hasanah Soejoeti
(Alumnis Pascasarjana Kriminologi FISIP UI)
Dalam beberapa hari ini, publik dibuat terkesima dengan aksi pelecehan seksual yang terjadi di Universitas Airlangga Surabaya (Unair). Kasus yang terungkap lewat unggahan Twitter dari salah satu korban ini memang tergolong unik. Pelaku yang merupakan mahasiswa semester 10 itu memaksa korban untuk membungkus seluruh tubuhnya rapat-rapat dengan kain jarik. Setelahnya korban diminta pelaku mengirimkan video atau foto dirinya dalam kondisi telah tertutup rapat kain.
Kasus ini dikenal sebagai kasus fetish kain jarik. Tak hanya kasus kain jarik, beberapa kasus pelecehan seksual yang terjadi di lingkungan kampus juga marak terjadi dalam waktu yang berdekatan. Pelakunya tak hanya mahasiswa, tetapi juga pegawai yang bekerja di kampus dan bahkan dosen.
Pemberitaan terkait rencana penarikan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2020 cukup mengejutkan. Khususnya mengingat bahwa kasus kekerasan seksual di kampus yang semakin marak belakangan ini. (Baca: Edan! Pria di Cirebon Tegas Cabuli Anak Calon Istrinya)
Dalam dokumen Surat Keputusan (SK) Direktur Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) Kementerian Agama (Kemenag) Nomor 5494 Tahun 2019 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI), disebutkan bahwa insiden kekerasan seksual di kampus pada 2019 mencapai 1.011 kasus berdasarkan laporan dari 16 lembaga perguruan tinggi di Indonesia. Sementara dari sejumlah pemberitaan media, tampak bahwa sepanjang 2020 kasus kekerasan seksual di kampus terus terjadi.
Meski langkah yang dilakukan oleh PendisKemenag patut diapresiasi, melihat kondisi di mana kekerasan seksual di kampus terus terjadi di berbagai macam lembaga perguruan tinggi, maka kebijakan tersebut belum dapat memayungi seluruh lembaga perguruan tinggi yang ada di Indonesia. Wilayah kewenangan dari PendisKemenag hanya mencakup perguruan tinggi Islam, baik swasta maupun negeri. Oleh karena itu, RUU PKS menjadi salah satu harapan yang dapat mewujudkan perlindungan kepada korban kekerasan seksual di kampus.
Secara historis, di banyak negara khususnya di Amerika Serikat (AS), kebanyakan kasus kekerasan seksual di kampus ditangani dalam kapasitas informal atau kuasi (Sloan dan Fisher, 2011). Dalam konteks Indonesia, hal ini disebutkan juga dalam dokumen yang dirilis oleh PendisKemenag. Selanjutnya, beberapa penelitian mengungkap bahwa penyelesaian kasus secara kuasi dilakukan karena menyangkut reputasi lembaga perguruan tinggi tersebut.
Selain itu, kebanyakan lembaga perguruan tinggi ingin menjaga kestabilan angka pendaftaran siswa barunya. Bahkan tidak jarang ditemukan, para administrator lembaga perguruan tinggi sering kali menyembunyikan kasus kekerasan seksual dan membungkam para korbannya. Pembungkaman terhadap korban tersebut teridentifikasi sebagai adanya ketimpangan relasi kuasa, baik antara korban dan pelaku maupun korban dengan lembaga perguruan tinggi.
Relasi ini ditentukan dengan adanya struktur patriarki atau subordinasi oleh laki-laki di lembaga pendidikan tinggi terhadap perempuan (Vallsetal 2016). Selanjutnya, adanya budaya patriarki yang sangat kuat mengakibatkan lembaga pendidikan tinggi diidentifikasi sebagai kaki-tangan dari kekerasan seksual tersebut.
Dengan demikian, korban tidak saja merasa bahwa keadilan sangat sulit untuk ditegakkan, tetapi rasa takut yang amat besar juga mengikutinya. Akhirnya, banyak korban justru lebih memilih meninggalkan lembaga perguruan tinggi itu daripada harus menghadapi adanya kemungkinan bahwa dia mendapat reaksi keras dari komunitas kampus. (Baca juga: Jet Tempur Patungan Korsel-Indonesia Akan Gunakan Radar Array)
Selanjutnya merujuk kembali pada dokumen PendisKemenag, di mana separuh dari penyintas tidak melaporkan kejadian yang menimpanya, maka dapat dikatakan bahwa banyak insiden pada akhirnya tidak naik menjadi kasus. Artinya, korban tidak memperoleh keadilan karena insiden yang dialami tidak pernah terselesaikan secara kuasi maupun secara hukum.
Hal ini amat disayangkan, terutama karena banyak penelitian terdahulu yang mengungkap bahwa kekerasan seksual di kampus, apa pun bentuknya mempunyai konsekuensi terhadap kesehatan mental dan fisik, baik jangka pendek maupun panjang, yang dapat menghancurkan dan mengubah hidup korbannya.
Dengan dampak yang luar biasa tersebut, kebutuhan korban sangat perlu diperhatikan. Sebuah penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Yuhartati (2010) menyebutkan bahwa kebutuhan korban kekerasan seksual yang perlu diperhatikan antara lain: (1) perhatian segera (keselamatan dan perlindungan), (2) terus-menerus dukungan dan informasi, (3) representasi atau perwakilan formal di pengadilan, (4) restitusi dan kompensasi, dan (5) peran penting awal polisi. Berdasarkan penelitian yang dilakukannya tersebut, Yuhartati mengatakan bahwa belum seluruhnya kebutuhan korban dapat terpenuhi.
Berdasarkan uraian tersebut, pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana lembaga perguruan tinggi dapat mencegah dan menanggulangi kekerasan seksual di kampus serta memberikan atau memfasilitasi pelayanan yang dibutuhkan oleh korban? Mencegah yaitu semua cara dan proses yang dilakukan untuk menghalangi agar kekerasan seksual di kampus tidak terjadi. Sementara menanggulangi, yaitu semua cara dan proses yang dilakukan untuk merespons atau menangani kasus kekerasan seksual yang terjadi di kampus.
Di Amerika Serikat (AS), kekerasan seksual di kampus sudah dijadikan sebagai prioritas skala nasional. Hal ini dibuktikan dengan adanya dua payung hukum nasional (federal), yaitu CleryAct dan Title IX. Kedua payung hukum tersebut menjadi pedoman pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual di kampus bagi lembaga perguruan tinggi. (Baca juga: AHY Posting Foto Berdua Prabowo, Netizen Sebut Pasangan Ideal 2024)
Selanjutnya pada 2013, Campus Sexual Violence Elimination (CampusSaVE) Act ditetapkan untuk menggantikan CleryAct sebagai upaya pemerintah federal AS untuk mendorong transparansi yang lebih besar dan menambahkan beberapa persyaratan bagi lembaga perguruan tinggi dalam penanganan dan pencegahan kekerasan seksual di kampusnya.
Salah satu kebijakan turunan yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan AS (Department of Education/DOE) adalah Dear Colleagues Letter yang memberikan panduan lebih lanjut tentang bagaimana lembaga pendidikan dapat menangani atau mengadili tindak kekerasan seksual di kampus. Kebijakan ini juga dilatarbelakangi oleh temuan masalah yang cukup signifikan bahwa banyak kekerasan seksual yang terjadi di kampus dilakukan oleh peergroup.
Berkaca kepada AS, pemerintah Indonesia dapat mengambil langkah yang sama. Dalam konteks Indonesia, khususnya terkait kekerasan seksual di kampus, maka UU PKS dianalogikan sebagai Title IX dan CampusSaVEAct. Kemudian SK Dirjen PendisKemenag dianalogikan sebagai Dear Colleague Letter khusus untuk lembaga perguruan tinggi Islam. Untuk melengkapi, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) juga harus mengeluarkan pedoman yang sama seperti SK Dirjen PendisKemenag.
Jika hal tersebut terlaksana, peluang bagi lembaga perguruan tinggi di seluruh Indonesia untuk memiliki kebijakan pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual di kampus lebih besar. Terlebih kita ketahui bahwa selama ini seluruh lembaga perguruan tinggi di Indonesia tunduk pada aturan atau regulasi yang dikeluarkan Dikti, terutama terkait akreditasi. (Lihat videonya: Gunung Sinabung Erupsi, Empat Kecamatan Tertutup Abu Vulkanik)
Baik Dikti Kemendikbud maupun PendisKemenag mempunyai kekuatan untuk mendorong dan mewajibkan semua lembaga perguruan tinggi di bawahnya. Mendorong dapat dilakukan dengan memberikan panduan kepada seluruh lembaga perguruan tinggi yang ada serta memberikan dana bantuan, khususnya lembaga yang dianggap belum memiliki kapasitas yang cukup.
Mewajibkan dapat dilakukan dengan menambahkan instrumen kewajiban bagi lembaga perguruan tinggi untuk melaporkan kasus kejahatan yang terjadi di kampus, termasuk kekerasan seksual dan pemberian sanksi kepada lembaga perguruan tinggi yang melanggar. Sementara itu, peran pendampingan dapat dilaksanakan oleh Kementerian PPA maupun Komnas Perempuan.
Lihat Juga: Polda Jateng Ungkap Kasus Kekerasan Seksual Kakak Adik di Purworejo, 3 Tersangka Ditangkap
(Alumnis Pascasarjana Kriminologi FISIP UI)
Dalam beberapa hari ini, publik dibuat terkesima dengan aksi pelecehan seksual yang terjadi di Universitas Airlangga Surabaya (Unair). Kasus yang terungkap lewat unggahan Twitter dari salah satu korban ini memang tergolong unik. Pelaku yang merupakan mahasiswa semester 10 itu memaksa korban untuk membungkus seluruh tubuhnya rapat-rapat dengan kain jarik. Setelahnya korban diminta pelaku mengirimkan video atau foto dirinya dalam kondisi telah tertutup rapat kain.
Kasus ini dikenal sebagai kasus fetish kain jarik. Tak hanya kasus kain jarik, beberapa kasus pelecehan seksual yang terjadi di lingkungan kampus juga marak terjadi dalam waktu yang berdekatan. Pelakunya tak hanya mahasiswa, tetapi juga pegawai yang bekerja di kampus dan bahkan dosen.
Pemberitaan terkait rencana penarikan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2020 cukup mengejutkan. Khususnya mengingat bahwa kasus kekerasan seksual di kampus yang semakin marak belakangan ini. (Baca: Edan! Pria di Cirebon Tegas Cabuli Anak Calon Istrinya)
Dalam dokumen Surat Keputusan (SK) Direktur Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) Kementerian Agama (Kemenag) Nomor 5494 Tahun 2019 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI), disebutkan bahwa insiden kekerasan seksual di kampus pada 2019 mencapai 1.011 kasus berdasarkan laporan dari 16 lembaga perguruan tinggi di Indonesia. Sementara dari sejumlah pemberitaan media, tampak bahwa sepanjang 2020 kasus kekerasan seksual di kampus terus terjadi.
Meski langkah yang dilakukan oleh PendisKemenag patut diapresiasi, melihat kondisi di mana kekerasan seksual di kampus terus terjadi di berbagai macam lembaga perguruan tinggi, maka kebijakan tersebut belum dapat memayungi seluruh lembaga perguruan tinggi yang ada di Indonesia. Wilayah kewenangan dari PendisKemenag hanya mencakup perguruan tinggi Islam, baik swasta maupun negeri. Oleh karena itu, RUU PKS menjadi salah satu harapan yang dapat mewujudkan perlindungan kepada korban kekerasan seksual di kampus.
Secara historis, di banyak negara khususnya di Amerika Serikat (AS), kebanyakan kasus kekerasan seksual di kampus ditangani dalam kapasitas informal atau kuasi (Sloan dan Fisher, 2011). Dalam konteks Indonesia, hal ini disebutkan juga dalam dokumen yang dirilis oleh PendisKemenag. Selanjutnya, beberapa penelitian mengungkap bahwa penyelesaian kasus secara kuasi dilakukan karena menyangkut reputasi lembaga perguruan tinggi tersebut.
Selain itu, kebanyakan lembaga perguruan tinggi ingin menjaga kestabilan angka pendaftaran siswa barunya. Bahkan tidak jarang ditemukan, para administrator lembaga perguruan tinggi sering kali menyembunyikan kasus kekerasan seksual dan membungkam para korbannya. Pembungkaman terhadap korban tersebut teridentifikasi sebagai adanya ketimpangan relasi kuasa, baik antara korban dan pelaku maupun korban dengan lembaga perguruan tinggi.
Relasi ini ditentukan dengan adanya struktur patriarki atau subordinasi oleh laki-laki di lembaga pendidikan tinggi terhadap perempuan (Vallsetal 2016). Selanjutnya, adanya budaya patriarki yang sangat kuat mengakibatkan lembaga pendidikan tinggi diidentifikasi sebagai kaki-tangan dari kekerasan seksual tersebut.
Dengan demikian, korban tidak saja merasa bahwa keadilan sangat sulit untuk ditegakkan, tetapi rasa takut yang amat besar juga mengikutinya. Akhirnya, banyak korban justru lebih memilih meninggalkan lembaga perguruan tinggi itu daripada harus menghadapi adanya kemungkinan bahwa dia mendapat reaksi keras dari komunitas kampus. (Baca juga: Jet Tempur Patungan Korsel-Indonesia Akan Gunakan Radar Array)
Selanjutnya merujuk kembali pada dokumen PendisKemenag, di mana separuh dari penyintas tidak melaporkan kejadian yang menimpanya, maka dapat dikatakan bahwa banyak insiden pada akhirnya tidak naik menjadi kasus. Artinya, korban tidak memperoleh keadilan karena insiden yang dialami tidak pernah terselesaikan secara kuasi maupun secara hukum.
Hal ini amat disayangkan, terutama karena banyak penelitian terdahulu yang mengungkap bahwa kekerasan seksual di kampus, apa pun bentuknya mempunyai konsekuensi terhadap kesehatan mental dan fisik, baik jangka pendek maupun panjang, yang dapat menghancurkan dan mengubah hidup korbannya.
Dengan dampak yang luar biasa tersebut, kebutuhan korban sangat perlu diperhatikan. Sebuah penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Yuhartati (2010) menyebutkan bahwa kebutuhan korban kekerasan seksual yang perlu diperhatikan antara lain: (1) perhatian segera (keselamatan dan perlindungan), (2) terus-menerus dukungan dan informasi, (3) representasi atau perwakilan formal di pengadilan, (4) restitusi dan kompensasi, dan (5) peran penting awal polisi. Berdasarkan penelitian yang dilakukannya tersebut, Yuhartati mengatakan bahwa belum seluruhnya kebutuhan korban dapat terpenuhi.
Berdasarkan uraian tersebut, pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana lembaga perguruan tinggi dapat mencegah dan menanggulangi kekerasan seksual di kampus serta memberikan atau memfasilitasi pelayanan yang dibutuhkan oleh korban? Mencegah yaitu semua cara dan proses yang dilakukan untuk menghalangi agar kekerasan seksual di kampus tidak terjadi. Sementara menanggulangi, yaitu semua cara dan proses yang dilakukan untuk merespons atau menangani kasus kekerasan seksual yang terjadi di kampus.
Di Amerika Serikat (AS), kekerasan seksual di kampus sudah dijadikan sebagai prioritas skala nasional. Hal ini dibuktikan dengan adanya dua payung hukum nasional (federal), yaitu CleryAct dan Title IX. Kedua payung hukum tersebut menjadi pedoman pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual di kampus bagi lembaga perguruan tinggi. (Baca juga: AHY Posting Foto Berdua Prabowo, Netizen Sebut Pasangan Ideal 2024)
Selanjutnya pada 2013, Campus Sexual Violence Elimination (CampusSaVE) Act ditetapkan untuk menggantikan CleryAct sebagai upaya pemerintah federal AS untuk mendorong transparansi yang lebih besar dan menambahkan beberapa persyaratan bagi lembaga perguruan tinggi dalam penanganan dan pencegahan kekerasan seksual di kampusnya.
Salah satu kebijakan turunan yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan AS (Department of Education/DOE) adalah Dear Colleagues Letter yang memberikan panduan lebih lanjut tentang bagaimana lembaga pendidikan dapat menangani atau mengadili tindak kekerasan seksual di kampus. Kebijakan ini juga dilatarbelakangi oleh temuan masalah yang cukup signifikan bahwa banyak kekerasan seksual yang terjadi di kampus dilakukan oleh peergroup.
Berkaca kepada AS, pemerintah Indonesia dapat mengambil langkah yang sama. Dalam konteks Indonesia, khususnya terkait kekerasan seksual di kampus, maka UU PKS dianalogikan sebagai Title IX dan CampusSaVEAct. Kemudian SK Dirjen PendisKemenag dianalogikan sebagai Dear Colleague Letter khusus untuk lembaga perguruan tinggi Islam. Untuk melengkapi, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) juga harus mengeluarkan pedoman yang sama seperti SK Dirjen PendisKemenag.
Jika hal tersebut terlaksana, peluang bagi lembaga perguruan tinggi di seluruh Indonesia untuk memiliki kebijakan pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual di kampus lebih besar. Terlebih kita ketahui bahwa selama ini seluruh lembaga perguruan tinggi di Indonesia tunduk pada aturan atau regulasi yang dikeluarkan Dikti, terutama terkait akreditasi. (Lihat videonya: Gunung Sinabung Erupsi, Empat Kecamatan Tertutup Abu Vulkanik)
Baik Dikti Kemendikbud maupun PendisKemenag mempunyai kekuatan untuk mendorong dan mewajibkan semua lembaga perguruan tinggi di bawahnya. Mendorong dapat dilakukan dengan memberikan panduan kepada seluruh lembaga perguruan tinggi yang ada serta memberikan dana bantuan, khususnya lembaga yang dianggap belum memiliki kapasitas yang cukup.
Mewajibkan dapat dilakukan dengan menambahkan instrumen kewajiban bagi lembaga perguruan tinggi untuk melaporkan kasus kejahatan yang terjadi di kampus, termasuk kekerasan seksual dan pemberian sanksi kepada lembaga perguruan tinggi yang melanggar. Sementara itu, peran pendampingan dapat dilaksanakan oleh Kementerian PPA maupun Komnas Perempuan.
Lihat Juga: Polda Jateng Ungkap Kasus Kekerasan Seksual Kakak Adik di Purworejo, 3 Tersangka Ditangkap
(ysw)