IDI dan Lingkungan yang Sedang Berubah
Rabu, 08 November 2023 - 10:46 WIB
Akibat mahalnya biaya pendidikan tidak jarang membuat perguruan tinggi bertandang ke rumah orang tua yang anaknya telah dinyatakan lulus. Kedatangan tersebut untuk menanyakan kesanggupan orang tua untuk membiayai sekolah anaknya sampai menjadi dokter. Bahkan ada pula yang sampai menanya tetangga kiri kanan dan pihak RT/RW untuk sekadar memastikan seberapa sanggup orang tua tersebut untuk membiayai sekolah anaknya.
Mahalnya biaya pendidikan kedokteran seolah menjadi isyarat bahwa sekolah kedokteran hanya diperuntukkan bagi mereka yang bermodal besar. Tidak untuk anak rakyat kebanyakan seperti anak buruh, petani, dan nelayan.
Pendidikan kedokteran berbiaya tinggi dan minim subsidi negara telah merenggut mimpi anak kebanyakan untuk menjadi dokter. Artinya, sekali pun anak rakyat kebanyakan tersebut tergolong pandai dia akhirnya tidak berani bermimpi bersekolah kedokteran.
Lain soal bila anak tersebut cukup beruntung, misalnya mendapatkan bantuan biaya pendidikan (bea siswa) barulah peluang itu terbuka. Setidaknya bea siswa tersebut dapat membantu meringankan beban orang tuanya.
Mimpi untuk menamatkan sekolahnya sampai menjadi dokter pun terbuka, asalkan dia tetap belajar secara bersungguh-sungguh. Sayangnya bantuan bea siswa semacam itu tidak banyak.
Hal yang sama untuk pelayanan kedokteran juga berubah. Pelayanan kedokteran berbasis teknologi tinggi dengan beperalatan canggih membuat biaya pelayanan menjadi mahal. Akibatnya pun sama dengan pendidikan.
Hanya mereka yang memiliki dana cukup yang berhak memperoleh pelayanan dengan teknologi mutakhir. Kecuali bila penduduk tersebut telah menjadi peserta aktif jaminan sosial kesehatan (JKN) atau asuransi kesehatan lain. Dengan menjadi peserta JKN atau asuransi kesehatan maka biaya yang mahal tersebut menjadi tanggungan JKN atau asuransi kesehatan.
Kini pendidikan dan pelayanan kedokteran/kesehatan telah berubah. Jika dulu kita mengenal pendidikan dan pelayanan kedokteran menganut mazhab sosial, namun pada beberapa dekade terakhir ini telah bergeser dan dikendalikan oleh mazhab liberalisme (pasar bebas).
Indonesia yang sejatinya menganut mazhab sosialisme religius, berdasarkan Pancasila dengan sila, “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan “Keadilan Sosial bagi Seluruh Indonesia” pun menjadi serba salah. Mestinya pemerintah tidak membiarkan liberalisasi kedokteran dan situasi serba salah tersebut berjalan tak terkendali.
Mungkin kita perlu sedikit merenungkan pesan Bung Karno bahwa, “Usaha mencapai keadilan dan kesejahteraan tidak boleh dipercayakan kepada pasar bebas, yang berbasis individualisme-kapitalisme, karena Indonesia mengalami pengalaman buruk penindasan politik dan pemiskinan ekonomi yang ditimbulkan kolonialisme tersebut. Pasar bebas kata Bung Karno adalah perpanjangan tangan dari individualisme-kapitalisme.”
Mahalnya biaya pendidikan kedokteran seolah menjadi isyarat bahwa sekolah kedokteran hanya diperuntukkan bagi mereka yang bermodal besar. Tidak untuk anak rakyat kebanyakan seperti anak buruh, petani, dan nelayan.
Pendidikan kedokteran berbiaya tinggi dan minim subsidi negara telah merenggut mimpi anak kebanyakan untuk menjadi dokter. Artinya, sekali pun anak rakyat kebanyakan tersebut tergolong pandai dia akhirnya tidak berani bermimpi bersekolah kedokteran.
Lain soal bila anak tersebut cukup beruntung, misalnya mendapatkan bantuan biaya pendidikan (bea siswa) barulah peluang itu terbuka. Setidaknya bea siswa tersebut dapat membantu meringankan beban orang tuanya.
Mimpi untuk menamatkan sekolahnya sampai menjadi dokter pun terbuka, asalkan dia tetap belajar secara bersungguh-sungguh. Sayangnya bantuan bea siswa semacam itu tidak banyak.
Hal yang sama untuk pelayanan kedokteran juga berubah. Pelayanan kedokteran berbasis teknologi tinggi dengan beperalatan canggih membuat biaya pelayanan menjadi mahal. Akibatnya pun sama dengan pendidikan.
Hanya mereka yang memiliki dana cukup yang berhak memperoleh pelayanan dengan teknologi mutakhir. Kecuali bila penduduk tersebut telah menjadi peserta aktif jaminan sosial kesehatan (JKN) atau asuransi kesehatan lain. Dengan menjadi peserta JKN atau asuransi kesehatan maka biaya yang mahal tersebut menjadi tanggungan JKN atau asuransi kesehatan.
Kini pendidikan dan pelayanan kedokteran/kesehatan telah berubah. Jika dulu kita mengenal pendidikan dan pelayanan kedokteran menganut mazhab sosial, namun pada beberapa dekade terakhir ini telah bergeser dan dikendalikan oleh mazhab liberalisme (pasar bebas).
Indonesia yang sejatinya menganut mazhab sosialisme religius, berdasarkan Pancasila dengan sila, “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan “Keadilan Sosial bagi Seluruh Indonesia” pun menjadi serba salah. Mestinya pemerintah tidak membiarkan liberalisasi kedokteran dan situasi serba salah tersebut berjalan tak terkendali.
Mungkin kita perlu sedikit merenungkan pesan Bung Karno bahwa, “Usaha mencapai keadilan dan kesejahteraan tidak boleh dipercayakan kepada pasar bebas, yang berbasis individualisme-kapitalisme, karena Indonesia mengalami pengalaman buruk penindasan politik dan pemiskinan ekonomi yang ditimbulkan kolonialisme tersebut. Pasar bebas kata Bung Karno adalah perpanjangan tangan dari individualisme-kapitalisme.”
tulis komentar anda