Ketika Megawati dan PDI Didzalimi Penguasa

Kamis, 02 November 2023 - 15:12 WIB
Setelah kantornya diluluhlantahkan, Megawati tak mundur walau kantor barunya terus menerus dilarang dan disegel. Maka dia pun berkantor di rumahnya di Jalan Kebagusan. Salah satu peristiwa penting di kantor tersebut ialah perayaan ulang tahun PDI pada 10 Januari 1997.

Dalam acara yang dihadiri banyak orang itu, Megawati menyampaikan pidato politik bahwa DPP PDI periode 1993-1998 dibawah kepemimpinannya adalah yang sah, legal dan berhak menjadi Organisasi Peserta Pemilu (OPP) pada Pemilu 1997. Namun pemerintah Orde Baru menolak penegasan tersebut.

Pemerintah hanya mengakui PDI Soerjadi yang diperbolehkan ikut pemilu. Segala aktivitas politik PDI pimpinan Megawati pun dilarang, kegiatan pun tak mendapatkan izin pemerintah.

Upaya Megawati untuk ikut Pemilu tak surut. Dia mengeluarkan Manifesto Politik dan berharap agar aparat pemerintah baik sipil maupun militer sebagai penyelenggara pemilu bertindak dan bersikap netral serta adil terhadap semua kontestan dan organisasi peserta pemilu.

Hingga pada 7 Mei 1997 hanya sehari sebelum jatah masa kampanye Partai Persatuan Pembangunan (PPP), terjadi pertemuan antara Megawati dan Ketua DPC PPP Surakarta Mudrick Sangidoe. Kasak-kusuk menguar, bahwa itu isyarat agar massa pro-Megawati mengalihkan suaranya kepada PPP.

Aliansi Mega-Bintang pun menyeruak. Dari Solo, gemuruh Mega-Bintang menyebar dengan cepat ke daerah lain. Arak-arakan dan konvoi selama kampanye dipenuhi oleh atribut warna merah-hijau serta poster dan spanduk bertuliskan Mega-Bintang.

Di Jakarta, massa PPP tumpah ruah menghijaukan jalanan dan kawasan-kawasan penting. Di antara ribuan massa hijau itu terlihat kelompok-kelompok yang membentangkan poster-poster Megawati. Terdengar pula yel-yel yang menyerukan frasa Mega Bintang.

Harian Kompas menyebut kampanye Mega Bintang juga terjadi di Tegal, Jawa Tengah. Bahkan di sana lebih terang-terangan. Sekira 7.000-an pendukung Megawati menyatakan diri bergabung dengan PPP.

Sementara itu di Samarinda, Kalimantan Timur, seribuan warga banteng pro-Megawati membaur di antara kerumunan massa Partai Kakbah. Di hadapan massa itu, Ketua DPC PPP Samarinda Khairul Fuad dengan gamblang menyatakan pencalonan Ismail Hasan Metareum dan Megawati Soekarnoputri sebagai pasangan presiden dan wakil presiden Indonesia periode 1998-2003.

Ketika gelombang Mega-Bintang kian membesar, pemerintah pun waswas. Tak lama, pemerintah melarang segala atribut, poster dan spanduk Mega-Bintang. Semua atribut yang terpasang pun diberangus.

Pelarangan terhadap kampanye Mega-Bintang pun digelorakan masif oleh pemerintah.Tidak jelas aturan mana yang dilanggar. Namun pemerintah melalui jaksa agung dan mendagri berkilah bahwa atribut kampanye Mega Bintang belum mengantongi izin polisi, sehingga dianggap ilegal.

Sejumlah pakar politik menyebut bahwa kampanye Mega-Bintang itu lahir dari kritisisme rakyat atas kesewenang-wenanga nrezim Orde Baru. Gerakan Mega-Bintang bukanlah manuver organ relawan yang di orkestrasi dan digalang oleh rezim yang berkuasa.

Dia adalah wujud kesatuan perangai. Rasa senasib dan sepananggungan untuk melawan ketidakadilan dan intervensi kekuasaan Orde Baru yang mencoba mengangkangi demokrasi.

Meski berjalan tak lama, aliansi Mega-Bintang adalah bukti bahwa tangan kekuasaan tak lebih panjang dari longlongan hati rakyat yang tak lagi sabar dan melawan pembodohan serta represi penguasa rezim Orde Baru. Dia menjadi salah satu prolog kisah terjungkalnya Soeharto setahun kemudian.

Padahal sebelum kekuasaan Orde Baru tumbang, Soeharto tengah mempersiapkan putri sulungnya, Siti Hardijanti Hastuti, yang biasa disapa Mbak Tutut, sebagai orang nomor satu di Indonesia alias Presiden setelah diangkat jadi menteri sosial atau urusan wanita.

Hal ini terkonfirmasi oleh keterangan Salim Said dalam memoar politiknya yang berjudul Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto. Pada Maret 1998, Soeharto, yang terpilih sebagai presiden untuk ketujuh kalinya, mengumumkan kabinet.

Sebagaimana telah diramalkan Salim Said, Tutut mendapat jatah menteri sosial. Hanya tinggal menunggu waktu saja dia menggantikan posisi sang ayah.

Sebelum semua skenario itu mencapai tujuannya, Soeharto ditumbangkan oleh gerakan Reformasi 1998. Soeharto pun runtuh. Dia runtuh bukan karena dibegal hakim Mahkamah Konstitusi, melainkan oleh kemuakan rakyat atas kekuasaan yang dijalankannya.

Dan ketika lengser keprabon, di masa senjakalanya, seperti yang diceritakan Yusril Ihza Mahendra, Soeharto hidup di Cendana sendirian. “Rumah sepi enggak ada orang. Pak harto duduk di kursi goyang. Ini yang sekian lama berkuasa di Indonesia, duduk sendirian di kursi goyang,” kata Yusril

Tak ada Harmoko di rumahnya. Tak ada orang-orangnya yang gemar menebar puja-puji yang selama 32 tahun di sekelilingnya. Ketika tangannya tak lagi memegang kuasa, tak ada orang yang mendekat, orang-orang yang dulu siap mengikuti arahan perintahnya, tak terlihat batang hidungnya.

Layaknya pepetah Jawa berujar; wong kuasa iku koyo nunggang macan, jika anda tak mampu mengendalikannya maka ia akan berbalik menikam sang penunggang. Semakin kekuasaan itu sewenang-wenang bukan pertanda semakin kuat, namun semakin dekat dengan kejatuhan.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More